Cara Aceh Cegah Korupsi di Sektor Kehutanan

Aceh menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memiliki rencana aksi untuk mencegah korupsi di sektor kehutanan dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan korupsi. Salah satu strateginya adalah mengedepankan hukum syariah dan adat dalam pengelolaan hutan.

Program Penguatan Integritas dan Akuntabilitas (SIAP II) yang dilaksanakan oleh konsorsium WWF Indonesia, Transparency International Indonesia, dan IWGFF dengan pendanaan dari USAID menggandeng Majelis Adat Aceh (MAA) menyusun buku “Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariah dan Adat Aceh: Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan” sebagai upaya mendukung program penguatan integritas dan akuntabilitas dalam tata kelola hutan. Buku ini diluncurkan bersama oleh Pemerintah Aceh, SIAP II, MAA, dan USAID di Banda Aceh, Senin (25/8/2014).

Sejak masa Kesultanan Aceh, Aceh telah menerapkan hukum syariat Islam dan adat yang cukup kuat dalam mengelola hutan. Menurut Ketua MAA, Badruzzaman Ismail, Aceh memiliki contoh positif dalam sejarah pengelolaan hutan adatnya, dan itu yang hendak dikumpulkan dan dihidupkan kembali melalui semangat keistimewaan Aceh yang berlaku sekarang ini.

Syarikat Mukim sebagai pemangku adat di Aceh telah berjuang sekian tahun untuk meminta kembali hak pengelolaan hutan adat yang telah hilang sejak Pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 yang menghilangkan wewenang Mukim dan Peutuha Peut sebagai pemangku adat pemerintahan di Aceh.

“Ini tantangan besar kami untuk mengembalikan kembali wewenang mukim dalam pengelolaan hutan di Aceh,” kata Badruzzaman.

Sejak 2013 MAA dan SIAP II mengumpulkan lebih dari 100 orang pemangku adat seperti Mukim, pawang uteun (hutan), pawang binatang, ulama, akademisi, dan aparat penegak hukum untuk menggali lagi Al-Quran dan Al-hadist serta hukum adat yang berlaku dalam pengelolaan hutan dan lingkungan yang berlaku di kemukiman yang berbatasan dengan hutan. Akhirnya, semua terangkum dalam sebuah buku pedoman bagaimana manajemen pengelolaan hutan yang diharapkan bisa menjadi contoh baik di Indonesia.

“Pedoman ini menjabarkan bagaimana hukum Syariat baik Al-Quran dan Al-Hadist telah mengatur banyak hal terkait keseimbangan kehidupan di dunia, hubungan antara manusia dan makhluk ciptaan Allah lainnya serta lingkungan sekitar, apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan, dan apa ancaman jika manusia melakukan kerusakan,” kata Badruzzaman.

Hutan alam di Aceh seluas 3.3 juta hektar,  harus dikelola secara lestari. Foto: Chik Rini
Hutan alam di Aceh seluas 3.3 juta hektar harus dikelola secara lestari. Foto: Chik Rini

Hutan Aceh merupakan salah satu harapan terakhir hutan alam yang tersisa di Sumatera. Dengan hutan alam seluas 3.3 juta hektar, hutan Aceh harus dikelola dengan manajemen pengelolaan hutan lestari yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat di Aceh.

CEO WWF-Indonesia, Dr. Efransjah, mengatakan,” Peran serta masyarakat sipil dalam mendukung pengelolaan hutan lestari adalah sebuah keniscayaan, sehingga keterlibatan MAA dalam upaya ini menjadi sangat penting. Apalagi dengan tekanan terhadap hutan tersisa di Sumatera yang semakin besar, jika kondisi saat ini dibiarkan, dalam kurun waktu 20 tahun mendatang keanekaragaman hayati di hutan Aceh dapat mengalami kepunahan.”

Berbagai pendekatan berupaya dilakukan untuk melestarikan hutan Aceh. Sejak 2012, SIAP II telah menjalankan kegiatan-kegiatan untuk memperkuat peranan masyarakat sipil di Provinsi Aceh dalam rangka mendorong integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan hutan yang lestari dan mencegah praktik-praktik korupsi.

Pelaksana tugas Direktur USAID/Indonesia, Derrick Brown, menyatakan, mereka mendukung upaya perlindungan sumber daya alam Aceh. Melalui penyusunan pedoman ini, diharapkan ada contoh baik dalam memperbaiki tata kelola hutan.

“Kami gembira Aceh menjadi propinsi pertama di Indonesia yang menyusun rencana aksi daerah pencegahan korupsi sektor kehutanan dan meningkatan akutabilitas dan integritas dalam pengelolaan hutan. Kami memahami ada peraturan perundangan yang harus diubah dan kami mendukung upaya Pemerintah Aceh, salah satunya dengan terbitnya pendoman ini,” kata Derrick Brown.

Pedoman ini melakukan pendekatan startegis untuk mencegah korupsi yang mencegah pembalakan liar dan penggunaan sumber daya hutan lainnya. Mengidentifikasi prosedur pengelolaan hutan  berdasarakan adat Aceh, diharapkan bisa dilaksanakan oleh masyarakat Aceh. “Ini bukan solusi dari pihak luar, tapi solusi yang dibuat oleh masyarakat Aceh sendiri.”

Chief of Party SIAP II, Fathi Hanif, mengatakan, “Kami juga mengapresiasi dukungan para ulama Aceh dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan lembaga dakwah lainnya yang telah memberikan sumbang pikiran dan tulisan untuk menggali isi Al-Qur’an dan Al-Hadist yang mengatur manusia dalam mengelola sumber daya alam. Kami berharap, pedoman ini dapat membantu seluruh pihak di Provinsi Aceh dalam membangun tata kelola kehutanan yang baik di Indonesia.”

Buku pedoman ini diharapkan menjadi rujukan banyak pihak dalam mendorong tata kelola hutan yang baik di Aceh. Beberapa hal yang dibahas dalam buku pedoman ini antara lain: mata rantai korupsi di sektor kehutanan dan upaya pencegahannya, hukum larangan korupsi di dalam Al-Quran dan Al-Hadist, fiqih pengelolaan hutan dan lingkungan serta panduan pengelolaan hutan berdasarkan adat di Aceh.

Hutan Aceh merupakan salah satu harapan terakhir hutan alam yang tersisa di Sumatera. Foto: Chik Rini
Hutan Aceh merupakan salah satu harapan terakhir hutan alam yang tersisa di Sumatera. Foto: Chik Rini

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,