Warga Ini Terancam Dibui Gara-gara Tujuh Batang Sawit

Raut wajah Fransiskus (35) tampak lelah siang itu. Perjalanan dari Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, Kalbar,  menuju Sintang cukup menyita tenaganya. Berkendara lintas kabupaten terpaksa ditempuh Fransiskus saban minggu. Karena, Kabupaten Melawi merupakan pemekaran dari Kabupaten Sintang, belum memiliki lembaga peradilan tersendiri.

Bersama istri, Fransiskus pergi-pulang menggunakan sepeda motor mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Sintang. Status terdakwa membuat dirinya tak bisa absen dari persidangan. Ketika berbincang, sesekali ia menghela nafas panjang sambil mengingat perkara hukum yang menjeratnya. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntutnya tiga bulan penjara.

Sehari-hari, ayah dua anak ini bekerja sebagai petani. Untuk menambah penghasilan, ia menanam karet di lahan yang diberikan kakak iparnya di Desa Lenggkong Nyadom, Kecamatan Ella, Kabupaten Melawi. Namun, pada 2012 PT. Citra Mahkota (CM) datang dan menanam sawit di lahan yang sama.

Kesal lahannya diserobot tanpa ganti rugi, Fransiskus nekat menebas tujuh batang sawit milik perusahaan perkebunan itu. “Perusahaan menyerobot lahan saya. Permintaan ganti rugi juga tak dibayar meski sudah disepakati sebelumnya,” kata Fransiskus di Sintang, Selasa (12/8/2014).

Fransiskus menilai, pihaknya merasa tidak pernah menyerahkan lahan ke perusahaan. Penanaman sawit juga dilakukan tanpa izin ahli waris. Tuntutan ganti rugi dilayangkan beberapa kali. Di antaranya, 2 Juni 2012 dan 6 Januari 2013 melalui istrinya, Dina Mariana Juati.

Perusahaan di-deadline membayar ganti rugi paling lambat 10 April 2013 atas 16,29 hektar tanah yang sudah digarap dan 1.500 pohon karet yang dirusak. Namun, tuntutan itu ditolak perusahaan dengan alasan sudah membayar pada Linyang Cs (abang dari istri Fransiskus). Surat penolakan disampaikan 18 April 2013.

Mendapat penolakan dari perusahaan, Fransiskus kembali menyurati perusahaan pada 12 Desember 2013. Surat tersebut direspon lisan oleh perusahaan. Intinya, perusahaan bersedia menyelesaikan tuntutan ganti rugi. “Namun saya kecewa, karena janji perusahaan tidak ditepati hingga sekarang,” kesalnya.

Lantaran ingkar janji, PT. Citra Mahkota pun dilaporkan ke Polsek Ella Hilir pada 27 Januari 2014. Laporannya, penyerobotan lahan dan pendongkelan tanam tumbuh. Sampai sekarang laporan tidak pernah ditanggapi.

Tak direspon kepolisian dan perusahaan, Fransikus berang. Ia menebas tujuh batang sawit yang ditanam perusahaan di kebun karet miliknya. Setelah itu, kisruh ganti rugi lahan menemui kata sepakat pada 16 Januari 2014.

Inti kesepakatan menyetujui pembayaran ganti rugi tanaman karet Rp10 ribu per batang dan lahan Rp1,35 juta per hektar. Total ganti rugi yang dibayar Rp45.538.000. “Proses ganti rugi sudah disepakati, tapi mereka tidak bayar. Saya malah mendapat panggilan dari Polsek Ella Hilir karena merusak. Padahal, saya sudah melaporkan kasus penyerobotan lahan ke polisi,” sesalnya.

Kuasa hukum Fransiskus, Maria Magdalena mengatakan, selama mengikuti persidangan kliennya tidak pernah didampingi pengacara. Dia baru mendampinginya di persidangan pada saat pembacaan pledoi. “Kkasus ini mengandung unsur sebab akibat. Fransiskus menebang sawit karena perusahaan menyerobot lahan dan tidak membayar ganti rugi. Untuk itu, Fransiskus layak dibebaskan. Pun, jika harus dihukum, pihaknya minta hanya hukuman percobaan,” ucapnya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Aan mengatakan, Fransiskus didakwa pasal 406 KUHP dengan tuntutan tiga bulan penjara. “Fransiskus didakwa melakukan perusakan sawit milik perusahaan. Soal klaim tanah, itu kasus perdata,” jelasnya.

Mengenai tuntutan yang hanya tiga bulan, Aan mengakui jumlah tujuh batang sawit yang ditebang pertimbangan JPU. “Makanya dituntut ringan, kasus perusakan biasanya dituntut hukuman maksimal 2 tahun,” ucapnya.

Bacakan pledoi

Ketika membacakan pledoi di PN Sintang 12 Agustus 2014, Maria Magdalena menilai perbuatan Fransiskus tidak berdiri sendiri. Karena dilakukan sebagai akibat dari ulah PT. CM yang tidak punya niat menyelesaikan masalah. Baik menyangkut kepemilikan lahan maupun tuntutan ganti rugi.

“Tidak tepat jika kasus ini dikategorikan perbuatan yang sengaja melawan hukum. Sebelum merusak, terdakwa sudah berulang kali menyurati perusahaan dan mengingatkan agar segera menyelesaikan ganti rugi. Perbuatan terdakwa menebang tujuh pohon sawit milik PT. CM juga tidak mengakibatkan musnah atau hilangnya bentuk sawit. Buktinya, pohon sawit yang ditebas terdakwa tumbuh hidup kembali seperti semula,” bebernya.

Semua itu, kata Magdalena, jika disimpulkan masuk ke ranah perdata karena menyangkut hak-hak seseorang. Pihaknya menyimpulkan ada ranah hukum perdata yang dominan di dalam kasus ini, sehingga masalah pidana terdakwa harus ditangguhkan.

Perusahaan membantah

Manager PT. CM, Candra Yuda Mulya membantah perusahaannya belum membayar ganti rugi lahan yang disengketakan Fransiskus. Ia mengaku ganti rugi lahan sudah dibayar. “Tidak mungkin kami menggarap tanpa membayar ganti rugi. Lahan tersebut sudah diserahkan dan dibayar secara bersamaan,” kilahnya.

Menurutnya, permintaan Fransiskus soal ganti rugi, tidak serta-merta langsung dikabulkan karena harus diverifikasi terlebih dahulu. “Persoalan tersebut mengemuka saat lahan sudah diterasering oleh perusahaan. Di saat perusahaan menanam sawit, Fransiskus juga menanam karet. “Kasus ini kami serahkan ke proses hukum,” tukasnya.

Istri Fransiskus, Dina Mariana Juati (berjaket abu-abu) berbincang dengan kuasa hukum suaminya sebelum persidangan berlangsung. Foto: Yusrizal
Istri Fransiskus, Dina Mariana Juati (berjaket abu-abu) berbincang dengan kuasa hukum suaminya sebelum persidangan berlangsung. Foto: Yusrizal

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,