,

Masa Depan Menurut Anak-Anak : Rusaknya Alam Kalimantan

Satu generasi yang lalu, Kalimantan merupakan salah satu tempat yang paling liar di planet ini, dan menjadi tempat yang paling aman bagi spesies seperti orangutan, gajah kerdil, badak Sumatera, dan macan tutul di antara puluhan ribu hewan lainnya. Tapi sepuluh tahun terakhir, pembalakan dan perkebunan kelapa sawit telah mengubah lanskap Kalimantan selamanya. Bahkan penelitian terbaru menyatakan pulau itu telah kehilangan 73 persen dari hutan tropisnya dan 30 persen tutupan hutan sejak 1973.

Mengenai  masifnya kerusakan lingkungan ini, sebuah studi  dari PLOS ONE menemukan bahwa anak-anak Kalimantan memiliki pandangan pesimis tentang masa depan mereka, memprediksi peningkatan suhu, punahnya satwa liar, dan perusakan hutan yang terus terjadi di pulau itu.

Untuk mengetahui bagaimana anak-anak di Kalimantan membayangkan masa depan lingkungan mereka, peneliti meminta hampir 250 anak-anak dari 22 desa di Kalimantan untuk membuat dua gambar, yaitu satu gambar tentang lingkungan mereka saat ini dan gambar lainnya tentang imajinasi  tentang lingkungan mereka pada 15 tahun mendatang, saat mereka tumbuh dewasa.

“Di semua desa, anak-anak memprediksi kondisi lingkungan bakal memburuk selama 15 tahun ke depan,” kata peneliti utama riset tersebut, Anne-Sophie Pellier  dari Center for International Forestry Reseach (CIFOR), menceritakan kepada mongabay.com. Bahkan, riset tersebut menemukan bahwa anak-anak memprediksi rusaknya kualitas sungai, meningkatnya pembukaan hutan, dan perluasan perkebunan kelapa sawit  diantara kerusakan ekologis lainnya.

Setelah menggambar dalam kelompok, anak-anak, yang usianya berkisar 10 – 15 tahun, diminta untuk menjelaskan gambar mereka.  Secara umum mereka menjelaskan bahwa suhu udara akan menjadi lebih hangat, tidak akan ada pohon untuk menghentikan erosi tanah dan banjir. Satwa-satwa liar juga akan punah karena  terlalu sering diburu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan mereka akan kehilangan rumahnya.

Gambar 1a kondisi alam Kalimantan saat ini.  Foto : Anne-Sophie Pellier
Gambar 1a kondisi alam Kalimantan saat ini. Foto : Anne-Sophie Pellier
Gambar 3b kondisi alam Kalimantan 15 tahun mendatang. Foto : Anne-Sophie Pellier
Gambar 3b kondisi alam Kalimantan 15 tahun mendatang. Foto : Anne-Sophie Pellier

Selama kegiatan berlangsung, para peneliti sangat berhati-hati untuk memastikan pendapat anak-anak tidak dipengaruhi oleh orang lain.

“Kami meminta agar para guru tidak berinteraksi dengan anak-anak, mendiskusikan gambar atau memberikan penjelasan tambahan,” kata para peneliti. “Juga, tidak ada buku atau gambar dari guru saat aktivitas menggambar tersebut, untuk memastikan bahwa kami menangkap persepsi anak-anak tanpa bias.”

Para ilmuwan umumnya terkejut melihat betapa pengetahuan anak-anak itu tentang kecenderungan kerusakan lingkungan dan degradasi yang terjadi saat ini di Kalimantan. Anak-anak tidak hanya menggambarkan kondisi lingkungan yang makin memburuk, bahkan mereka juga mampu mengaitkan kerusakan ini karena aktivitas manusia dan mengetahui pentingnya jasa ekosistem.

Penelitian tersebut secara mengejutkan menemukan bahwa anak-anak telah terpengaruh oleh  “sindrom pergeseran pandangan hidup” (shifting baselines syndrome).   Pergeseran pandangan hidup yang pertama kali dijelaskan pada tahun 1995, adalah teori yang semakin diterima bahwa manusia terus-menerus memperbarui pandangan mereka tentang lingkungan atas hidup mereka dan berubah setiap generasi. Dengan kata lain, dari waktu ke waktu, masyarakat kehilangan “memori” tentang bagaimana gambaran kondisi lingkungan yang asri pada periode sebelumnya.

Gambar 1a kondisi alam Kalimantan saat ini.  Foto : Anne-Sophie Pellier
Gambar 2a kondisi alam Kalimantan saat ini. Foto : Anne-Sophie Pellier
Gambar 2b kondisi alam Kalimantan 15 tahun mendatang. Foto : Anne-Sophie Pellier
Gambar 2b kondisi alam Kalimantan 15 tahun mendatang. Foto : Anne-Sophie PellierMisalnya, satu generasi melihat lingkungan hidup mereka yang masih sangat dipengaruhi oleh hutan dengan beberapa spesies asli yang masih melimpah. Namun anak-anak dalam penelitian tersebut tidak memunculkan gambaran tentang kondisi lingkungan pada generasi sebelumnya itu.

