, ,

Soal Pengelolaan Energi, Inilah Pesan buat Presiden Baru

Saat ini, di Indonesia, investasi pada sektor energi terbuka lebar bagi perusahaan asing, bahkan dana dari luar negeri ini mengalir ke perusahaan-perusahaan nasional. Energi fosilpun dikuras sebanyak-banyaknya. Sedang energi terbarukan hanya menjadi ‘pemanis” dan selalu diberi label sebagai sumber energi alternatif. Alhasil, produksi tambang Indonesia jadi pemenuh energi negara lain, sedang keperluan dalam negeri dari impor! Pemerintahan ke depan harus mengubah pola-pola seperti ini. Berikut beberapa pandangan dari para aktivis lingkungan.

Hendrik Siregar, koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, hingga kini, Pertamina yang ditugaskan memenuhi pasokan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri dikebiri UU Migas. “Ketidakmampuan Pertamina terlihat, mereka hanya mampu penuhi 24% BBM. Selebihnya impor,” katanya dalam diskusi energi di Jakarta, minggu pertama Agustus lalu.

Kondisi tampak rumit kala ada kebijakan yang bikin Indonesia tak memproses BBM sendiri, hingga terus impor. “Jadi, energi selain terbarukan itu impor.”

Bagi Hendrik, tak heran keadaan ini menyebabkan, 80% blok migas di Indonesia, dikuasai perusahaan-perusahaan berbasis di luar negeri. “Jadi, Indonesia tak berdaya memenuhi kebutuhan sendiri.”

Dia mengingatkan, pemerintah ke depan harus memikirkan strategi baru, bukan seperti saat ini. “SBY 10 tahun terakhir tak punya visi kedaulatan energi, walau buat UU Energi, hanya konteks regulasi yang mudah dimainkan.”

Untuk itu, pola-pola lama, katanya, tak perlu dipertahankan termasuk ASEAN Power.  ASEAN Power Grid ini,  mengintegrasikan sumber-sumber energi seperti PLTU tambang ke negara-negara ASEAN, seperti di Kalimantan Barat, menuju Serawak, Malaysia.

“Kebijakan-kebijakan ini seperti ini harus di-review. Jangan sampai kita meributkan subsidi ke rakyat tapi malah kasih subsidi ke negara lain,” ujar dia.

Ke depan, bagaimana pemerintah mampu mengelola sumber energi untuk dan aset rakyat. “Jadi ga bisa lagi pengelolaan seperti biasa, sumber energi harus jadi energi rakyat.”

Hal lain lagi, kata Hendrik, selama ini, dua per tiga kebutuhan energi Indonesia untuk kendaraan atau alat transportasi. Untuk itu, perlu dibenahi dan melihat moda transportasi publik mana yang benar-benar buat masyarakat.

Selain itu, katanya, energi terbarukan harus serius dikembangkan dan menjadi sumber energi utama. Menurut dia, Indonesia, mempunyai potensi energi terbarukan sangat besar, tetapi hanya jadi pemanis.  “Energi panas bumi justru begitu besar malah hanya jadi energi alternatif. Ini yang salah. Harusnya energi terbarukan jadi sumber energi utama.”

Untuk itu, pemerintah baru harus mengubah pola pikir ini. Ke depan, yang menjadi sumber energi utama (main source energy) adalah energi-energi terbarukan.

Tak jauh beda dengan pandangan Siti Maimunah, aktivis lingkungan yang konsern dengan isu-isu tambang.  Dia mengatakan, Joko Widodo, orang baru namun berada pada sistem lama. Dia tak lepas dari penguasaan bahan-bahan energi fosil itu.

Bagaimana memperbaiki keadaan ini? Pertama, menurut Mai, harus memperlakukan energi sebagai titik puntir, hingga perspektif pengelolaan tidak sektoral. Letakkan energi sebagai sumber kebutuhan rakyat dan bukan sumber pengelolaan untuk mendapatkan rente.  “Energi jadi titik puntir penting karena bisa berdampak luas,” ujar dia.

Kedua, membahas energi harus berbicara mengenai produksi dan konsumsi. Bukan hanya menghitung produksi dan terus menguras alam sebanyak-banyaknya.

Dia ambil contoh batubara yang tak pernah dihitung kebutuhan dalam jangka panjang. Pasokan barubara Indonesia,  kata Mai, hanya dua sampai tiga persen, tetapi sombong, produksi kejar-kejaran dengan Australia. Belum lagi, 60% batubara hanya dikuasai enam perusahaan, terutama milik Abu Rizal Bakrie.

Penambangan batubara di dekat lokasi Taman Wisata Alam Bukit Serelo Kabupaten Lahat. Kerusakan alam dan polusi udara, di antara dampak yang ditimbulkan dari eksploitasi energi tak terbarukan ini. Foto: Taufik Wijaya.

