Siang itu, Halim, nelayan di Desa Lampia, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, terkejut ketika mengangkat pukatnya. Hitam. Tak ada seekor ikanpun terjaring. “Awalnya saya tak tahu apa itu. Saya pegang, ternyata oli,” katanya.
Oli tertempel di pukat begitu kental. Berbeda dengan yang biasa ditemui ketika mengganti oli motor. Ternyata, oli itu tumpahan dari kapal tangker ketika dipindahkan menuju kilang PT Vale–perusahaan penambang nikel di Sorowako. “Saya menggunakan perahu berkeliling-keliling. Menyerok air laut, semua oli.”
Halim memperlihatkan pukat yang dipenuhi oli. Diletakkan di dekat perahu, karena tak dapat digunakan. Meskipun sudah dicuci berkali-kali, cairan lengket tak dapat hilang. Perahu katinting pun bernasib sama, perlu sepekan penuh menggosok lambungnya agar tempelan oli menghilang.
Sejak tumpahan oli jenis hight sulphur fuel Oil (HSFO) terjadi awal Ramadhan di laut Lampia, tak seorang nelayan turun ke laut. Mereka memilih mencari pemasukan lain atau sekadar menunggu perusahaan membersihkan sisa oli. “Kami tak tahu harus buat apa,” kata Halim.
Di pesisir Lampia, PT Vale membangun dua buah tangki HSFO berkapasitas 21 juta liter dan satu tangki solar kapasitas 5 juta liter, dinamakan Mangkasa Point. Pengisian tangki dilakukan beberapa kali setiap pekan. Kapal-kapal tangker dengan muatan penuh HSFO dan solar merapat ke dermaga itu.
Lampia adalah wilayah kawasan Teluk Bone. Garis pantai menyisir jalan yang menghubungkan ke Sulawesi Tenggara. Sisi lain di Desa Pongkeru. Hingga 1990-an Teluk Lampia masih surga biota laut, seperti karang, lamun, teripang, kerang ikan, lobster, dan udang-udangan. “Pada masa lalu, nelayan tak perlu menyelam untuk mendapatkan teripang, cukup berjalan-jalan di pesisir pantai,” kata Tasdim, nelayan lain.
Pertengahan 1980 kekacauan mulai terjadi ketika demam bom ikan merebak. Kawasan yang dulu kaya sumber alam laut itu perlahan hilang. Karang mulai rusak. “Tapi orang mengebom ikan di laut jauh sana. Di luar teluk ini. Orang-orang bilang, semua kekayaan laut kami hilang karena bom itu. Kami percaya.”
Kekacauan bom ikan berhenti. Masyarakat lokal kembali dengan cara-cara arif. Menggunakan bila dan rompon, atau hanya memancing. Nelayan bersatu mengusir pengebom. Teluk kembali diramaikan ikan.
Tasdim adalah nelayan tradisional pengguna pancing (beso-beso). Setiap hari atau kadang sekali dalam dua hari turun ke laut. Pendapatan sehari hingga Rp300 ribu. “Anak saya selesai kuliah dengan penghasilan sebagai nelayan.”
Namun, cerita ini sampai beberapa bulan lalu. Sejak tumpahan oli, Tasdim baru dua kali mencoba memancing ke laut. Hasilnya nihil. “Saya tak bisa mendapatkan ikan lagi. Itu laut seperti kosong,” katanya.
Masyarakat Lampia mencatat, tumpahan oli jenis HSFO dari PT Vale terjadi beberapa kali. Pertama kali 2009, kapal tangker yang bersandar di Mangkasa Point meluberkan cairan oli ke laut. Saat itu tak ada riak, masyarakat cepat diberikan kompensasi sekitar Rp70 juta akibat kerugian yang diderita.
Tahun 2012, kembali diredam dengan kompensasi. Lalu, awal 18 Juli 2014, tumpahan ketiga terjadi. Ia cukup berdampak, karena daya jangkau sampai ke desa tetangga Pongkeru.
Syafaruddin, kepala Desa Lampia, menerima laporan saat tumpahan terjadi, langsung menyusuri garis pantai. Dia mendapati genangan gelombang berwarna hitam pekat. Alat tangkap nelayan rusak. “Dari Mangkasa Point saya sampai ke Bulu Poloe yang jaraknya sekitar 10 kilometer. Saya masih menjumpai tumpahan oli itu.”
“Bahkan di salah satu titik perairan, nelayan menyelam dan saat naik ke permukaan badan seperti diluberi minyak. Di bawah air pun mata menjadi sangat perih.”
Bahkan beberapa minggu setelah tumpahan, nelayan ada yang nekat memasang pukat heran dan kaget mendapatkan hasil tangkapan tenggiri. “Padahal tenggiri ada di dasar laut. Tak pernah ke permukaan. Apa yang membuat ikan itu naik, tak ada yang tau sampa saat ini. Ini merupakan pertama kali terjadi di Lampia,” kata Syafaruddin.
Minyak tumpah berkali-kali
Dari informasi yang diterima Mongabay, HSFO yang tumpah mencapai 1.000 liter. HSFO warna lebih pekat dan sangat kental. Jika lengket di tangan, perlu berkali-kali mencuci dengan diterjen untuk bisa hilang.
