Menteri Kehutanan menerbitkan surat keputusan penunjukan kawasan hutan Sumatera Utara pada 2005 seluas 3,7 juta hektar lebih. Namun, SK ini digugat dan putusan Mahkamah Agung menyatakan penunjukan kawasan hutan di Sumut melanggar UU. Kondisi ini, berdampak pada penyelesaian rancangan peraturan daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2014-2034 di daerah ini.
Nurdin Lubis, sekretaris daerah Sumut, Rabu malam (13/8/14) mengatakan, ranperda RTRW belum bisa selesai, karena terhambat penunjukan kawasan hutan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang evaluasi ranperda RTRW Sumut telah terbit. Evaluasi itu mengamanatkan rencana pola ruang pada raperda mempedomani SK Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan Sumut. Namun, pasca putusan MA yang menyatakan SK Menhut itu melanggar UU otomatis penyusunan RTRW terganjal.
Dalam amar putusan MA, SK Menhut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. MA memerintahkan Menhut, mencabut keputusan itu dan menerbitkan keputusan baru. “Finalisasi RTRW menunggu keputusan baru.”
Menurut dia, agar penyusunan RTRW cepat selesai, pihaknya sudah dua kali menyurati Menhut, pada Januari 2014, dan Agustus 2014.
“Jika tidak segera keluar surat keputuan baru, program kita khusus itu akan terganggu. Dampaknya akan terjadi konflik dan tumpang tindih kawasan hutan mana yang bisa dipakai dan tidak. Ini berbahaya jika dibiarkan, jadi kami pro aktif mempertanyakan ke Kemenhut. ”
Forum Masyarakat Adat Batak Padang Lawas (FMABPL)dan Ikatan Pemuda Menolak Eksploitasi Hutan Lindung Wilayah Barat Sumut (IPMEHLBS) berbagi pandangan.
Edward Jore Napitupulu, FMABPL, kepada Mongabay mengatakan, ulah Kemenhut yang sembarangan membuat aturan penunjukan kawasan hutan Sumut, menjadi gambaran nyata kecerobohan dan rendahnya analisis maupun perhitungan soal itu.
Keadaan ini, memperlihatkan Kemenhut tidak menurunkan tim ke lapangan sebelum membuat aturan. Akhirnya, berdampak pada proses aturan daerah.
“Ini kecerobohan sangat fatal. Ada banyak pertimbangan seharusnya sebelum membuat keputusan,” katanya di Medan, Kamis (14/8/14)
Sedang Erlangga Hutabarat, dari IPMEHLBS, mengatakan, SK Menhut ini sarat kepentingan bagi para bandit kehutanan hingga sengaja digolkan menjadi aturan. “Itu sangat berguna bagi mereka untuk bisa masuk dan menguasi hutan dan lahan di Sumut.”
Berdasarkan catatan mereka, ada beberapa daerah masuk kawasan hutan, kini dikuasi pemodal yang berlindung di balik HPH maupun HTI.
Daerah yang masih berkonflik antara pemodal dengan masyarakat adat itu, seperti di Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Ada 12 masyarakat adat sampai kini berstatus tersangka.
Di Mandailing Natal, hutan Rantopuron, Desa Hutabargot, mengalami hal sama, Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) ini rusak dan hancur. “Setidaknya 1.300 hektar hutan lindung hancur di Sumut.”