Tak hanya itu, dalam mengkonsumsi energipun harus ada aturan. Jadi, perlu dipikirkan bagaimana mengurangi konsumsi. Dia mencontohkan, ada mal di pinggiran Jakarta, yang menggunakan energi sama dengan Bandara Soekarno-Hatta.

“Kita hanya bicara produksi. Ini harus bicara produksi dan konsumsi. Harus koreksi konsumsi. Ga bisa energi tak terbarukan tak diatur penggunaannya.”

Menurut dia, dalam penggunaan energi harus melihat skala prioritas. Berbagai hal ini, katanya, harus menjadi perhatian serius bagi pemerintahan baru.

Ketiga, selama ini, dampak ekologi dan sosial dalam memproduksi energi tak pernah diperhitungkan negara. Padahal, ongkos luar biasa besar. Misal, masyarakat sekitar tambang minyak dan batubara mengalami krisis energi luar biasa. Belum lagi kerusakan lingkungan  parah. Ongkos sosial dan ekologi ini, mesti menjadi perhatian pemerintahan baru.

Keempat, pemerintah ke depan harus kongkrit memikirkan bagaimana mengurangi energi fosil atau tak terbarukan. Terlebih, katanya, energi terbarukan Indonesia diperkirakan bisa sampai 100 tahun, misal sumber angin, biomasa, dan geothermal. Untuk itu, dia menyarankan, pemerintah menjadikan energi terbarukan bukan pemanis bibir tetapi sumber energi utama.

Namun, Mai tak yakin bisa mengurangi eksploitasi energi fosil jika program yang menjadi andalan pemerintah itu MP3EI—yang memang getol menguras sumber energi.  Dia mendesak, pemerintahan baru tak lagi menggunakan MP3EI sebagai patron.

“Jika bicara perubahan iklim, jika Indonesia tak jalankan energi terbarukan maka 2030, Indonesia akan jadi pengemisi terbesar di dunia. Masak kita mau disamakan dengan AS, Canada ataupun Australia sebagai penjahat perubahan iklim.”

Masukan kepada pemerintahan baru juga datang dari Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional. Menurut dia, jika berbicara energi ada tiga hal perlu dilakukan.

Pertama, konservasi energi dengan mendorong pemanfaatan energi secara efesien dan rasional. Tentu, tanpa mengurangi penggunaan energi yang benar-benar diperlukan. Antara lain, konservasi pada pembangkit yang didahului dengan audit energi, mengurangi pemakaian listrik konsumtif termasuk buat keindahan dan kenyamanan. Lalu mengganti peralatan tak efesien seperti mesin-mesin produksi dan transportasi yang tak hemat energi dan mengatur pemakaian peralatan.

Kedua, diversifikasi energi penting dilakukan karena selama ini di Indonesia, justru terjadi penyeragaman. Deversifikasipun berjalan lambat. Dia mengatakan, banyak wilayah berpotensi biofuel tetapi pemanfaatan tak berjalan baik. Bahkan, katanya, sampai sekarang Indonesia,  tak memiliki skenario perubahan pegggunaan energi. “Misal mau gunakan batubara itu sampai kapan?” Ketiga, insentif dan disinsentif sangat penting untuk mengakselerasi pengelolaan energi.

Namun, Abetnego memberikan catatan soal energi ini, yakni, penting melihat sejauh mana kekuatan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) bisa mengubah struktur kabinet. “Karena kalau struktur kabinet seperti sekarang tak akan jalan. Lamban, ego sektoral.”

Riza Damanik, direktur eksekutif Indonesia for Global Justice juga memberi pandangan mengenai pengelolaan energi di Indonesia. Menurut dia, perombakan pemberian subsidi bisa dijalankan tetapi harus berdasarkan keadilan hak. “Sepakat penghentian subdisi bagi kapal-kapal besar dan industri-industri ekstraktif. Tapi tidak bagi sektor-sektor kerakyatan seperti pertanian dan perikanan,” katanya.

Di Indonesia, ada subsidi salah sasaran, misal,  pemberian pada kapal-kapal lebih 60 gross atau industri pergudangan. “Jika ini dipangkas akan memberikan cukup banyak penghematan dalam penggunaan energi.”

Hal penting lain yang harus diperhatikan pemerintahan Jokowi-JK,  yakni penggunaan teknik lokal dalam pengelolaan energi agar tak ada ketergantungan luar.  “Bukan hanya energinya tapi masyarakat bisa kelola sendiri energi tak perlu tergantung asing.”

Untuk itu, pemerintah harus memberi ruang khusus dan anggaran khusus agar kampus-kampus bisa menghasilkan teknologi terapan hingga teknologi-teknologi lokal bisa dikembangkan.

Selain itu, guna mendorong kedaulatan energi, katanya, harus meletakkan sumber daya alam (SDA) sebagai suatu yang integral bukan sektoral.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,