,

Menengok Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Baluran. Apa Sajakah?

Seharian penuh menyusuri jalanan tidak rata yang membelah Taman Nasional (TN) Baluran, nampaknya tidak cukup untuk memenuhi hasrat menjelajahi  25.000 hektar luas keseluruhan taman nasional yang terletak di wilayah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.

Perburuan foto satwa dan keanekaragaman hayati di TN Baluran, menjadi tujuan sekaligus tantangan tersendiri bagi pengunjung yang masuk ke dalamnya. Melewati zona-zona di dalam Taman Nasional Baluran, masih bisa dijumpai sejumlah spesies tumbuhan dan  satwa eksotis endemik pulau Jawa.

Berdasarkan Buku Zonasi Balai Taman Nasional Baluran tahun 2012, taman nasional tertua di Indonesia ini mempunyai luas 25.000 hektar, yang terdiri dari 26.990,3 hektar daratan dan 2.051,68 hektar perairan laut, dengan zonasi terdiri dari Zona Inti seluas 6.920,18 hektar (27,68 persen), Zona Rimba sekitar 12.604,14 hektar (50,42 persen), Zona Perlindungan Bahari seluas 1.174,96 hektar (4,70 persen), Zona Pemanfaatan sekitar 1,856,51 hektar (7,43 persen), Zona Tradisional seluas 1.340,21 hektar (5,36 hektar), Zona Rehabilitasi sebanyak 365,81 (1,46 persen) dan Zona Khusus sekitar 738,19 hektar (2,5 persen). Peraturan terbaru menyebutkan luas total TN Baluran menjadi 29.041,68  hektar dari 26.990 hektar daratan dan 2.051,98 hektar perairan laut,

Sesuai fungsinya, Zona Inti diperuntukkan sebagai tempat perlindungan habitat satwa ikon Taman Nasional Baluran yaitu Banteng (Bos javanicus), dan hewan lain yaitu Rusa Timor (Rusa timorensis), Kijang (Munticus muntjak), Macan Tutul  (Panthera pardus), Anjing Hutan (Cuon alpines), Trenggiling (Manis javanica), Merak Hijau (Pavo muticus) dan Ayam Hutan-hijau (Gallus gallus).

Zona Inti juga berfungsi untuk perlindungan flora langka seperti Trenggulun (Protium javanicum), Marelang (Pterospermum diversifolium), Bayur (Pterospermum javanicum), Kemiri (Aleurites moluccana), Mimba (Azadirachta indica) dan Aren (Arenga pinnata).

Untuk melihat semua spesies hewan dan tumbuhan di TN Baluran, pengunjung dapat menikmatinya pada Zona Rimba dalam bentuk kegiatan penelitian dan konservasi.

Sedangkan untuk kegiatan wisata alam, wisata bahari, wisata budaya dan kegiatan lainnnya bisa dilakukan di Zona Perlindungan Bahari dan Zona Pemanfaatan. Baluran merupakan taman nasional yang unik dan khas karena mempunyai tipe ekosistem yang beragam mulai dari hutan alam, hutan musim, hutan pesisir, savana atau padang rumput sampai dengan perairan. Bahkan savana bekol diibaratkan seperti savana Afrika yang ada di Indonesia.

Peta Ekologi Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Peta Ekologi Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski

Dengan tipe ekosistem tersebut membuat flora dan fauna TN Baluran menjadi sangat beragam. Tercatat ada 26 jenis mamalia, di antaranya Banteng, Kerbau Liar (Bubalus bubalis), Ajak atau Anjing Hutan,  Kijang, Rusa Timor, Macan Tutul, Kancil (Tragulus javanicus) dan Kucing Bakau (prionailurus viverrinus).

Jumlah Banteng Jawa Menurun

Saat ini keberadaan maskot TN Baluran itu mengalami tekanan dan jumlahnya makin menurun.

Berdasarkan hasil sensus kurun 1941 sampai 2012 dalam Laporan Review Fauna Taman Nasional Baluran tahun 2013, secara umum kondisi Banteng Jawa memang mengalami penurunan.

