Ratusan gajah hidup tenang di Air Sugihan, Sumatera Selatan, sebelum datangnya transmigran sebanyak 200 ribu jiwa dan adanya kegiatan penebangan atas nama hak pengusahaan hutan (HPH) pada 1982.
Suatu hari pada 1982, ratusan gajah masuk ke perkampungan transmigran yang sebelumnya merupakan habitat gajah. Puluhan anggota TNI berencana menembaknya. Kabar tersebut sampai ke Presiden Soeharto melalui Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup saat itu.
Soeharto memerintahkan para tentara tidak menembak ratusan gajah tersebut. Emil Salim diperintahkan memindahkan gajah-gajah tersebut.
Operasi yang terkesan “gila” ini pun dijalankan. Tim yang terdiri 400 orang ini bernama Satuan Tugas Operasi Ganesha yang dipimpin Letkol I Gusti Kompyang (IGK) Manila. Tugas mereka memindahkan sekitar 232 gajah dari Air Sugihan ke Lebong Hitam, Lampung, sejauh 70 kilometer.
Rute pemindahan ini medannya cukup berat. Ratusan gajah maupun anggota tim harus melewati rawa, hutan, serta sungai yang amat lebar. ”Mereka itu berbaris teratur. Yang betina di depan dan di samping rombongan. Di bagian tengah berkumpul semua anak gajah dan di belakang berbaris gajah jantan. Sungguh luar biasa, mereka seperti manusia,” kata Emil, seperti dikutip dari tulisan Belajar Bersikap Manusiawi Pada Gajah.
Meskipun sudah dilakukan pemindahan, gajah masih hadir di Air Sugihan yang masuk wilayah Pantai Timur. Kehadiran gajah ini karena mereka tetap membutuhkan air garam yang berada di laut. Sementara perkampungan transmigran selama ini merupakan koridor gajah menuju laut atau habitatnya. Saat itu sering didapatkan kabar terjadi penembakan atau perburuan gajah di Air Sugihan untuk diambil gadingnya oleh pemburu maupun masyarakat.
Gajah kembali berkonflik dengan manusia saat terjadi kemarau panjang pada 1992, yang menyebabkan sejumlah transmigran meninggal dunia akibat kelaparan di Air Sugihan. Saat saya datang bersama sejumlah relawan Pemuda Muhammadiyah, seorang warga bercerita bukan hanya mengalami kesulitan mencari sumber makanan dan air bersih, juga sering kali berkonflik dengan gajah, babi, dan harimau.
“Saat terjadi kekeringan dan kelaparan pada 1992, banyak warga yang menyerah, pulang kembali ke Jawa. Kekeringan dan kelaparan itu menimbulkan kematian sebagian masyarakat,” kata Sukirman, Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB), pada (23/11/2012).
Puncaknya kebakaran hutan tahun 1997-1998. Gajah dan manusia kehilangan lahan dan habitatnya. Ratusan ribu hektar lahan gambut terbakar. Gajah-gajah yang tersisa kembali berkonflik dengan masyarakat.
Sabtu (08/08/2014) siang, Tulus (30), menyeberang Jalur 21 yang tinggi airnya mencapai 2,5 meter. Tulus salah satu keturunan gajah Air Sugihan yang sebagian besar dipindahkan IGK Manila ke Lebong Hitam.
Untuk beberapa detik, hampir seluruh tubuhnya masuk ke dalam air. Tulus bersama pawangnya Didi, kembali ke Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan yang berada di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, Kabupaten Banyuasin, setelah mencari makan berupa daunan pisang di seberang pusat latihan tersebut.
Penampilan Tulus tidak sempurna. Ujung dua gadingnya telah terpotong. “Ini sengaja dipotong sebab Tulus sering berkelahi dengan gajah lainnya. Dipotong agar tidak saling melukai,” kata Didi.
Dikatakan Didi, gajah jantan sering kali berkelahi untuk memperebutkan gajah betina. “Hampir semua gajah jantan taringnya dipotong,” kata Didi.
Bertemu dengan Tulus, merupakan keberuntungan bagi saya, sebab gajah-gajah lainnya tengah dibawa para pawang ke dalam hutan buat mencari makan.
Saya sampai ke Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan Sebokor yang mengurusi sekitar 20 gajah, setelah melakukan perjalanan selama 1,5 jam dari Palembang, menggunakan speedboat. Perjalanan dimulai dari pangkalan speedboat di Plasa Benteng Kuto Besak, melaju sepanjang Sungai Musi, Sungai Air Saleh, dan masuk ke Jalur 21.
