,

WWF Ajak Pebisnis Terlibat Serius Konservasi Orangutan Borneo

Sembilanbelas Agustus merupakan Hari Orangutan Internasional. Pada hari itu, WWF Indonesia dan WWF Malaysia menyerukan pemangku kepentingan termasuk pebisnis memperkuat upaya konservasi orangutan Borneo khusus di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia.

Efrnasjah CEO WWF-Indonesia, dalam siaran pers mengatakan, penelitian WWF menunjukkan 70 persen populasi orangutan di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat, di kawasan lintas batas. Ia berbatasan dengan Cagar Alam Lanjak Entimau, Malaysia. “Penting kerjasama antara kedua negara, bahu-membahu menyelamatkan spesies ini,” katanya Selasa (19/8/14).

Di Kalimantan, lebih 70% orangutan tinggal di luar kawasan lindung, misal di konsesi perusahaan. Jadi, keberlangsung hidup satwa langka ini perlu kerjasama dengan pengusaha pemilik konsesi.

WWF-Indonesia, katanya, bekerjasama dengan beberapa pemilik konsesi HPH di Kalimantan, dalam melindungi orangutan. Yakni, mengintegrasikan antara rencana pengelolaan produksi kayu dan konservasi satwa liar. Konsesi itu mencakup 300.000 hektar atau lebih sepertiga wilayah prioritas orangutan dalam lansekap orangutan Arut Belantikan di Kalimantan.

PT Suka Jaya Makmur (SJM), di Kabupaten Ketapang, Kalbar, mengembangkan dan menerapkan rencana pengelolaan  hutan produksi bersinergi dengan konservasi orangutan. SJM, perusahaan pertama di Indonesia yang mengembangkan pengelolaan orangutan dengan konsep ini.

Dari penelitian WWF,  menunjukkan, sepanjang logging dengan cara-cara lestari, pakan alami orangutan dijaga tetap tersedia, dan ancaman perburuan dikontrol ketat, orangutan bisa hidup dalam hutan produksi.

Menurut CITES, orangutan Borneo (Pongo pygmaues) adalah spesies terancam punah (Appendix I). Populasi terancam karena habitat terfragmentasi lebih 55% dalam 20 tahun, antara lain akibat konversi hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman. Mereka juga terancam kebakaran hutan dan perdagangan untuk peliharaan.

Populasi orangutan terancam karena habitat terfragmentasi lebih 55% dalam 20 tahun, antara lain akibat konversi hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman. Mereka juga terancam kebakaran hutan dan perdagangan untuk peliharaan. Foto: Sapariah Saturi
Populasi orangutan terancam karena habitat terfragmentasi lebih 55% dalam 20 tahun, antara lain akibat konversi hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman. Mereka juga terancam kebakaran hutan dan perdagangan untuk peliharaan. Foto: Sapariah Saturi

Prabianto Mukti Wibowo, ketua Kelompok Kerja Nasional Heart of Borneo (HoB) Indonesia, mengatakan, pemerintah berkomitmen dalam konservasi dan pembangunan berkelanjutan di HoB. Untuk itu, penting memperbaiki kondisi hutan-hutan gundul kritis dan memastikan konektivitas koridor keragaman hayati satwa liar. Saat sama, juga mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan. “Partisipasi swasta dan masyarakat lokal menjadi faktor utama,” katanya.

Pulau Borneo, merupakan pulau unik karena memiliki tiga sub-spesies orangutan: Pongo pygmaeus pygmaeus, di bagian barat laut, Pongo pygmaeus morio, populasi di bagian timur laut dan Pongo pygmaeus wurmbii di bagian barat daya. Tahun 2004, diperkirakan ada sekitar 54.000 orangutan di Borneo.

Dionysius Sharma, CEO WWF-Malaysia, mengatakan, guna mencapai rencana pengelolaan orangutan, perlu koneksi ekologi memantau pergerakan orangutan dan mengamankan kondisi hutan di HoB.

Dia mencontohkan, konektivitas ekologi  antara Taman Nasional Batang Ai dan Cagar Alam Lanjak Entimau, Sarawak, dengan Taman Nasional Betung Kerihun di Kalimantan serta konsesi kawasan adalah wilayah konservasi yang penting.

“Kami mengajak para perusahaan konsesi menerapkan rencana aksi orangutan di kawasan lintas batas. Dimana, habitat orangutan yang berdekatan dengan konsesi mereka.”

Rencana Aksi Orangutan di Lintas Batas yang telah diinisiasi Departemen Kehutanan Negara Bagian Sarawak, Malaysia, pada 2005, menjadi relevan diperkuat bagi kedua negara dalam konteks perlindungan lebih baik bagi primata di kawasan HoB ini. Tepatnya Kalimantan dan negara bagian Sabah dan Sarawak, Malaysia.

Sapuan Ahmad, direktur Departemen Kehutanan Negara Bagian Sarawak, mengungkapkan, saat ini penelitian masih dilakukan berbagai organisasi orangutan dan spesies lain di kawasan HoB dan sekitar. Fokusnya, pengelolaan hutan lestari, ekowisata berbasis budaya, petualangan dan alam, konservasi keragaman hayati, pertanian berkelanjutan dan penggunaan lahan serta pemberantasan kemiskinan masyarakat di pedesaan.

Sam Mannan direktur Departemen Kehutanan Negara Bagian Sabah, mengatakan, bersama WWF-Malaysia, mereka mereboisasi habitat orangutan terdegradasi seluas sekitar 2.400 hektar di hutan lindung Bukit Piton sejak 2005. Hutan ini kritis karena penebangan liar dan kebakaran hutan masa lalu. Di kawasan ini populasi orangutan diperkirakan 170-300 individu pada 2007 dan 2008.

Orangutan Kalimantan di Cagar Alam Lamandu di   Kalimantan Tengah. Foto: WWF
Orangutan Kalimantan di Cagar Alam Lamandu di Kalimantan Tengah. Foto: WWF
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,