,

Lindungi Hak Masyarakat Adat, Menanti Aksi Presiden Terpilih

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo-Yusuf Kalla, agar konsisten merealisasikan janji-janji dalam melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Abdon Nababan, sekretaris jenderal AMAN mengatakan, ada beberapa janji Jokowi, antara lain, jika pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) di DPR gagal, Presiden terpilih akan mengambil inisiatif baru.  Tujuannya, supaya proses lebih cepat.

Janji lain, jika dalam RUU PPMHA gagal membentuk komisi nasional untuk masyarakat adat, maka akan membentuk komisi itu di bawah Presiden.

Jokowi juga berjanji mengkaji seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan hak konstitusional masyarakat adat. Termasuk menyelesaikan konflik-konflik agraria.

“Sebagian besar,  wilayah adat kita dihuni tambang dan perkebunan yang masuk lewat berbagai izin, baik izin palsu maupun reesmi. Kita tahu ini bukan pekerjaan mudah bagi Presiden. Jadi, perlu lembaga khusus di bawah Presiden, yang mendorong proses-proses penyelesaian sengketa,” katanya di Jakarta, Jumat (29/8/14).

Dia optimistis pemerintahan baru akan merealisasikan janji pemenuhan hak-hak masyarakat adat ini, terlebih poin-poin itu tercantum dalam visi-misi mereka. “AMAN akan terus mengawal pemerintahan mendatang.”

Permasalahan RUU PPMHA

Mengenai RUU PPMHA, kata Abdon, tak perlu tergesa-gesa disahkan karena masih ada beberapa permasalahan yang jika dipaksakan justru merugikan masyarakat adat.

“Ada kesan seolah-olah AMAN menghambat pengesahan RUU PPMHA. Padahal, kami ingin RUU ini jangan asal disahkan dengan substansi buruk. Harus diluruskan dan diperbaiki dulu substansinya.”

Di dalam usulan AMAN, harus ada komisi nasional masyarakat adat yang independen dan permanen. Namun, dalam RUU, diganti hanya panitia adhock. Abdon tidak yakin urusan masyarakat adat akan selesai jika hanya diurus panitia adhock. “Tumpukan masalah masyarakat adat sudah terjadi selama 69 tahun!”

AMAN juga meminta jangan ada lagi lembaga adat buatan baru, baik bentukan pemerintah pusat maupun daerah. “Masyarakat adat sudah mempunyai lembaga sendiri. Peradilan adat juga sudah ada. Dalam draf  RUU,  ada tendesi membuka ruang pemerintah membuat lembaga adat baru.

Hutan yang dibelah PT TPL untuk membuat akses jalan. Di areal ini juga lokasi peristiwa penangkapan warga yang berusaha mempertahankan Hutan Kemenyan yang menjadi tempat hidup masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta secara turun menurun. Foto: Made Ali

Dorong pemerintah aktif

Dalam kesempatan sama, Rukka Sambolinggi, deputi sekjen AMAN mendorong pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam World Conference on Indigenous People (WCIP) yang akan digelar di New York,  Amerika Serikat akhir September. Konferensi ini penting guna melihat status pemenuhan hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia.

“Di forum ini AMAN tidak resmi menjadi wakil pemerintah Indonesia. Forum ini ada dua pihak, negara dan masyarakat adat.”

Indonesia, katanya, bisa menjadi contoh bagi dunia global dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat. Kemajuan tampak pada kelahiran putusan Mahkamah Konstitusi 35, UU Desa, BP REDD+ yang kuat di masyarakat, juga draf RUU PPHMHA yang sedang dibahas. “Meskipun banyak yang mesti diperbaiki.”

Bebaskan korban konflik agraria

Sementara itu, AMAN Sumatera Selatan mendesak Presiden terpilih, Joko Widodo, membebaskan ratusan warga yang ditahan karena konflik agraria, seperti Muhammad Nur Djakfar dan lima warga lain. Kini mereka ditahan di Rutan Pakjo Palembang dituduh merambah hutan Margasatwa Dangku, Musi Banyuasin, Sumsel.

Penahanan masyarakat adat ini bertentangan dengan semangat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 yang menguatkan pengakuan terhadap hutan adat.

“Harapan masyarakat adat dan kaum tani di Indonesia Jokowi-JK bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, juga menyelesaikan berbagai kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan petani,” kata Rustandi Adriansyah dari AMAN Sumsel, Minggu (24/8/14).

Desakan serupa juga disampaikan ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP-MAN) Mualimin Pardi Dahlan.

“Sekitar 213 masyarakat adat di Indonesia ditahan. Termasuk empat masyarakat adat Semende 3,5 tahun atas vonis PN Bengkulu.”

Masyarakat adat ini, korban kriminalisasi konflik lahan antara masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan di 145 titik. “Jokowi-JK harus membantu mereka. Mereka hidup miskin, tanah dirampas, dikriminalisasi pula.”

Tak tepat

Untuk kasus Nur, kata Rustandi, tuduhan penjarahan menggunakan UU Konservasi SDA dan UU P3H, sangat tidak tepat. “Lahan itu tanah adat. Justru hutan adat menjadi suaka itu harus dipertanyakan. Masyarakat hidup, berkebun, bertani, juga menetap. Ya, seperti kehidupan sebelum tanah adat itu diambil pemerintah untuk Suaka Margasatwa Dangku.”

Kondisi hutan sudah rusak sejak lama. Banyak penebangan liar diduga dilakukan aparat. Bahkan, tidak ditemukan satwa seperti gajah, harimau, maupun tapir. “Tahun 1990-an, HPH di situ.”

Suaka Dangku berada di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, sekitar 150 kilometer dari Palembang dengan luas 31.752 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan Mei 1991. Sebelum itu, SK Menhut 1986, luas Margasatwa Dangku 70.240 hektar.

Akhir tahun lalu, warga adat Mantangai, Kalimantan Tengah, aksi tidur di kantor bupati menuntut kepastian pengembalian lahan adat mereka yang masuk wilayah perkebunan sawit. RUU Masyarakat Adat penting guna menjamin hak-hak mereka. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,