Pada 1997, ditemukan 282 ekor Banteng dengan metode sensus Line Transek Sample Count di 16 transek. Dengan metode consentration count (CC), ditemukan 115 ekor Banteng pada 1998 dan 219 sampai 267 ekor pada tahun 2000. Dengan metode yang sama, ditemukan 81 sampai 115 ekor Banteng pada tahun 2002 dan 21 ekor pada tahun 2003.

Kerbau liar sedang mandi di kubangan. Foto : Petrus Riski
Kerbau liar sedang mandi di kubangan. Foto : Petrus Riski

Pada sensus 2005, ditemukan 28 sampai 47 ekor Banteng dengan metode jelajah kawasan (JK). Pada 2006, ditemukan 15 ekor (metode CC) dan 12 ekor Banteng (metode JK). Tahun 2007, ditemukan 34 ekor Banteng (metode CC). Pada 2011 ditemukan 15 ekor (metode CC) dan 7 ekor Banteng (metode JK).

Dan sensus pada 2012 yang menemukan 26 ekor Banteng dengan metode CC dan 3 ekor dengan metode JK. Distribusi dan populasi Banteng dipengaruhi oleh sebaran dan ketersediaan air, grazzing ground, vegetasi pakan, gangguan dan ancaman maupun perubahan kondisi habitat.

Menurut Staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) TN Baluran, Muhammad Yusuf Sabarno, kondisi Banteng memang terpengaruh oleh banyak sekali faktor yang dimulai sejak 2001.

Selain berkurangnya air di savana bekol, peningkatan populasi Anjing Hutan, invasi pohon akasia dan perburuan liar menjadi faktor berkurangnya Banteng.

Yusuf menambahkan hasil sensus Banteng terakhir pada 2013, ditemukan 38 ekor dengan metode sampling di 40 plot.

Kondisi ketersediaan air menjadi faktor pembatas utama bagi perkembangan Banteng, daripada persaingan pakan dengan Rusa. “Banteng tipikal hewan penjelajah (browser) yang makan rumput dan daun. Sedangkan Rusa lebih bertipe grasser dengan makanan utama rumput. Secara teori mereka beradaptasi dengan alam dan mempunyai relung (niche) yang berbeda berdasarkan ruang dan waktu,” kata Yusuf.

Macan Tutul di Baluran

Salah satu hewan eksotis di TN Baluran adalah Macan Tutul. Meski pihak taman nasional belum pernah melakukan survey jumlah populasinya, Yusuf Sabarno memprediksi ada 25 pasang hewan yang bersifat soliter ini berdasarkan luas habitat di Baluran.

“Dengan home range  4,5 – 5 km, dan kawasan TN Baluran seluas 25.000 hektar dengan area yang tidak terkena pengembalaan liar sekitar 25 persen, maka populasi populasi Macan Tutul tidak lebih dari 25 pasang,” katanya. Pihak TN Baluran sendiri merencanakan akan melakukan monitoring Macan Tutul pada tahun 2015.

Sedangkan Kepala TN Baluran periode 2009 – 2012, Indra Arinal menilai populasi Macan Tutul padat, karena pernah menemukan dua individu  yang berbeda dalam jarak 3 kilometer. “Ketika itu saya langsung foto dengan kamera di tangan dari dalam mobil. Tidak mungkin kita mengatakan populasi menurun, padahal banyak orang melihat Macan Tutul,” katanya.

Indra mengatakan tidak ada hubungan langsung antara keberlimpahan populasi Rusa dengan asumsi makin menurunnya Macan Tutul, karena Rusa bukan merupakan mangsa utama dari Macan Tutul.  “Dari faeces Macan Tutul, banyak ditemukan bulu Kera dan Lutung. Jarang Macan Tutul makan Rusa,” katanya.

Sementara Mahasiswa jurusan biologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, Adrian Dwi Putra, yang melakukan penelitian Anjing Hutan di TN Baluran mengatakan pernah enam kali melihat Macan Tutul selama lima bulan penelitian dari Maret sampai akhir Juli 2014.

