, , , ,

Pesisir Bali Tolak Reklamasi, Berikut Tuntutan Warga

“Kami warga Bali siap puputan untuk menolak reklamasi di Teluk Benoa.” Begitu teriak Priatna, koordinator Forum Masyarakat Renon Tolak Reklamasi, melalui pelantang pada aksi Jumat (15/8/14). Tangan kiri memegang pelantang (megaphone) warna merah. Tangan kanan mengangkat keris tinggi-tinggi.

Masih memegang pelantang, dia menusukkan keris ke sendiri. Priatna, yang berpakaian adat Bali madya layak orang mau sembahyang ini, sedang ritual ngurek meski hanya sebentar.

Puputan adalah istilah melawan hingga titik darah penghabisan di Bali. Ada beberapa sejarah puputan ketika melawan Belanda. Puputan Badung pada 20 September 1906 dan puputan Klungkung 21 April 1908. Orang Bali menganggap puputan adalah peristiwa heroik melawan penjajahan.

Baginya, puputan kali ini perlawanan terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.

Jumat sore itu, Priatna satu dari sekitar 1.500 warga Bali yang aksi menolak reklamasi Teluk Benoa. Peserta dari desa-desa di sekitar Teluk Benoa seperti Kedonganan, Kelan, Jimbaran, Sanur, dan lain-lain.

Tak hanya nelayan dan pemilik usaha pariwisata di sekitar Tanjung Benoa, mereka juga dari pelajar, mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Ada pula kelompok warga dari Sukawati dan Ubud, Gianyar bahkan Jembrana di ujung barat Bali.

Bendera massa aksi dari berbagai kelompok ini berkibar-kibar selama aksi. Bendera putih, merah, dan hitam dengan tulisan Bali Tolak Reklamasi terlihat paling banyak

Sekitar pukul 15.00, massa berkumpul di Tanjung Benoa, pusat pariwisata pesisir di Bali selatan. Menggunakan perahu jukung, perahu wisata, jet ski, dan lain-lain, massa bergerak. Tujuannya, tanah timbul (mud island) di lokasi yang akan direklamasi.

Ratusan perahu melaju dalam barisan diiringi gamelan ala Bali. Peserta aksi membentangkan bendera dan spanduk menolak reklamasi.

Kami Rakyat Bali Tidak Butuh Reklamasi. Cabut Perpres No 51 tahun 2014.” “Bali Not For Sale.” “BALI Bukan Ajang Lahan Investor Serakah.” Begitu antara lain bunyi spanduk-spanduk itu.

Setelah berkeliling sekitar satu jam termasuk di bawah jalan tol di Benoa–Nusa Dua, massa berhenti di tanah timbul. Mereka turun dari perahu. Berorasi, membentangkan spanduk raksasa berukuran sekitar 10×3 meter dengan tuntutan,” Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Batalkan Perpres no 51 tahun 2014!”

spanduk-spanduk penolakan Teluk Benoa. Foto: Anton Muhajir
Spanduk-spanduk penolakan Teluk Benoa. Foto: Anton Muhajir

Empat tuntutan

Massa membacakan empat tuntutan. Pertama, menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan Perpres No 51 tahun 2014. Juga menuntut SBY memberlakukan Perpres lama tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). 

Kedua, menuntut SBY untuk menolak rencana reklamasi Teluk Benoa karena mengancam hajat hidup orang banyak dan meningkatkan risiko bencana ekologis di Bali selatan.

“Reklamasi akan menghancurkan Bali,” kata I Wayan Kartika, koordinator Tanjung Benoa Tolak Reklamasi (TBTR) kala aksi.

Ketiga, massa meminta SBY menghentikan seluruh proses perizinan reklamasi. Terakhir, massa menuntut SBY di akhir jabatan tidak mengeluarkan kebijakan strategis yang mengancam hajat hidup orang banyak, termasuk reklamasi Teluk Benoa.

Reklamasi yang ditolak warga Bali adalah rencana investasi PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI). Perusahaan milik taipan Tomy Winata ini akan membangun pulau-pulau baru di Teluk Benoa. Kawasan ini di antara segi tiga emas sekaligus jantung pariwisata Bali yaitu Sanur, Kuta, dan Nusa Dua.

