Inkuiri Nasional Pertama Digelar di Palu, Intimidasi Mulai Terjadi. Bagaimana Keamanan Masyarakat Adat?

Inkuiri nasional yang digagas Komnas HAM untuk mengungkap dan mengupas tuntas konflik-konflik masyarakat adat di kawasan hutan, akan dimulai pertama kali dari Kota Palu, Sulawesi Tengah. Setelah itu, akan menyusul wilayah lainnya seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Papua, dan Maluku. Namun, belum juga rangkaian kegiatan ini dimulai, intimidasi telah dirasakan panitia lokal.

“Teman-teman panitia di lapangan sudah mendapatkan intimidasi dari aparat di sini, terkait kegiatan dengar keterangan umum yang menghadirkan masyarakat adat,” kata Sandra Moniaga, komisioner dari Komnas HAM, saat konferensi pers di Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Senin (25/8/14).

Bagaimana jaminan keamanan bagi masyakarat adat? Untuk mengantisipasinya, Komnas HAM telah meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk datang ke Kota Palu mengikuti pelaksanaan public hearing atau dengar keterangan umum. Dengar keterangan umum ini merupakan metode inti dari inkuiri nasional, yang menghadirkan pemangku hak dan pemangku kewajiban saling bertemu dalam satu forum. Hal ini dimungkinkan karena dengar keterangan umum tersebut akan melibatkan para saksi, saksi korban, saksi ahli, dan para pemangku kewajiban yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak ulayat masyarakat hukum adat.

Dengar keterangan umum akan dipimpin oleh lima komisioner inkuiri nasional yang berasal dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, unsur akademisi dan pakar yang memahami isu hak asasi manusia, hak-hak masyarakat hukum adat, kehutanan, hukum agraria, serta hukum HAM. Para komisioner akan memeriksa lima kasus terkait hak ulayat di kawasan hutan untuk wilayah Sulawesi. Kasus-kasus yang diperiksa didasarkan pada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan tim sehingga dapat memberikan gambaran secara umum kepada publik tentang pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Sulawesi.

“Lima kasus masyarakat hukum adat di wilayah Sulawesi yang akan diperiksa oleh lima komisioner inkuiri nasional dalam dengar keterangan umum adalah masyarakat hukum adat Karonise Dongi, masyarakat hukum adat Matteko, masyarakat hukum adat Tau Taa Wanna, masyarakat hukum adat Barambang Katute, dan masyarakat hukum adat Sedoa,” ungkap Sandra Moniaga.

“Selain itu, dalam keterangan umum ini, komisioner juga akan memeriksa puluhan pihak pemangku kewajiban terkait hal lainnya. Diantaranya: kepala daerah, kepolisian daerah di Sulawesi, dan unsur Muspida lainnya di wilayah Sulawesi.”

Sandra mengatakan bahwa inkuiri nasional dengan metode dengar keterangan umum yang akan dimulai pada hari Rabu, 27 Agustus 2014 ini terbuka untuk masyarakat luas. Namun bisa juga dinyatakan tertutup sebagai langkah perlindungan kepada saksi korban. Selain itu, Komnas HAM juga berharap, inkuiri nasional ini akan menjadi pembelajaran bagi publik agar upaya penyelesaian masalah hak-hak masyarakat adat di kawasan hutan dapat dipahami masyarakat umum dan tidak terjadi lagi pelanggaran HAM pada masa yang akan datang.

Pemerintahan baru harus minta maaf

Di tempat yang sama, Sekertaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Abdon Nababan mengatakan bahwa secara politik, inkuiri nasional dengan metode dengar keterangan umum ini untuk menyongsong enam visi misi presiden terpilih terkait dengan kebijakan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat.

Visi misi tersebut, pertama akan meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak atas sumber agrarian. Kedua, pengesahan RUU pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Ketiga, norma-norma pengakuan masyarakat adat menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam. Keempat, penyusunan perundang-undangan terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria. Kelima, membentuk komisi independen yang menangani hak-hak masyarakat adat. Dan keenam, memastikan penerapan Undang-undang Desa Nomor 6 tahun 2014 khususnya kesiapan provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota.

Abdon menjelaskan bahwa saat ini skala pelanggaran HAM bagi masyarakat hukum adat sangat luar biasa. Ada banyak masyarakat adat yang mempertahankan wilayah ulayat mereka ditahan dan terpenjara. Sementara putusan MK 35 terkait wilayah hutan adat belum berjalan. Padahal sebelumnya, Presiden SBY berjanji akan memimpin langsung pelaksanaan putusan MK tersebut. Namun kata Abdon, sampai dengan saat janji itu belum ditepati. Yang ada sekarang hanyalah surat edaran dan Permenhut terkait dengan putusan MK 35 yang menjelaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Sementara beberapa instansi lain justru menerjemahkan bahwa putusan MK 35 itu salah.

“Harusnya, putusan MK 35 ini ditindaklanjuti oleh presiden dengan mengeluarkan Perpres atau peraturan presiden,” kata Abdon.

Menurutnya, pemerintah saat ini tidak serius menangani masalah yang melanda masyarakat adat yang terkait dengan kawasan hutan. Jika dihitung, katanya, kerugian materil yang dialami oleh masyarakat adat selama bertahun-tahun bisa mencapai triliunan rupiah. Namun, menurutnya itu mustahil bisa diganti-rugi oleh negara. Sehingganya, Abdon berharap, pemerintahan yang baru melalui duet presiden terpilih Jokowi dan Jusuf Kalla, meminta maaf kepada masyarakat adat.

“Presiden dan wakil presiden terpilih cukup minta maaf saja. Karena telah banyak kesalahan yang dilakukan oleh negara ini. Banyak masyarakat adat yang dikriminalisasi dan masih terpenjara. Segera pulihkan nama baik mereka,” tegas Abdon.

Dalam inkuiri nasional ini, Abdon juga berharap ada penanganan kasus secara menyeluruh yang menimpa masyarakat adat. Setelah itu, Komnas HAM segera merekomendasikan penanganan kasus tersebut kepada presiden terpilih.

Renananya, inkuiri nasional ini akan digelar ditujuh tempat. Untuk regional Sumatera akan dipusatkan di Medan, Sumatera Utara. Di pulau Jawa akan digelar di Banten. Regional Bali dan Nusa Tenggara digelar di Nusa Tenggara Barat. Pulau Kalimantan digelar di Pontianak, Kalimantan Barat. Setelah itu menyusul digelar di Papua, dan Maluku di Kota Ambon. Untuk Sulawesi digelar di Kota Palu. Dalam beberapa rangkaian kegiatan ini akan digelar pemutaran film terkait dengan perjuangan masyarakat hukum adat.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,