Jenis Burung Meningkat

Jenis burung di TN Baluran mengalami peningkatan dari hanya 155 jenis pada 1990, menjadi 234 jenis.

Dalam Laporan Review Fauna Taman Nasional Baluran tahun 2013 disebutkan ada 233 jenis burung dari 62 famili, tetapi hanya terpantau 201 jenis dan 32 jenis burung hilang. Tiga jenis burung terakhir yang ditemukan yaitu Sempur Hujan Rimba (Eurylaimus javanicus), Srigunting Jambul Rambut (Dicrurus hottentottus), dan Terik Asia (Glareola maldivarum).

“Pendataan burung di Baluran dimulai tahun 1920 sampai dengan kurun 1970-an. Sebenarnya angka 234 jenis burung itu mengenaskan karena kita telah kehilangan lebih dari 30 jenis burung yang tidak diketemukan lagi sampai sekarang,” kata staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) TN Baluran, Swiss Winnasis.

Beberapa jenis burung yang menghilang, seperti Cicadaun Sayap-biru (Chloropsis cochinchinensis), Takur Tohtor (Megalaima armillaris), Anis Merah (Zoothera citrina) dan Srigunting Batu (Dicrurus paradiseus).

Swiss mengatakan dari 233 jenis burung pada 2013, bertambah satu jenis burung menjadi 234 jenis. Satu jenis burung yang diketemukan di TN Baluran yaitu burung Tiong Emas (Gracula religiosa) yang juga dikenal sebagai burung Hill Myna.

Dari 234 jenis burung tersebut, 65 jenis dilindungi menurut PP No.7/1999 dan UU No.5/ 1990, 15 jenis terancam punah menurut daftar IUCN (6 near threatened, 6 vulnarable, 2 endangered, 1 critically endangered), dan 17 jenis diantaranya merupakan burung pemangsa.

Fotografer berburu foto satwa Elang di hutan Baluran. Foto : Petrus Riski
Fotografer berburu foto satwa Elang di hutan Baluran. Foto : Petrus Riski

Ada dua jenis burung yang tidak terdapat di tempat lain di Jawa selain di TN Baluran yaitu Elang Ular Jari-Pendek (Circaetus gallicus) dan Punyai Siam (Treron bicincta).

Sedangkan 12 spesies endemik Jawa yang ditemukan di TN Baluran yaitu Elang Jawa (Nizaetus bartelsi), Serindit Jawa (Loriculus pusillus), Bubut Jawa (Centropus nigrorufus), Beluk watu Jawa (Glaucidium cuculoides), Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris), Takur Tulung tumpuk (Megalaima javensisuculoides), Takur Tohtor (Megalaima armillaris), Paok Pancawarna (Pitta guajana), Cinenen Jawa (Orthotomus sepium), Tepus Pipi-perak (Stachyris melanothorax) , Ciung-air Jawa (Macronous flavicollis), dan Gelatik Jawa (Padda oryzivora).

Tiga jenis burung yang paling terancam menurut  IUCN yaitu Merak Hijau (Pavo muticus) dengan populasi terbesar salah satunya di Baluran yaitu 900 – 1500 individu, Jalak Putih (Sturnus melanopterus)  yang hanya ada 12 individu dengan status critically endangered dan Rangkok Badak endemik Jawa (Buceros rhinoceros silvestris) dengan jumlah kurang dari 10 ekor.

Burung merak di bawah pohon di tengan savana di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Burung merak di bawah pohon di tengan savana di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski

Tetapi ada hal yang menarik , bahwa burung hibridisasi Lalage nigra (Kapasan kemiri) dan L. sueurii (Kapasan Sayap-putih)  kemungkinan akan menghasil ras baru alami.

Keanekaragaman Flora Baluran

Dari Laporan Review Potensi Flora Taman Nasional Baluran tahun 2013, jumlah jenis tumbuhan makin bertambah dari 423 jenis tumbuhan (Wind dan Amir) pada tahun 1977 menjadi 475 spesies dengan 100 famili, dengan penambahan flora terbaru  yaitu 52 spesies dari 13 famili. 475 jenis tumbuhan tersebut antara lain 144 jenis pohon, 76 spesies tumbuhan perdu, 59 spesies rumput, 135 spesies herba, 42 spesies liana, 5 spesies anggrek, 13 spesies paku, 2 spesies parasit/epifit.