“Kami telah memperkirakan efek yang kuat dari pergeseran pandangan hidup di mana anak-anak berpikir bahwa kondisi lingkungan mereka saat ini sebagai kondisi ‘normal’. Hal ini tidak muncul sebagai suatu masalah,” kata peneliti pendamping Erik Meijaard, yang merupakan pendiri Borneo Initiative Future.

“Anak-anak di Kalimantan tampaknya memiliki pemahaman yang jelas tentang masa lalu, saat ini dan apa yang akan terjadi di masa depan dari lingkungan mereka. Hal ini cocok dengan penilaian independen kami tentang perubahan lingkungan,” kata Erik.

Pengetahuan yang mengesankan dari anak-anak tentang lingkungan mereka mungkin berasal dari berbagai sumber, dan menurut Anne, ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

“Media dan literatur, khususnya melalui gambar, dapat menyampaikan pesan yang kuat kepada anak-anak muda untuk memahami kencenderungan sosial, ekonomi dan lingkungan,” katanya.

Anne-Sophie menambahkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah terpencil mungkin memiliki akses ke media lebih terbatas daripada anak yang hidup di kawasan yang telah rusak.  Akan tetapi tingkat pemanfaatan dari hutan pada komunitas mereka, tergantung dari tingkat ketergantungan mereka terhadap sumber alam tersebut.  Anak-anak juga dapat belajar ketika mereka menghadiri pertemuan desa yang membahas pengaturan penggunaan lahan,” katanya.

Sementara gambar dari semua anak tersebut menunjukkan memburuknya kondisi lingkungan dari saat ini sampai 15 tahun ke depan atau sekitar tahun 2030. Beberapa anak membayangkan kerusakan alam yang lebih besar daripada yang lain. Anak-anak yang tinggal di hutan yang masih utuh membayangkan kerusakan alam yang lebih sedikit, sementara mereka yang tinggal di desa-desa di kawasan yang telah rusak, melihat kondisi alam yang jauh lebih buruk.

Gambar 3a kondisi alam Kalimantan saat ini.  Foto : Anne-Sophie Pellier
Gambar 3a kondisi alam Kalimantan saat ini. Foto : Anne-Sophie Pellier
Gambar 3b kondisi alam Kalimantan 15 tahun mendatang. Foto : Anne-Sophie Pellier
Gambar 3b kondisi alam Kalimantan 15 tahun mendatang. Foto : Anne-Sophie Pellier

“Dalam kawasan hutan yang paling lebat, anak-anak memprediksi kondisi kerusakan alam yang lebih rendah  dan berharap masih merasakan hutan, air bersih dan satwa liar. Anak-anak yang tumbuh di kawasan yang terdegradasi, membayangkan alam yang bakal kosong dari satwa liar, hutan dan manfaat alam lainnya.”

Meskipun anak-anak dalam penelitian tersebut tidak mampu memilih lagi, para ilmuwan berharap politisi dan pembuat kebijakan tidak mengabaikan temuan ini.

“Kami ingin menggunakan fakta bahwa anak-anak di Kalimantan sangat prihatin tentang keadaan lingkungan mereka, yang diharapkan mampu mempengaruhi pemikiran politik. Pemerintah tidak bisa terus menerus membuat keputusan top-down tentang penggunaan lahan untuk aspek ekonomi, dengan mengabaikan dampak sosial dan lingkungan,” kata Erik.

“Ada daya tarik emosional yang signifikan untuk memahami apa yang dipikirkan anak-anak, dan cara pandang emosional ini sangat sulit untuk diabaikan,” katanya.

Anne-Sophie mencatat bahwa penelitian ini memiliki implikasi etis bagi para pemimpin.”Anak-anak bakal menanggung masalah besar dalam hidup mereka di masa mendatang untuk menangani masalah lingkungan demi keberlanjutan sumber daya alam. Oleh karena itu, kita harus mendengarkan mereka,” tegasnya.

Baik Erik maupun Anne mengatakan bahwa terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia yang baru, bisa mengubah kondisi hutan Kalimantan serta hutan lainnya di seluruh Indonesia.

“Dengan pilihan untuk berpikir liberal, berorientasi pada orang, dan presiden yang demokratis, mayoritas orang Indonesia yang menentukan pilihan untuk masa depan mereka,” kata Erik.

Indonesia saat ini memiliki laju deforestasi tertinggi di dunia, bahkan mengalahkan Brasil yang dalam dekade terakhir laju deforestasinya telah mengecil. Para peneliti menyatakan bahwa langkah berikutnya bagi Indonesia adalah untuk membuktikan kepada anak-anak bahwa masa depan tidak lebih buruk dari gambaran mereka.

Para peneliti mengatakan bahwa hal ini penting untuk mengembangkan pendekatan untuk menunjukkan kepada anak-anak ini bahwa apa yang terjadi masa lalu tidak selalu menentukan apa yang terjadi masa depan. Dan bahwa perubahan positif mungkin terjadi jika pembangunan secara aktif mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan ketergantungan masyarakat pada manfaat alam.

Erik menambahkan bahwa riset ini menunjukkan bahwa anak-anak memang benar-benar peduli tentang kondisi lingkungan mereka dan keinginan untuk mengubah dimulai dengan memahami apa yang sedang terjadi.

*Jeremy Hance merupakan penulis yang bergabung pertama kali sejak Mongabay didirikan oleh Rhett Butler. Tulisan asli bisa dilihat disini

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,