Sedangkan perjalanan darat dari Palembang ditempuh dengan waktu sekitar 2 jam. Rutenya Palembang-Plaju-Cinta Manis dan Sebokor.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel gajah liar yang berada di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor beberapa tahun ini tercatat 40 ekor, sehingga ditambah 20 gajah yang sekolah, jumlahnya menjadi 60 ekor.
Dua lokasi lain di Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir) yang menjadi habitat gajah yakni Gajah Mati yang diperkirakan ada kelompok gajah yang berjumlah 12 ekor, kemudian di Desa Ketupak dan Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, segerombolan gajah yang berjumlah sekitar 15 ekor.
Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor terletak di Kabupaten Banyuasin. Kawasan ini ditetapkan sebagai suaka margasatwa berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: 004/Kpts-II/1983, 19 April 1983 dengan luasan 75.000 hektar. Penetapan ini satu tahun setelah kedatangan para transmigran ke Air Sugihan, dan pemindahan ratusan gajah dari Air Sugihan ke Lebong Hitam.
Saat ini kondisi sekolah gajah ini sangat memprihatinkan. Tepian Jalur 21 terus mengalami erosi akibat minimnya tanaman, serta terkena hempasan ombak dari speed boat yang melaju. Bangunan sekolah gajah yang terbuat dari papan kayu juga tampak tidak terawat. Sebagian dinding maupun atap sudah rusak. Sepanjang mata memandang yang terlihat padang rumput. Tanaman berupa hutan gelam baru ditemukan setelah masuk sekitar tiga-lima kilometer dari sekolah gajah.
“Tanaman di sini habis dimakan gajah,” kata Didi.
Penjelasan Didi tersebut tidak sepenuhnya benar. Saya melihat ada warga yang melakukan perambahan di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor. Mereka mengambil kayu gelam.
Sebelum kebakaran hutan gambut pada 1997-1998, tanaman di hutan margasatwa ini beragam. Setelah kebakaran, tanaman yang dominan adalah gelam. Meskipun begitu, beberapa tahun lalu diklaim masih ditemukan tanaman pulai, ficus sp, mahang, dillenia sp, pandan laut, paku laut, pakis gambut, pales, rengas, sungkai, waru laut, rotan udang, laban, laban rawa.
Namun rengas, sungkai, rotan udang tampaknya saat ini sudah sulit ditemukan, karena menjadi sasaran para perambah. Harganya yang mahal menjadi motif perambahan, baik dijual di Palembang maupun tempat lainnya.
“Kalau masih ada rengas dan sungkai pasti sudah diburu orang, Pak. Sudah sulit mendapatkan kayu itu,” ujar Mang Min, serang (pengemudi) speedboat.
Sementara satwa yang masih ada selain gajah, beruk, lutung, kera ekor panjang, trenggiling, tapir, kijang, bajing tanah, buaya muara, biawak, serta berbagai jenis burung dan ikan. Tapi satwa yang paling dominan adalah babi hutan. Sedangkan ikan yang paling banyak didapatkan para nelayan gabus dan betok.
Saya tidak melihat burung, kera ekor panjang, lutung, maupun buaya muara. Saya hanya bertemu satu ekor gajah yakni Tulus, dan sekelompok babi hutan yang terlihat di antara semak belukar hutan margasatwa tersebut.
“Kalau kita masuk ke dalam hutan masih ada monyet ekor panjang, beruk, lutung dan trenggiling,” kata Mang Min.
Lingkungan sekitar hutan margasatwa itu, tepat di wilayah Kabupaten OKI yang berada di seberang Sungai Air Sugihan, tampaknya didominasi perkebunan sawit dan tanaman hutan tanaman industri (HTI) berupa akasia. Sedikitnya sebelas kapal tongkang yang membawa buah kelapa sawit, yang saya temukan sepanjang perjalanan. Lalu beberapa tongkang besar membawa ratusan ribu kubik kayu akasia. Nyaris tidak terlihat tongkang yang membawa hasil pertanian.
Perjalanan terasa melelahkan akibat hempasan ombak dari puluhan speedboat yang melintas. Hempasan ombak, termasuk dari speedboat, yang saya naiki, selain menganggu para nelayan yang menggunakan perahu tengah mencari ikan, juga menyebabkan tepian sungai mengalami erosi.
Rehabilitasi dan hentikan perluasan perkebunan
Selain upaya pencegahan perambahan hutan, kebakaran, juga diperlukan rehabilitasi lahan, khususnya tepian Sungai Air Sugihan dan Jalur 21. “Sangat diperlukan penanaman bakau dan jenis tanaman lainnya, sehingga dapat mencegah erosi dan menjaga keberagaman hayatinya. Dan yang terpenting menjaga lahan gambut yang tersisa,” kata Najib Asmani, Staf Ahli Lingkungan Hidup Gubernur Sumsel, Senin (11/08/2014).