Meski banyak tumbuhan endemik, ada jenis tumbuhan yang dianggap pengganggu karena kontraproduktif terhadap pengelolaan kawasan TN Baluran, yaitu gulma sebanyak 16 jenis, invasif 21 jenis, eksotik 31 jenis, pengganggu 10 jenis dan yang belum diketahui statusnya dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Baluran sebanyak 4 jenis.

Tumbuhan yang dianggap pengganggu antara lain Acacia auriculiformi,  Gamal (Gliricidia sepium), Gundo (Sphenoclea zeylanica), Kecubung (Datura fastuosa), Kerangkongan (Ipomoea fistulosa), Kersen (Muntingia calabura), Mindi (Melia azedarach), Pletekan (Ruellia tuberosa)

Invasi Pohon Akasia

Salah satu tumbuhan invasif yang sudah mengganggu keseimbangan ekosistem TN Baluran adalah pohon akasia (Acacia nilotica) karena penyebaran dan pertumbuhannya yang sangat cepat.

Staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) TN Baluran, Nanang Dwi Wahono menjelaskan akasia diintrodusir ke TN Baluran sejak tahun 1880. Pada tahun 1969, pohon Akasia ditanam di savana bekol sebagai sekat bakar, untuk menghalangi merembetnya kebakaran savana yang rentan pada musim kemarau ke area lain.

Latar belakang tanaman akasia yang meranggas setelah diolesi cairan kimia  Foto : Petrus Riski
Latar belakang tanaman akasia yang meranggas setelah diolesi cairan kimia Foto : Petrus Riski

Nanang menjelaskan Akasia menyebar melalui kotoran hewan yang memakannya dan kemudian tumbuh. Akasia bersifat kosmopolit yang cepat tumbuh karena toleran terhadap banyak kondisi habitat, tetapi intoleran terhadap naungan.

Karena sifat itu, Akasia cepat sekali menginvasi terutama di daerah terbuka seperti Savana Bekol. Dalam perkembangannya, Akasia juga menginvasi ekosistem lain dengan mengisi ruang-ruang yang kosong pada hutan musim dan hutan pantai. “Tapi di Savanna Bekol, Akasia total menyebabkan perubahan drastis ekosistem savana menjadi tegakan homogen, seperti perkebunan. Ini menyebabkan rumput-rumput komponen savana jadi tersingkirkan,” jelas Nanang.

Tahun 2012, hasil pengukuran menyebutkan Akasia sudah menginvasi 5592 hektar di kawasan TN baluran, mulai dari savana, hutan musim sampai hutan pantai.

“Secara umum perubahan ekosistem savana mempengaruhi Rusa dan Banteng dalam mencari makan, meski pakan tersedia di seluruh kawasan. Karena Savana juga berfungsi sebagai ruang terbuka bagi berbagai satwa termasuk Rusa dan Banteng,” kata Nanang.

Dan dampak terbesar dari invasi Akasia di Baluran adalah kehilangan ekosistem alami savana, karena Savana Bekol merupakan aset terbesar TN Baluran. “Savana merupakan identitas TN Baluran karena eksotik,” katanya.

Upaya Penanganan Akasia

Mulai tahun 1985, pengelola TN Baluran mulai melihat pertumbuhan Akasia sebagai masalah serius, dan kemudian melakukan penelitian dan ujicoba untuk mengurangi keberadaan pohon itu.

Nanang mengatakan tindakan teknis baru dilakukan pada tahun 1989 -1911 dengan upaya penebangan, akan tetapi tidak efektif. Pada tahun 1992, dilakukan penebangan pohon dan pencabutan sampai ke akarnya, dilanjutkan pada 1993 sampai 2000 dengan metode mekanis yaitu menggunakan eksavator dan buldozer untuk menebang pohon dan mencabut akar Akasia.

“Cara itu efektif tapi berdampak buruk ke tanah menjadi erosi dan benih-benih gulma jadi tumbuh. Maka mulai tahun 2000 diganti metode tebang bakar, yaitu pohon ditebang dan tonggak dibakar. Sementara metode ini dianggap paling efektif dengan resiko lingkungan yang lebih kecil,” katanya.

Saat ini, pengelola taman nasional sedang mencoba kombinasi tehnik manual dengan pendekatan kimia yaitu dengan menebang pohon dan mengolesi tonggak dengan herbisida.

“Tehnik ini masih dalam wacana, karena sedang diteliti dampak penggunaan bahan kimia terhadap kawasan konservasi,” kata Nanang.

Selain itu, juga dilakukan penanganan ekosistem yaitu memulihkan habitat dengan spesies alaminya seperti savana dengan ditanami rumput-rumputan.

Kawasan Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Kawasan Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski

Gunung Baluran

Baluran merupakan taman nasional yang terletak Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo, dan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Wilayah utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah timur Selat Bali. Adapun sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Bajulmati, dan sebelah barat Baluran berbatasan dengan Sungai Kelokoran, sementara di tengah kawasan ini terdapat Gunung Baluran yang sudah tidak aktif lagi.

Baluran memiliki temperatur udara 27-34 derajat celcius, curah hujan 900-1.600 mm/tahun, ketinggian tempat 0-1.247 mdpl, serta letak geografis 7°29’-7°55’ LS, 114°17’-114°28’ BT. Nama Baluran diambil dari gunung yang berada di kawasan itu yakni gunung Baluran.

Sebelum tahun 1928, AH. Loedeboer, seorang pemburu kebangsaan Belanda yang memiliki daerah konsesi perkebunan di Labuhan Merak dan Gunung Mesigit, pernah singgah di Baluran. Loedeboer menaruh perhatian terhadap Baluran dan meyakini bahwa tempat itu mempunyai nilai penting untuk perlindungan satwa khususnya jenis mamalia besar.

Dibagian tengah Taman Nasional Baluran terdapat Savana Bekol, berupa padang rumput yang sangat luas berwarna kuning kecoklatan. Savana terbesar di Pulau Jawa ini, banyak dijuluki savanna Afrika di Indonesia. Tidak jauh dari padang savana terdapat menara pandang setinggi 64 meter.

Di sisi luar terdapat pantai Bama, Balanan dan Bilik, yang terletak di sekitar taman nasional, dapat menjadi salah satu alternatif wisata memancing maupun snorkling.

Di pantai Bama merupakan tempat yang bagus untuk melihat matahari terbit, selain kumpulan pohon bakau atau mangrove serta kawasan konservasi lainnya yang masih alami. Selain monyet ekor panjang yang bebas naik turun pohon disekitar pantai, bisa didapati pula satwa lainnya seperti biawak dan babi hutan, serta sesekali dapat ditemui burung raja udang (halcyon chloris) di dahan sekitar pantai dan aneka jenis burung migran.

Pantauan Mongabay pada pertengahan Agustus 2014 atau masuk musim kering, hanya terlihat 2 ekor kerbau liar yang berkubang maupun mencari makan di savana. Selain itu belasan Rusa Timor dan beberapa ekor Merak Hijau tampak malu-malu mencari makan dan minum di sekitar savana Baluran. Sang maskot Baluran, Banteng Jawa hingga sore menjelang belum menampakkan batang hidungnya maupun suara lenguhannya.

Ingin rasanya berdiam lebih lama untuk mengeksplorasi keanekaragaman flora dan fauna khas Baluran, akan tetapi sayang, sudah waktunya untuk kembali ke kota asal. Semoga suatu saat, bisa kembali mengunjungi TN Baluran.

Dari editor (tanggal 1 September 2014) :                                                               Tulisan ini telah direvisi dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Menyusutnya Banteng dan Macan Tutul di Taman Nasional Baluran. Kenapa?” berdasarkan masukan dan data tambahan yang diperoleh redaksi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,