,

Ratusan Hektar Lahan di Sintang Terbakar Selama Kemarau

Sore, 21 Juni 2014, perangkat seluler Kadarwanto menerima panggilan penting dari atasannya. Kepala Daerah Operasi Manggala Agni Sintang ini diinstruksikan segera memadamkan kebakaran lahan di Sungai Seria, Kecamatan Ketungau Hulu. Tak ada pilihan lain selain berangkat, meski dihadapkan dengan bulan puasa.

Kadarwanto bersama 15 anggota pemadam segera bertolak menuju tempat kejadian peristiwa malam itu juga. Dinginya malam tidak jadi hambatan. Mereka berangkat pukul 21.00 WIB dari Bumi Senentang. Jalur yang dipilih adalah Balai Karangan, Kabupaten Sanggau. Tiba di kabupaten perbatasan pukul 03.00 WIB. Sampai di lokasi setelah 10 jam melakukan perjalanan.

Sebenarnya, bertolak ke Kecamatan Ketungau Hulu dengan jalan memutar lintas kabupaten bukanlah pilihan ideal. Meski jarak tempuh lebih lama, Kadarwanto terpaksa menggunakan opsi tersebut. Mengingat, kendaraan pemadam yang berjumlah tiga unit, tidak memungkinkan melewati jalan poros utara Sintang yang mengalami kerusakan. “Kami terpaksa lewat Balai Karangan karena jalan menuju Ketungau Hulu rusak, apalagi kami membawa mobil tanki,” katanya.

Selama beberapa hari, tim Manggala Agni berusaha memadamkan kebakaran lahan di kawasan PT. Palmindo Lestari. Upaya pemadaman sangat menguras tenaga karena topografi yang sulit. Selain itu, sumber air juga susah didapat. “Untuk mendapatkan air, kami harus berkendara sekitar satu kilometer,” ujarnya.

Manggala Agni Daerah Operasi Sintang mencatat selama periode Juli-Agustus 2014, ratusan hektar lahan terbakar selama musim kemarau. Musibah itu tersebar di beberapa kecamatan di Sintang. Pada Juli 2014, Manggala Agni melakukan 28 kali pemadaman. Lahan yang terbakar sebanyak 239,80 hektar. Yang berhasil dipadamkan 78,20 hektar. “Lahan yang terbakar terdiri dari lahan masyarakat, hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit milik PT. Palmindo Lestari di Ketungau Hulu,” jelasnya.

Pada Agustus, jumlah kasus kebakaran lahan mulai berkurang. Namun, lahan yang terbakar lebih luas. Hingga 3 Agustus, sebanyak 386,50 hektar lahan yang terbakar. Kadarwanto menyebut, hotspots (titik panas) perlahan dapat ditekan pada 8 Agustus. “Hotspots berkurang karena hujan mulai turun di bulan Agustus,” katanya.

Di Sintang, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang meminta pemadaman kebakaran lahan hanya satu perusahaan saja. “Saya akui, kebakaran lahan di kebun sawit jumlahnya ada beberapa, tapi yang minta bantuan kami hanya satu perusahaan saja,” kata Kadarwanto.

Dari banyaknya kasus kebakaran lahan yang terjadi, salah satu penyebabnya adalah pola membuka lahan tradisional masyarakat sulit diubah. “Agak sulit mengubah kebiasaan membakar lahan ketika bercocok tanam, ini tugas kita semua untuk memberikan pemahaman,” katanya.

Ia mengklaim sudah melakukan sosialisasi terkait larangan membakar lahan melalui media cetak dan elektronik. Mereka juga diminta hati-hati menyalakan api pada musim kemarau. “Namun, karena kebiasaan membuka ladang dengan cara membakar sudah dilakukan sejak lama, menghilangkan kebiasaan itu memang perlu waktu,” ucapnya.

Bupati Sintang Milton Crosby mengakui sangat sulit mengubah kebiasaan membakar ladang masyarakat Sintang. “Ini yang ingin Pemda ubah dengan sistem pertanian menetap. Prosesnya memang tidak gampang dan memerlukan waktu yang panjang. Makanya, kami memperkuat fungsi petugas penyuluh lapangan,” ucapnya.

Milton menegaskan, bila kebakaran lahan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan sengaja, tetap akan diproses sesuai hukum yang berlaku. “Kalau di Sintang, saya yakin perusahaan tidak melakukan pembakaran,” katanya.

Tegakkan hukum

Direktur Lembaga Titian Kalbar Sulhani mengatakan sanksi pembakaran lahan di Indonesia sudah sangat jelas. Yang diperlukan adalah penegakan hukumnya, karena selama ini aparat yang diberi kewenangan untuk memberikan sanksi cenderung abai, tidak benar-benar memeroses pelaku hingga tuntas.

“Di Kalbar sudah banyak kasus kebakaran lahan yang dilaporkan, namun sangat minim yang benar-benar diproses. Kalaupun sampai ke pengadilan, ujung-ujungnya hanya vonis bebas seperti kasus kebakaran lahan sejumlah perusahaan di Kabupaten Sambas,” ujarnya.

Sulhani mengatakan dari sumber hukum, sebenarnya tujuan pengaturan pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan dan lahan di Indonesia sudah mengacu pada landasan filosofis Pancasila dan landasan konstitusional UUD 1945.

“Kemudian dipertegas dalam berbagai peraturan yang menyebut pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat harus memperhatikan fungsi kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi, budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang,” ujarnya.

Di Indonesia, kata Sulhani, cukup banyak aturan yang memuat norma pembakaran hutan dan lahan  berikut sanksinya, seperti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Dalam sejumlah UU tersebut, aturan sanksinya sudah sangat jelas tercantum, tinggal diterapkan saja,” kata dia.

Upaya pemadaman kerap terhalang ketersediaan air, apalagi musibah tersebut bertepatan dengan musim kemarau. Foto: Dokumen Manggala Agni Daerah Operasi Sintang
Upaya pemadaman kerap terhalang ketersediaan air, apalagi musibah tersebut bertepatan dengan musim kemarau. Foto: Dokumen Manggala Agni Daerah Operasi Sintang

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,