,

Pertambangan Timah Dan Perkebunan Sawit, Malapetaka Di Pulau Belitung

Pulau Belitung telah kehilangan 10 persen hutan yang tersisa selama 13 tahun, meskipun di beberapa tempat dilindungi untuk menjaga keanekaragaman hayati.

Belitung, sebuah pulau indah di lepas pantai timur Sumatera, sekarang ini mengalami peningkatan kunjungan pariwisata karena keindahan alamnya yaitu pantai pasir putih dengan perairan yang berwarna pirus (biru tua). Tetapi di balik semua keindahan alam ini, diam-diam sedang berlangsung tragedi lingkungan: hutan primer pulau ditebang pada tingkat yang mengkhawatirkan untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

“Dari investigasi kami selama 10 tahun terakhir di provinsi Bangka-Belitung, sekitar 60 persen dari kerusakan hutan disebabkan oleh dua faktor: penambangan timah dan perluasan perkebunan sawit,” kata Ratno “Uday” Budi, Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung (Babel).

Menurut Global Forest Watch (GFW), Belitung telah kehilangan total 10 persen tutupan hutan yang selama 13 tahun terakhir. Pulau ini, bersama Pulau Bangka, telah dimekarkan dari Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2000 menjadi provinsi tersendiri. Uday mengatakan pemekaran wilayah ini mengakibatkan ekspansi besar aktivitas penambangan timah.

Timah dan hasil mineral lainnya ditambang dari Belitung selama bertahun-tahun untuk digunakan pengguna barang elektronik, yang diduga merupakan produk dari perusahaan elektronik raksasa seperti Samsung dan Microsoft. Industri elektronik ini menimbulkan dampak kemanusiaan dan ekologis di pulau-pulau di satu provinsi ini.

Uday mengatakan di ujung timur pulau, sekitar 2.500 kilometer persegi atau 70 persen luas hutan, termasuk hutan bakau, telah mengalami kerusakan parah karena perluasan perkebunan kelapa sawit dan kegiatan penambangan timah.

“Di Bangka-Belitung, 60 persen deforestasi terjadi di hutan bakau,” katanya. Dia menambahkan bahwa deforestasi dan pertambangan di pulau itu telah membuat Belitung lebih rentan terpengaruh cuaca ekstrim dan bahaya ekologis lainnya.

“Pertambangan telah menyebabkan banjir, sungai tercemar dan sungai tidak berfungsi dengan baik. Ekologi Bangka-Belitung telah terpengaruh,” lanjut Uday.

Kerusakan hutan ini sangat dirasakan oleh satwa liar di pulau itu. Salah satunya adalah Tarsius, primata nokturnal pemalu bermata bulat yang penyebarannya di seluruh Asia Tenggara.  Tarsius endemik Pulau Belitung (Cephalopachus bancanus saltator) hidup pada ekosistem unik yang sangat rentan terhadap eksploitasi.

Berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN), Tarsius Pulau Belitung  diklasifikasikan sebagai hewan yang terancam punah (endangered), karena jangkauan geografisnya yang makin terbatas menjadi kurang dari 5.000 kilometer akibat kerusakan hutan, dan populasinya semakin terfragmentasi.

Seekor tarsier dari genus tarsius di Sulawesi. Tarsius Pulau Belitung merupakan subspesies dari tarsier dari wilayah barat., yang sebelumnya dikelompokkan dalam genus tarsius, tapi kemudian dikelompokkan menjadi genus tersendiri pada tahun 2010 (Cephalopachus). Foto : Rhett A. Butler.
Seekor tarsier dari genus tarsius di Sulawesi. Tarsius Pulau Belitung merupakan subspesies dari tarsier dari wilayah barat., yang sebelumnya dikelompokkan dalam genus tarsius, tapi kemudian dikelompokkan menjadi genus tersendiri pada tahun 2010 (Cephalopachus). Foto : Rhett A. Butler.

Peneliti Indonesia Indra Yustian telah meneliti secara mendalam ekologi pulau Belitung dan mengkhususkan diri dalam pemantauan populasi Tarsius. Bukunya berjudul “Ekologi dan Konservasi Status Tarsius Bancanus Saltator di Pulau Belitung” yang terbit pada 2007 merupakan referensi yang sangat penting untuk hewan yang sangat langka itu.

“Meskipun ada beberapa kawasan hutan lindung di pulau itu, yang berfungsi untuk melestarikan daerah aliran sungai dan ekosistem, tidak ada kawasan konservasi di Pulau Belitung. Padahal pulau itu menjadi salah satu pusat hidupan hayati endemik dari wilayah Sumatera,” kata Indra.

Uday mengatakan bahwa Walhi juga telah memantau populasi tarsius, tetapi mengingat pemalunya hewan ini, mereka belum mampu merekam data yang sebenarnya dari laju populasi spesies tersebut saat ini.

“Kami masih memantau populasi tarsius. Dengan deforestasi dan penyempitan hutan, mereka akan terisolasi, dan itu akan mempengaruhi habitat mereka dan kebiasaan mereka berkembang biak,” katanya.

Merespon masalah ini,  pemerintah provinsi Bangka Belitung pada tahun lalu berjanji untuk mengurangi deforestasi dan memberikan alternatif pekerjaan kepada penduduk di luar sektor pertambangan yang merusak. Namun, sedikit yang telah dilakukan.

“Mengatasi masalah penambangan timah bukanlah tugas yang mudah, karena sebagian besar penduduk bergantung pada sektor pertambangan timah, yang mereka anggap memberi keuntungan materi,” kata Darmansyah Husein, Bupati Belitung periode 2004-2013, seperti dikutip dari Koran Jakarta Post pada 2009.

Menurut Uday, sampai saat ini, pemerintah belum bisa memenuhi janjinya.

“Kami pesimis bahwa pemerintah provinsi akan melakukan sesuatu. Ada minat yang besar terhadap industri pertambangan. Pertambangan masih menjadi tulang punggung Bangka-Belitung, dan pendapatan untuk pembangunan provinsi dari sudut pandang pemerintah. Kami skeptis bahwa pemerintah akan memberikan perlindungan yang lebih terhadap hutan,” pungkas Uday.

*Ethan Harfenist, menulis untuk program The Global Forest Reporting Network, kerjasama Mongabay.org dan World Resources Institute (WRI). Tulisan asli bisa dilihat dengan mengklik tautan ini

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,