Selama tiga kali pertemuan bersama PT Vale, yang difasilitasi pemerintah daerah, tak ada kesepakatan. Permintaan masyarakat menginginkan kompensasi karena tumpahan oli untuk 277 keluarga nelayan di Desa Lampia dan 68 keluarga di Desa Pongkeru Rp250.000 ribu di kalikan selama enam bulan, dianggap terlalu besar. “Tapi ini semata-mata bukan soal kompensasi, bukan soal uang. Meskipun alat tangkap nelayan rusak perlu diganti. Ini soal jangka panjang, kami tak ingin laut kami terus tercemar,” kata Syafaruddin.
Atas dasar itulah, masyarakat di Desa Lampia unjuk rasa di jalur masuk Mangkasa Point. Mereka menutup akses kendaraan dengan menumbangkan dua pohon. Mendirikan tenda dan menyampaikan aspirasi selama beberapa hari.
Nico Kanter, Presiden Direktur PT. Vale Indonesia, dalam klaim tertulis hanya mengimbau penyampaian pendapat dan aspirasi di muka umum sesuai koridor hukum dan tidak anarkis. Perusahaan selalu membuka pintu dialog untuk membahas solusi terbaik. Termasuk dengan pembentukan tim ahli yang ditunjuk pemda.
Namun siapakah yang dapat menjamin tumpahan oli tak terjadi lagi? “Dari laporan yang kami peroleh, tim ahli bergerak observasi di perairan Lampia Rabu (6 Agustus 2014). Kita tunggu apa yang mereka dapat,” kata Syafaruddin.
Sebelum itu, pertemuan dengan perwakilan Vale difasilitasi pemda. Salah seorang yang hadir Lili Lubis bagian lingkungan Vale. Dalam laporan Lili mengatakan jika kadar baku mutu air di perairan sekitar Lampia masih normal, tak ada dampak buruk dengan lingkungan. “Kami memperlihatkan limpahan oli dan membawa jala yang dipenuhi oli. Kami minta angka baku mutu, sebelum ada tumpahan dan setelah ada tumpahan. Tapi tak disanggupi,” ujar Syafaruddin.
Saya mencoba menghubungi Lili Lubis melalui pesan pendek untuk meminta penjelasan mengenai tumpahan oli di Lampia, namun tak ada tanggapan.
Syahidin Halun adalah Asisten I Bidang Pemerintahan yang ditunjuk Pemerintah Luwu Timur sebagai ketua tim teknis negosiasi dan menjadi mediator antara perusahaan dan warga, tak bisa bicara banyak. “Tim yang saya kepalai sebatas mediasi. Untuk urusan teknis dan dugaan pencemaran itu kita serahkan ke tim ahli dari Universitas Hasanuddin.”
Menurut Syahidin, tim ahli dari Universitas Hasanuddin bersama Vale dan pemda telah survei di lokasi kejadian. Mengambil sampel air dan meneliti. Diperkirakan hasil diketahui setelah enam bulan. “Dari laporan ada dua jenis oli tumpah, tapi saya tak tahu apa saja. Coba tanyakan, pada pak Mahatma (Dr. Mahatma Lanuru dosen Fakultas Ilmu Kelautan Unhas) ketua tim ahli dari Unhas.”
Ketika saya mencoba menghubungi Lanuru, dia mengirimkan pesan pendek. “Mohon maaf saya belum banyak mengetahui persoalan Vale karena survei laut di lokasi tumpahan minyak dan perairan sekitar belum kami lakukan. Mohon pengertian. Salam.”
Penanganan harus segera
Oseanografi Kimia dan Pencemaran Laut Universitas Hasanuddin, Muhammad Farid Samawi mengatakan, minyak yang tertumpah ke laut adalah pencemaran. Penanganan harus dengan cepat dan tanggap. Secara mekanis tumpahan harus dilokalisasi dengan booms selanjutnya dipindahkan dengan skimmer.
Tumpahan minyak yang tersebar telah diupayakan menggunakan sistem dispersant (penyemprotan) oleh Vale untuk memecah minyak menjadi ukuran lebih kecil. Namun tak ada yang bisa menjamin, apakah akan lenyap atau malah tenggelam ke dasar laut.
“Penggunaan dispersant apabila tidak dapat dihindari lagi, setelah penanganan mekanis tidak dapat dilakukan. Apabila dispersant yang digunakan tidak sesuai jenis minyak tumpah, akan menyisakan minyak di perairan laut. Tentu akan sangat berbahaya.”
Sistem lainnya, bioremediasi dilakukan apabila konsentrasi minyak mulai berkurang dengan penambahan nutrien untuk menumbuhkan bakteri pengurai minyak. Penggunaan absorbent (penyerap) bisa apabila minyak mencapai pantai.
Penanganan tumpahan minyak di laut diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 tahun 2006 tentang penanganan tumpahan minyak. Farid menegaskan, minyak tumpah ke laut tak boleh diabaikan, karena akan berdampak pada biota dan ekosistem laut.