,

Mampukah Program REDD+ di Sumsel Atasi Kerusakan Hutan dan Lahan Gambut?

Badan Pengeloa (BP) REDD+ menandatangani nota kesepahaman dengan Pemerintah Sumatera Selatan. Mampukah kesepahaman ini membendung deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut di Sumsel?

“Saya pesimitis program yang dijalankan REDD+ dan Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel) mencapai apa yang ditargetkan, jika pelaksanaannya hanya berorientasi penurunan emisi gas rumah kaca, tanpa menempatkan masyarakat sebagai aktor penting di hutan dan lahan gambut,” kata JJ Polong dari Spora Institute di Palembang. Keterlibatan masyarakat harus diutamakan, baik melalui program sosial, ekonomi, hingga budaya.

“Jika masyarakat ditinggalkan, bukan tidak mungkin program REDD+ di Sumsel akan menimbulkan konflik-konflik baru. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah maupun dengan perusahaan,” kata Polong.

Dikatakan Polong, berbagai program pencegahan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut di Sumsel mengalami kegagalan atau tidak optimal karena tidak melibatkan masyarakat.

Sri Lestari Kadariah, advokat lingkungan hidup di Palembang, mengatakan program REDD+ di Sumsel akan sulit mencapai target. Alasannya, masih banyak kebijakan yang dilahirkan pemerintah pusat dan daerah di Sumsel yang justru berlawanan dengan tujuan REDD+.

“Misalnya, terus berjalannya pemberian izin usaha pertambangan batubara, HGU perkebunan kelapa sawit, serta minimnya anggaran yang terkait dengan penataan lingkungan hidup,” kata Sri.

Dijelaskan Sri, saat ini sekitar 350-an izin usaha penambangan batubara yang wilayah operasinya di Sumatera Selatan yang memakan luasan lahan sekitar 2,7 juta hektar. Semetara, izin usaha perkebunan sawit sekitar 400-500 dalam luasan sekitar satu juta hektar.

“Jadi program REDD+ akan berhasil jika adanya perubahan kebijakan terkait eksplorasi pertambangan dan perkebunan. Misalnya, menghentikan keluarnya perizinan yang baru, serta mengevaluasi perizinan yang sudah dikeluarkan,” kata Sri.

Sebelumnya, BP REDD+ dan Pemerintah Sumsel melakukan penandatangan kesepahaman di Palembang, Rabu (20/08/2014) pagi. Keduanya sepaham melaksanakan program penurunan emisi gas rumah kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (REDD+), serta mengembangkan, memantau program dan kegiatan implementasi REDD+ di Sumatera Selatan. BP REDD+ diwakili ketuanya Heru Prasetyo dan Sumatera Selatan diwakili gubernurnya Alex Noerdin. Kesepahaman ini berjalan hingga 31 Desember 2016.

Objek dari kegiatan tersebut berupa persiapan, dan pengawasan implementasi Program REDD+ di Sumatera Selatan. Ruang lingkupnya meliputi pengembangan dan penyempurnaan data dasar peta kadastral; pembentukan dan penguatan kelembagaan dan proses sehingga Provinsi Sumatera Selatan siap untuk melaksanakan program REDD+ secara penuh; pengarusutamaan Strategi Daerah REDD+ Provinsi Sumatera Selatan dalam pembangunan; pengembangan dan penyempurnaan berbagai kebijakan dan peraturan di tingkat daerah yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan REDD+ di Provinsi Sumatera Selatan.

Pengembangan berbagai program, proyek, dan atau kegiatan strategis untuk implementasi REDD+ secara penuh juga dilakukan termasuk dalam rangka penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut, antara lain melalui pengembangan hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, juga fasilitasi penyelesaian konflik tenure lahan.

Begitu juga dengan pengembangan gerakan desa hijau  dan sekolah hijau, penataan perizinan, perencanaan  penggunaan  lahan dan sinergi rehabilitasi catchment area pada DAS  Hulu pada  suatu  bentangan  alam atau ekoregion,  serta   dukungan   pembentukan serta operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan  Hutan (KPH)  di Provinsi Sumatera Selatan.

Dalam sambutannya, Alex Noerdin berharap program REDD+ di Sumsel dapat mendorong terwujudnya “Sumsel hijau”. Yaitu, Sumsel yang terdepan dalam mensukseskan penyelamatan hutan dan lahan gambut di Indonesia.

Toilet Karbon

Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, Rabu (20/08/2014) malam, mengatakan skema REDD+ tersebut bagus menurut negara maju, namun bencana bagi Indonesia. “Skema REDD+ ini menjadikan Indonesia sebagai toilet karbon bagi negara negara maju dengan memberikan bantuan Indonesia menjaga hutan, namun di sisi lain mereka seenaknya menghasilkan karbon tanpa mau menguranginya,” kata Hadi.

Terkait Sumatera Selatan, kata Hadi, skema REDD+ ini setidaknya akan mengancam masyarakat lokal, adat, dan petani yang selama ini menjadikan hutan tidak hanya berfungsi menjaga lingkungan namun juga sosial dan budaya. Artinya kedepan akses masyarakat terhadap hutan akan dihilangkan. “Dampaknya, kemiskinan dan kriminalisasi terhadap masyarakat akan sering terjadi dan meningkat. Salah satunya, seperti kita ketahui bersama bahwa penetapan status kawasan di Indonesia khususnya Sumsel masih belum selesai,” ujarnya.

Dari 8,9 juta hektar luas Sumatera Selatan, saat ini sekitar 2,7 juta hektar digunakan untuk pertambangan batubara, 1,3 juta hektar untuk hutan tanaman industri (HTI), dan 1 juta hektar untuk perkebunan sawit. Hutan tutupan di Sumsel, dari 1,2 juta hektar tinggal 700 ribu hektar, dan lahan gambut dari 1,2 juta hektar tinggal 170-an ribu hektar.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,