TWBI akan membangun fasilitas pariwisata serupa Disneyland, Amerika Serikat atau Pulau Sentosa di Singapura. Di sana akan dibangun lapangan golf, gedung konvensi, perumahan, perkantoran dan lain-lain. Kawasan teluk seluas 1.400 hektar akan direklamasi sekitar 810 hektar.

Rencana inilah ditentang warga Bali, termasuk TBTR, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali), dan lain-lain. “Jika teluk di sisi barat direklamasi, terumbu karang di sisi timur akan rusak. Kami mengandalkan keindahan terumbu karang itu sebagai tempat wisata,” kata Wayan.

Teluk ini berada di sisi barat Tanjung Benoa. Di sana terdapat pulau kecil yang jadi tujuan turis. Sisi timur, warga lokal mengelola wisata laut seperti diving, snorkling, dan banan boat yang menjual pesona bawah laut termasuk terumbu karang dan ikan.

“Usaha wisata kami pasti mati jika nanti ada wisata terpadu yang dibangun investor. Apalagi mereka punya modal lebih besar.”

Warga tengah ritual ngurek di pesisir Bali. Foto: Anton Muhajir
Warga tengah ritual ngurek di pesisir Bali. Foto: Anton Muhajir

Bencana lingkungan

Dari sekian banyak dampak negatif, persoalan lingkungan paling mudah terlihat. Lembaga lingkungan Conservation International (CI) Bali pernah membuat riset terkait dampak buruk reklamasi Teluk Benoa terhadap lingkungan. Salah satu, kemungkinan banjir rob jika ada reklamasi.

“Teluk Benoa merupakan kawasan reservoir bagi lima sungai besar di Bali selatan. Jika direklamasi, air pasti melimpah ke luar kawasan jika hujan besar,” kata Iwan Dewantama, manajer Jaringan Pengelolaan Pesisir CI Bali, juga tim riset.

Menurut Iwan, dampak ekologis lain adalah perubahan struktur tanah. Secara geogenesis atau sejarah terbentuknya, Teluk Benoa merupakan daerah mudah berubah. Labil. Dia hanya endapan lumpur. “Jika direklamasi, makin labil hingga meningkatkan  risiko bencana seperti gempa dan tsunami.”

Reklamasi, katanya,  sebagai intervensi terhadap alam justru memperburuk labilitas kawasan Teluk Benoa.  Iwan mengingatkan, dampak lingkungan terhadap lokasi-lokasi yang akan dikeruk pasirnya untuk reklamasi Teluk Benoa. Menurut proposal TWBI, mereka memerlukan 33 juta kubik pasir untuk membangun pulau-pulau baru di Teluk Benoa.

Jutaan kubik pasir untuk reklamasi ini akan diambil dari beberapa lokasi seperti Pantai Sawangan, Bali bagian selatan; Karangasem, Bali bagian timur; Sekotong, Nusa Tenggara Barat; serta bekas material pengerukan pendalaman alur di lokasi reklamasi.

“Logikanya, jika ada bagian dikeruk untuk reklamasi, akan ada bagian lain dari kawasan perairan laut akan rusak. Itu sudah pasti.”

Dia menambahkan, kawasan pesisir merupakan satu kesatuan. Intervensi di satu titik akan berdampak terhadap kawasan di tempat lain. Reklamasi Pulau Serangan di Denpasar selatan pada 1994, bisa jadi contoh. Dampak reklamasi pulau hingga empat kali lipat dibanding luas awal, abrasipun terjadi lebih keras di daerah lain seperti Mertasari, Padanggalak, dan Lebih.

Karena itulah, bagi sebagian besar warga Bali seperti Priatna yang tinggal jauh dari Tanjung Benoa, reklamasi menjadi masalah. Ini tak hanya masalah warga sekitar lokasi. “Reklamasi Teluk Benoa masalah warga Bali karena akan berdampak abrasi ke seluruh pesisir Bali. Reklamasi harus ditolak,” kata Priatna.

Aksi tolak reklamasi Teluk Benoa dan meminta Presiden SBY mencabut perpres yang baru keluar. Foto: Anton Muhajir
Aksi tolak reklamasi Teluk Benoa dan meminta Presiden SBY mencabut perpres yang baru keluar. Foto: Anton Muhajir
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,