“Dalam melaksanakan program ini dapat memanfaatkan sejumlah perusahaan HTI yang beroperasi di sana, dan tentunya melibatkan masyarakat,” katanya.
Najib juga menjelaskan perlu penataan khusus terhadap Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, sehingga menjadi habitat gajah yang terjaga, yang dapat dikunjungi banyak wisatawan maupun peneliti.
“Kian banyak orang yang memantau atau berkunjung ke hutan suaka margasatwa tersebut, kian terjaga hutan gambut di sana. Gajah terjaga, hutan gambut lestari,” ujarnya.
Sejak kebakaran hutan 1997-1998, kemudian tahun 2006, 2007, dan 2008, sekitar satu juta hektar lahan gambut di Sumatera Selatan mengalami kerusakan. Sebelumnya, lahan gambut yang berada di Kabupaten OKI, Banyuasin, dan Musi Banyuasin mencapai 1,2 juta hektar. Saat ini lahan gambut yang masih “perawan” sekitar 170 ribu hektar. Selain kebakaran, lahan gambut ini juga terancam perambahan, pertambakan udang dan perkebunan sawit dan HTI.
Salah satu upaya mencegah perambahan dan kebakaran hutan, apa yang dilakukan perusahaan HTI PT. Bumi Mekar Hijau (MKH). Mereka mengalokasikan sekitar 500 hektar dari 250.370 hektar luasan konsensinya, untuk dijadikan perkampungan masyarakat yang merupakan relawan kebakaran atau masyarakat peduli api (MPA) di Distrik Sungai Beyuku yang diberi nama Kampung Rengas Merah Hilir.
“Dulunya sebagian mereka merupakan perambah. Saat ini mereka menjadi relawan MPA. Yang tugasnya mencegah kebakaran lahan gambut dan perambahan hutan,” kata Najib.
Sementara, guna memenuhi kehidupan sekitar 80-an kepala keluarga tersebut, perusahaan memberikan bantuan modal racun pembunuh rumput, bibit, dan pupuk. “Racun pembunuh rumput ini sangat penting sebab menghindari tindakan pembakaran lahan. Tapi saat ini juga tengah dikaji dan dikembangkan pengolahan lahan pertanian tanpa menggunakan racun pembunuh rumput apalagi pembakaran, serta pupuk organik,” ujarnya.
Kampung Rengas Merah Hilir sudah berjalan selama tiga tahun. “Beberapa fasilitas yang belum terwujud atau akan diusahakan di masa mendatang, yakni listrik, pengolahan sumber air bersih, dan fasilitas pendidikan, termasuk pengembangan koperasi,” katanya.
Hadi Jatmiko dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, mengatakan guna mencegah kerusakan lahan gambut di Sumatera Selatan, selain upaya yang disampaikan Najib, juga menghentikan berbagai aktivitas perkebunan sawit dan perluasan konsensi HTI.
“Sebab, aktivitas perkebunan itu yang menimbulkan kerusakaan hutan gambut, seperti pembukaan lahan dan pembakaran. Perambahan hutan dan pembakaran lahan yang dilakukan masyarakat tidak seganas yang dilakukan perkebunan skala besar,” katanya.
Saat ini, terdapat perusahaan besar HTI dan sawit yang sebagian besar memanfaatkan lahan gambut dan rawa pasca-kebakaran hutan 1997-1998. Di Musirawas, Banyuasin dan Musi Banyuasin: PT. Sumber Hijau Permai (SHP), PT. Tripupa Jaya (TPJ), PT. Rimba Hutani Mas (RHM), PT. Bumi Persada Permai (BPP) I dan PT. BPP II. Kemudian di Kabupaten OKI: PT. Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industri, PT.Bumi Andalas Permai (BAP), PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), dan PT. Ciptamas Bumi Subur (CBS).
Semua perusahaan tersebut saat ini merupakan rekanan atau pemasok bahan baku pabrik kertas APP (Asia Pulp & Paper Group), dan di masa mendatang menjadi pemasok pabrik kertas terbesar di Asia, PT. OKI Pulp & Paper Mills. Terdapat pula puluhan perkebunan sawit skala besar dan kecil di lahan gambut. Salah satunya PT. Selatan Agro Makmur Lestari di Kabupaten OKI yang berkonflik lahan dengan masyarakat.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio