Fokus Liputan: Bencana Tambang di Samarinda

Baharuddin sumringah. Tanaman cabai dua hektar di depan rumahnya sebentar lagi siap panen. Rambutan di samping rumahnya juga memerah dan empat pohon durian montongnya juga mengeluarkan buah.

Kerut di keningnya tidak mampu menyembunyikan kegembiraannya yang sebentar lagi akan meraup untung dari cabainya itu. Dari 2.000 batang pohon yang ditanam, ia menargetkan akan memperoleh pundi-pundi uang sebanyak 40 juta rupiah. Dengan catatan, harganya stabil dikisaran 20 ribu rupiah dalam delapan bulan ini.

“Saya akan menanam hingga 10.000 pohon agar bisa menghasilkan keuntungan 100 juta rupiah. Saya tidak mau tanggung dalam usaha,” ucapnya mengawali pembicaraan di siang 15 Agustus itu.

Ilmu menanam cabai ini memang tidak sendirinya ia dapatkan. Berbekal kocek pribadi jutaan rupiah, ia nekad ke Jawa Timur hanya untuk mencari tahu bagaimana cara menanam cabai yang baik dan benar. Sebelumnya, ia kecewa berat karena cabai yang ditanamnya tidak menghasilkan. Namun, kekecewaan itu memuncak setelah ia berkonsultasi dengan petugas penyuluh pertanian yang mengatakan bila cabainya tidak berbuah maka harus dicabut dan diganti yang baru. “Bila seperti itu, saya juga bisa jadi penyuluh,”.

Kini, setelah cabainya menghasilkan, giliran sang penyuluh yang balik meminta kiat suksesnya. Alasannya, ingin dibagikan kepada petani Samarinda. “Saya agak curiga dengan modus ini. Jangan-jangan hanya untuk laporan dia saja, padahal itu cabai saya. Makanya, saya anjurkan langsung si petugas ke Jawa Timur, saya berikan alamatnya bila perlu. Biar semuanya berusaha, seperti usaha kami melaporkan kejahatan tambang”.

Baharuddin pantas meradang. Ilmu cabai yang ia peroleh merupakan rangkaian panjang dari usaha pertanian yang ia rintis kembali. Pasalnya, sejak kehadiran tambang di permukimannya, sawah dan perikanan yang ia geluti hancur-hancuran. Bukan hanya miliknya, tapi juga milik warga Makroman keseluruhan.

Untuk panen cabai ini juga ia masih harap-harap cemas. Bila hujan debu dari pertambangan di belakang rumahnya yang hanya berjarak enam ratus meter itu menggila, dalam hitungan hari pohon cabai itu tertutup debu. Ini pula yang terjadi dengan tanaman perkebunannya seperti rambutan dan cempedak yang sekujur tubuhnya berbalur debu tambang batubara.

“Lemas saya kalau sudah begini. Inilah bencana lingkungan yang harus kami pikul sejak 2008 sampai sekarang,” tutur lelaki 40 tahun-an ini.

Baharuddin di depan tanaman cabainya. Ilmu menanam cabai diperolehnya setelah nekad mencarinya ke Jawa Timur.  Foto: Rahmadi Rahmad
Baharuddin di depan tanaman cabainya. Ilmu menanam cabai diperolehnya setelah nekad mencarinya ke Jawa Timur. Foto: Rahmadi Rahmad

Memori Baharudin terbang ke tahun 2000, saat pertama kali dia menginjakkan kaki di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Di rumah panggung kayu yang ia tempati saat ini, tepatnya RT 13 Nomor 50, ia merekonstruksi kembali perjalanan hidupnya.

Makroman yang ia sambangi kala itu adalah sebuah perkampungan transmigran yang subur. Luas sawah warga keseluruhan adalah 384 hektar. Perkampungan ini berisikan warga dari Pulau Jawa yang mulai pindah tahun 1957 hingga 1975. Tahun 1982, warga transmigran mulai membuat sawah, meski hanya dipanen setahun sekali. Kehadiran Baharuddin di sini disambut baik.

Selain berkebun, Baharuddin juga mengembangkan pembibitan perikanan seluas enam hektar. Ikan yang dibudidayakannya adalah nila, emas, dan betutu. Puncaknya adalah mulai dari 2004-2007 ketika dari hasil pembesaran benihnya itu ia bisa meraup uang sekitar 150 juta setiap tahunnya. Ini baru dari ikan, belum ditambah dari kebun. Pembesaran benih betutunya bahkan pernah diliput acara “Si Bolang” Trans7 tahun 2006 yang sampai saat ini ia juga sulit mempercayainya.

Ikan hasil pembibitan Baharuddin sangat diminati pembeli yang tidak hanya dari Samarinda saja tetapi juga dari Tenggarong dan Bontang. Bahkan, kolam pengembangan ikan betutu miliknya adalah satu-satunya yang ada di Kalimantan Timur.

Selain itu, bersama warga dia juga mendirikan Kelompok Tani Tunas Muda tahun 2007 yang berisikan 28 anggota dengan luas kelola sawah 30 hektar. Di sini juga berdiri Kelompok Tani Karang Anyar yang diketuai Niti Utomo dan Kelompok Budi Daya Ikan Terpadu dengan Wagimin ketuanya, yang telah berdiri sebelumnya.

Menurut Baharuddin, dari awal 2000 hingga 2007 semua kegiatan pertanian berjalan normal. Sawah, kebun, kolam ikan, dan ternak bisa dikembangkan dengan baik. “Makroman juga dikenal sebagai sentra padi yang menyuplai beras untuk Samarinda dari 1999-2006, “ tuturnya.

Namun, masuknya perusahaan tambang tahun 2007 telah menghancurkan segalanya. Adalah CV. Arjuna yang mengubah harapan indah warga menjadi nasib buruk. Awalnya, modus yang dilakukannya adalah dengan mengambil batubara dalam sekala karungan. Namun, dua bulan berikutnya masuk eskavator yang mengeruk dalam jumlah besar. Kegiatan ini berlangsung sampai sekarang.

Pelan-pelan, tambang yang beroperasi 24 jam ini mulai menggerogoti tutupan hutan di sekeliling Makroman. Bukit hijau yang membentengi Makroman dikeruk jadi gundul. Akibatnya, banjir merendam persawahan warga seperti yang terjadi pada Desember 2010 dan Januari 2011. Deru eskavator dan bisingnya truk pengangkut batubara yang mengepulkan debu juga harus diterima warga dengan ikhlas hati dan lapang dada.

“Kami bersama warga telah melaporkan penambangan ini, tapi sampai sekarang masih beroperasi,” tuturnya.

Sedikit demi sedikit, efek negatif tambang mulai menggerogoti lingkungan Makroman. Debu beterbangan, sawah rusak karena airnya bercampur tambang. Walang sangit, tikus, dan beruk merusak padi dan tanaman kebun, karena habitat mereka hilang.

Saat berjaya, kolam ikan milik Baharuddin ini berhasil membibitkan ikan betutu. Ia tercatat satu-satunya pembudi daya ikan betutu di Kalimantan Timur, sebelum datangnya tambang batubara. Foto: Rahmadi Rahmad
Saat berjaya, kolam ikan milik Baharuddin ini berhasil membibitkan ikan betutu. Ia tercatat satu-satunya pembudi daya ikan betutu di Kalimantan Timur, sebelum datangnya tambang batubara. Foto: Rahmadi Rahmad

Jebolnya kolam lubang tambang batubara pada 2008 yang telah mencemari persawahan dan perikanan masyarakat Makroman adalah awal petaka. Lahan petani dan petambak ikan di RT 11, 12, dan 13 rusak. Baharuddin pun terkena dampak. Pendapatannya turun drastis. Usaha ikannya tidak lagi menghasilkan, karena air telah terkontaminasi. Ikan betutu sulit hidup sementara bibit ikan lainnya tidak mau berkembang. Baharuddin hanya mampu menghasilkan 10 juta rupiah per bulan dari penggabungan usahanya itu (ikan, sawah, kebun, dan ternak ayam).

Begitu juga dengan pendapatan warga yang menyusut. Banyak yang tidak tahan dengan kondisi ini. Terlebih, CV. Arjuna sering menawari mereka untuk menjual lahan. Ada juga warga yang terkena rayuan gombal dengan menjual sawahnya seluas dua hektar seharga 100 juta rupiah. Namun, belum juga setahun uang tersebut habis dan kini tidak punya lahan pertanian lagi.

“Dalam sehari, ada dua atau tiga warga yang minta pekerjaan pada saya. Ya, saya bantu mereka dengan mengupah harian untuk membersihkan kebun. Saya tidak pernah memikirkan dari mana uang untuk membayar, semua ada jalannya,”.

Godaan untuk menjual lahan pun didapatkan Baharuddin. Rumah dan lahan Baharuddin yang total nya sepuluh hektar merupakan benteng terakhir permukiman Makroman dari serangan tambang. Bila asetnya dijual, tamatlah Makroman ini.

Dalam setahun ini, utusan CV. Arjuna sering menggodanya dengan uang lima miliar rupiah untuk melepas tanahnya yang dianggap strategis. Bukan hanya itu, Baharuddin juga diimingi gaji sepuluh juta rupiah per bulan andai mau bergabung. “Hanya bergabung saja, tidak ada tugas lain,”.

Baharuddin menolak. Sebagai tokoh masyarakat, ia berprinsip melindungi warganya bahkan harus melawan “ketidakadilan” ini. Menurutnya, kalau hanya uang, kebun cabainya saja sudah ada yang menawar seratus juta rupiah. “Saya juga baru mendapatkan uang lima juta rupiah dari hasil ternak ayam. Meski sekarang semua dilakukan serabutan, saya tetap bertahan. Jadi, untuk apa lagi!”

Letak plang peringatan ini berbatasan langsung dengan sawah masyarakat Makroman. Foto: Rahmadi Rahmad
Letak kolam dengan papan peringatan ini berbatasan langsung dengan sawah masyarakat Makroman. Foto: Rahmadi Rahmad

Begitu juga dengan Komari (70) yang merupakan pelaku sejarah di Makroman. Sejak 1985 dia menetap di sini, sebelumnya ia tinggal di Kertosono, Jawa Timur. Komari masih satu RT dengan Baharuddin, di RT 13. Namun, rumah komari lebih dekat lagi dengan galian tambang dan jalan poros angkutan batubara CV. Arjuna. Kurang dari 500 meter. Dari depan sawahnya yang kurang dari satu hektar terlihat jelas truk pengangkut batubara hilir mudik.

“Serba salah bersawah saat ini. Bila kering tidak ada air, sementara air yang mengaliri sawah sekarang adalah air tambang,” ujar Komari. Hasil panennya juga tidak menentu. Sebelum ada tambang batubara, sawahnya bisa menghasilkan sekitar delapan ton. Namun sekarang, sekitar lima-enam ton. Hal ini diperparah dengan pertumbuhan padi yang tidak serentak, dalam satu hamparan ada yang tinggi dan ada yang rendah, padahal dalam waktu tanam yang sama. Bila ingin subur pemupukan harus dilakukan intensif yang tentunya menambah biaya.

Hidupnya bersama Nurbaeti, istrinya, semakin berat. Selain sawahnya dialiri air beracun, hama wereng dan tikus juga siap menyerang. Bukan itu saja, kebunnya yang kurang dari satu hektar juga tidak menghasilkan lagi. Tanamannya seperti rambutan atau cempedak habis disikat beruk, yang kelaparan karena hutan sebagai habitatnya gundul dibabat tambang. Hanya satu pohon rambutan yang sudah ranum di depan rumahnya yang masih bisa dinikmati hasilnya. Kami sempat mencicipinya seraya usul: “Kenapa buahnya tidak dijual saja Pak, lumayan kan untuk tambahan,”.

Makroman yang dulu Komari kenal berbeda dengan Makroman enam tahun terakhir ini. Menurutnya, daerah ini dulunya merupakan lahan belukar yang hutan alaminya masih bagus. Tempatnya sejuk dan sepi, awalnya hanya ada tiga hingga lima keluarga yang ada di sini. Jalannya hanya jalan setapak di pematang sawah. Seiring bertambah warga, Makroman dikenal sebagai daerah pertanian karena umumnya para petani yang datang. Kini, Gunung Lampu, sumber mata air tradisional untuk mengairi sawah warga Makroman yang biasa mereka sebut, sudah tidak ada lagi. Tergerus lubang-lubang tambang. Mereka juga kesulitan mendapatkan air bersih.

Padahal, Makroman tidak jauh dari Kota Samarinda, jaraknya sekitar 20 kilometer yang dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan kendaraan roda dua. Makroman memiliki 27 Rukun Tetangga. Penduduknya tersebar di Dusun Wonosari, Sidorejo, Majenang, Lestari, Purwobinangun, dan Margomulyo. Berdasarkan data Kelurahan Makroman 2011, jumlah penduduknya diperkirakan sekitar 1.905 kepala keluarga atau sekitar 6.845 jiwa.

Sebagaimana Baharuddin, Komari juga bertahan dan menolak sawahnya dijual. Bahkan, dia dan istrinya bersama Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) menggugat Pemerintah Samarinda untuk mengembalikan haknya dan hak masyarakat Samarinda yang telah dirampas tambang. Hak Masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang bersih, bebas polusi, dan banjir. Bukan bencana lingkungan yang mendera!

Air yang mengalir ke sawah masyarakat Makroman telah terkontaminasi limbah batubara CV. Arjuna. Foto: Yutinus S. Hardjanto
Air yang mengalir ke sawah masyarakat Makroman telah terkontaminasi limbah batubara CV. Arjuna. Foto: Yutinus S. Hardjanto

CV. Arjuna masuk Makroman tahun 2007 berbekal Surat izin Usaha Pertambangan (IUP) Batubarara yang dikeluarkan Pemerintah Kota Samarinda, dengan tiga kontraktor sebagai pekerjanya yakni PJP, SRP, dan JKU. Izinnya eksploitasi batubara. Luas garapannya 1.597 hektar yang berada di Kelurahan Sambutan, Makroman dan Pulau Atas. Terbagi dua blok yaitu blok I (695,50 hektar) dan blok II (902,03 hektar). PJP yang paling dulu beroperasi yang pada 2007 tercatat menghasilkan 88.576 ton batubara. Hasil perbuatannya berupa lubang besar menganga tidak pernah direklamasi, malahan dibiarkan menganga.

Hasil pembuangan limbah tambangnya juga telah mencemari persawahan warga Makroman. Pada Oktober 2009, 70 petani yang berasal dari RT 13 protes keras terhadap kejadian ini. Puncaknya, Januari 2011 ketika banjir beserta lumpur merendam persawahan warga yang memang lokasinya tidak jauh dari tambang, sekitar 500 meter. Berulang kali masyarakat protes kehadiran tambang ini hingga mereka meminta Pemerintah Kota Samarinda menutupnya. Tapi, hingga kini, kegiatan tambang masih berjalan dan masyarakat Makroman sendiri tidak pernah tahu dimana kantor CV. Arjuna itu berada.

Seberapa parah racun yang mengalir dari air bekas lubang tambang? Bahan beracun tersebut adalah zat asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) dan beberapa logam berat berbahaya seperti mangan (Mn), besi (Fe), alumunium (Al), cadmium (Cd), dan arsenic (Ar). Bahan ini sifatnya akumulatif, artinya baru terasa efeknya setelah beberapa tahun. Pada anak, dampaknya terlihat pada kesehatan dan pertumbuhan tubuhnya. Hasil uji ini telah dilakukan oleh PPE KLH Kalimantan pada 13-17 Januari 2014, seperti yang telah dipublikasikan Greenpeace Indonesia.

Siti Maemunah, Badan Pengurus Jatam, menyatakan bahwa pengerukan batubara yang dilakukan CV. Arjuna mengakibatkan Warga RT. 13 Makroman mengalami krisis air bersih dan gagal panen padi. Ini terjadi berulang. Dampaknya adalah, warga begitu rentan menghadapi ancaman termasuk di dalamnya menghadapi perubahan iklim. Menurut Mai, penambangan batubara membuat hutan gundul meluas. Tidak itu saja, erosi, hilangnya sumber air, polusi udara, dan melunturnya nilai-nilai sosial di masyarakat yang tinggal di lokasi dekat tambang. Penambangan batubara skala besar akan menurunkan permukaan tanah dan dampak luasnya adalah beredarnya limbah beracun.

“Warga mulai curiga terhadap nilai ganti rugi yang didapat. Selain itu, bila dahulu ada yang vokal menentang tambang lalu mendadak kalem merupakan ketidakwajaran yang selalu diperbincangkan masyarakat Makroman,” ujar Komari.

Ikan mati akibat air yang terkontaminasi limbah tambang batubara. Foto: Yutinus S. Hardjanto
Ikan mati akibat air yang terkontaminasi limbah tambang batubara. Foto: Yutinus S. Hardjanto

Samarinda merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Timur yang luas wilayahnya 718 km persegi atau 0,37 persen dari luas keseluruhan Kalimantan Timur. Terdiri dari sepuluh kecamatan: Samarinda Utara, Samarinda Ulu, Samarinda Ilir, Samarinda Seberang, Sungai Kunjang, Palaran, Sambutan, Sungai Pinang, Samarinda Kota, dan Loa Janan Ilir. Wilayah Samarinda berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Jumlah penduduk Kota Samarinda berdasarkan Rakapitulasi Dinas Catatan Sipil (30 Desember 2012) berkisar 928.644 jiwa yang tersebar di 10 kecamatan dan 53 kelurahan. Sungai Mahakam merupakan urat nadi kehidupan warga Samarinda sekaligus sebagai pintu gerbang untuk menyibak potensi Kalimantan Timur.

Motonya adalah Samarinda Kota Tepian, Samarinda terus berbenah untuk menata wajahnya. Duet Walikota Syaharie Ja’ang dan Wakil Nusyirwan Ismail saat ini pun memiliki visi: Terwujudnya Kota Samarinda sebagai Kota Metropolitan Berbasis Industri, Perdagangan dan Jasa yang Maju, Berwawasan Lingkungan dan Hijau, serta Mempunyai Keunggulan Daya Saing untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.

Untuk mewujudkan visi tersebut, Pemerintah Kota Samarinda membuka lebar peluang investasi mulai dari pertanian, perkebunan, industri, tambang (batu bara dan batu gunung), permukiman, dan perdagangan.

Dari beragam potensi itu, tambang batubara merupakan potensi yang betul-betul dimaksimalkan seperti yang tertulis dalam situs resmi Pemerintah Kota Samarinda. Dari keterangan laman tersebut diperoleh data tentang produksi batubara dalam tiga tahun terakhir yaitu 2004 (2.148.094.062 ton), 2005 (5.774.304 ton), dan 2006 (4.030.000 ton). Dari data tersebut, secara keseluruhan produksi batubara dari 2004-2006 mengalami penurunan sebesar 1.881.906 ton dengan rata-rata penurunan per tahun sebesar 627.302 ton. Alasannya karena produksi batubara semakin terbatas. Namun, data ini hingga tahun 2006 yang dicantumkan, tidak ada pembaharuan lagi hingga sekarang.

Anehnya, jika alasan produksi batubara yang semakin terbatas, justru di atas tahun 2006 “obral’ ijin kepemilikan tambang berkembang pesat. Tepatnya tahun 2009, tercatat sekitar 76 ijin tambang bertebaran di Samarinda. Kondisi ini menobatkan Samarinda sebagai ibukota provinsi di Indonesia yang posisinya dikepung tambang seluas 71 persen dari luasannya. Menyedihkan.

Makroman adalah korban kebrutalan dari hasil obral puluhan ijin tambang di Samarinda.

Aksi pemblokiran jalan tambang telah dilakukan. Namun, hingga kini CV. Arjuna tetap beroperasi. Foto: Yutinus S. Hardjanto
Aksi pemblokiran jalan tambang telah dilakukan. Namun, hingga kini CV. Arjuna tetap beroperasi. Foto: Yutinus S. Hardjanto

Apa yang terjadi dengan Samarinda? Direktur LSM Kelompok Kerja (Pokja) 30 Carolus Tuah memberikan analisis dari segi transparansi data. Menurutnya, dalam draf Kebijakan Umum APBD Perubahan Kota Samarinda 2010, tambang merupakan sektor yang mendapat perhatian utama untuk ditingkatkan dan telah dimulai sejak 1999. Usaha ini terlihat dengan getolnya Pemerintah Kota Samarinda mengeluarkan izin kuasa pertambangan (KP).

Pada Maret 2009, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Samarinda menyatakan bahwa saat itu ada 44 KP di Samarinda. Data ini diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda. Namun data ini dibantah keras oleh Jatam Kaltim yang berdasarkan investigasinya menyatakan bahwa telah ditemukan sebanyak 62 KP yang telah diterbitkan Walikota Samarinda.

Perbedaan jumlah ini akhirnya terselesaikan ketika Distamben mengklarifikasi dengan mengumumkan data ulang. Diluar dugaan, jumlahnya melebihi angka yang ada yaitu sekitar 76 KP: 38 KP tahapan eksploitasi angkut jual, 26 KP tahap eksplorasi, dan 12 KP penyelidikan umum. Data resmi ini dikeluarkan pada Mei 2009.

Akibat maraknya izin ini, lahan untuk prioritas tambang tidak terpola dengan baik. Berdasarkan data Distamben 2008, luas KP di Samarinda adalah 24.933,5 hektar dan luas PKP2B dan KP Pusat sebesar 22.839 hektar. Bila ditotal maka jumlahnya mencapai 66,5 persen dari luas Samarinda yaitu 71.800 hektar. Sementara, menurut versi Jatam hingga Desember 2008, luas KP di Samarinda seluas 27,549.66 hektar (38,37%), KP Pusat seluas 2,343.00 hektar (3,26%) dan PKP2B sebesar 20,843.10 hektar (29,03%). Jika ditotal, luasnya mencapai 50,735.76 hektar atau sekitar 71 persen dari luasan Samarinda. Wah!

Fakta menarik lainnya adalah adanya peningkatan ijin KP yang dikeluarkan Pemerintah Samarinda yang mengalami kenaikan luar biasa. Ini terjadi pada 2007 hingga 2009. Data Distamben menunjukkan, tahun 2007 ada 40 KP sementara di 2009 meningkat pesat ke angka 76 KP.

Kontroversi masih berlanjut, ini mengenai data antara Pemkot Samarinda dengan Distamben yang berbeda. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dalam situs resmi Pemerintah Samarinda disebutkan bahwa terjadi penurunan produksi tambang pertahunnya (2004-2006) dengan rata-rata 627.302 ton. Namun, berdasarkan data Distamben 2009 disebutkan bahwa produksi tambang 2005 (407,134.99 MT), 2006 (1,580,553.99 MT), dan 2009 (5,132,914.74 MT). Perbedaan ini telah membuat ketidakjelasan kemana dana ini mengalir. “Dana royalti sebesar 500 miliar yang disebutkan Distamben ke Pemerintah Samarinda memunculkan keingintahuan publik untuk dilacak ke mana hilangnya,” ungkap Tuah.

Izin tambang batubara bertebaran, masyarakat yang merasakan penderitaan. Foto: Rahmadi Rahmad
Izin tambang batubara bertebaran, masyarakat yang merasakan penderitaan. Foto: Rahmadi Rahmad

Chandra Dewana Boer, Wildlife Ecologist dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Mulawarman, meninjau ruwetnya tambang ini dari sisi akademisi. Menurutnya, tambang di Samarinda memang seharusnya tidak ada. Sebagai ibukota provinsi, kebutuhan Samarinda harusnya ditujukan untuk permukiman penduduk, bukan tambang. Luas Samarinda yang 71 persen dikelilingi tambang sangatlah mengkhawatirkan.

“Anehnya, yang khawatir adalah masyarakat, aktivis lingkungan, dan orang-orang yang berada di luar pemerintahan. Lha, pemerintahnya kemana?”

Menurut Chandra, memang, bila kita anti-tambang sangatlah sulit karena pembangunan harus berjalan. Akan tetapi, yang terjadi di Samarinda merupakan bentuk ketidakprofesionalan. Tambang hanya dikeduk, tanpa ada reklamasi. Banjir, polusi, udara, jalanan hancur, merupakan bukti nyata. Makroman telah merasakan kemudharatan ini.

Dari tinjauan konservasi, tambang di Samarinda merupakan kesalahan besar karena dalam konservasi harus ada luasan minimal 30 persen berupa hutan. Dalam kasus Samarinda, 71 persen telah dibuka selebihnya sudah terbagi untuk permukiman. “Jadi, 30 persen sudah hilang,”.

Kondisi Samarinda memang memprihatinkan, hampir tiga perempat luasannya digunakan sebagai wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 dapat dijadikan acuan. Luas wilayah pertanian sawah dan bukan sawah di Samarinda seluas 34.782 hektar sementara areal perumahan seluas 6.000 hektar. Dengan luas tambang di Samarinda sekitar 50,735.76 maka sudah dipastikan sekitar 19 ribu hektar yang posisi bertabrakan alias tumpang tindih yaitu pertanian, perumahan, dan pertambangan.

Kondisi ini tentunya melenceng jauh. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor  12 tahun 2002 tentang Revisi Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Samarinda 1994-2004, maka lokasi tambang batubara hanya diperbolehkan di Kelurahan Siring, Kecamatan Samarinda Utara seluas 7.583 hektar yang tertera jelas di Pasal 22. Jika setengahnya yang dialokasikan maka sudah jelas, luasan tambang yang ada di Samarinda seharusnya 3.791,5 hektar.

Idealnya, tambang yang ada di Samarinda ini tidak diekspoitasi. Harusnya, ada ada tata ruang yang disepakati. Namun, Rencana Umum Tata Ruang Kota Samarinda 2002 ini telah dilanggar. “Tata ruang yang hanya memperbolehkan menambang di Sungai Siring itu dilanggar. Kini, tambang bertebaran,”.

Secara geologis, batubara memang tersebar. Artinya, dimana ada hutan akan ada potensi batubara. Ini yang terjadi di Samarinda, yang dahulunya hutan yang dibuka. Dipastikan akan ada batubara. Untuk Samarinda, harusnya dibuat satu saja dalam sekala besar. Segala kegiatan dipusatkan mulai dari penggalian, reklamasi, lalu hasil reklamasi digunakan lagi untuk kegiatan lain dengan tanggung jawab penuh. Ini tentunya bisa menertibkan.

Hal lain yang menggelikan menurut Chandra adalah kajian AMDAL. Yang sering terjadi adalah, AMDAL telah dibuat terlebih dahulu sebelum kajian dampak positif dan negatifnya dilakukan. Posisi ini tentunya bukan mencegah, melainkan hanya menyetujui dampak yang ditimbulkan secara normatif.

Miris, setiap kali kajian AMDAL dilakukan, selalu ada peningkatan tonase batubara. Harusnya, pengambilan tambang diirit bukan dipercepat untuk dihabiskan. Kalau perlu seratus tahun. “Disinilah perusahaan yang diuntungkan,” ujar Chandra.

Seberapa besar kontribusi tambang untuk Samarinda? Minim sekali. Dari 2006-2010, tambang hanya menyumbang 6,3 persen dari keseluruhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Samarinda. Ternyata, PDRB di 2010 ini hanya bertambah satu persen saja ketimbang 2006. Padahal, ijin kuasa tambang di 2009 digeber tiga kali lipat.

Dari segi tenaga kerja, Berdasarkan BPS 2010, tambang juga kalah pamor dari pertanian. Tambang hanya menyerap tenaga kerja sebesar 6,8 persen dari keseluruhan pekerja di Samarinda atau 3,7 persen. Sementara, pertanian menyumbang 7,5 persen tenaga kerja.

Inilah yang dikatakan Carolus Tuah bahwa Samarinda sudah bangkrut sejak 2010. Tidak ada pemasukan berarti dari tambang untuk kota ini ketimbang membiayai banjir. Ya, biaya untuk menanggulangi banjir pada 2008-2010 saja harus dikeluarkan dana 107,9 miliar rupiah yang ternyata 97,2 miliar rupiah ini merupakan patungan antara APBD Samarinda dengan APBD Kalimantan Timur. Bahkan, menurut Tuah, untuk anggaran bajir 2011-2013 telah dialokasikan sebesar 602 miliar rupiah yang bersumber dari APBD Provinsi Kaltim. Aneh!

Bukan hanya polusi udara  dan pertanian yang rusak akibat tambang. Banjir pun datang. Foto: Yutinus S. Hardjanto
Bukan hanya polusi udara dan pertanian yang rusak akibat tambang. Banjir pun datang. Foto: Yutinus S. Hardjanto

Tambang batubara memang tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Samarinda. Dari segi kesehatan, dalam tiga tahun terakhir (2011-2013) sekitar 500 ribu warga Samarinda menderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Angka ini berada di peringkat satu ketimbang penyakit lainnya.

Mengutip dari Kaltim Pos edisi 21 Juli 2014, masyarakat yang tinggal di sekitar pertambangan batubara begitu rentan dengan penyakit ini karena pernafasannya terganggu polusi udara.

Dari segi pertanian, banyaknya ijin tambang membuat sawah produktif berkurang luasannya atau juga tidak bisa digarap karena terendam lumpur. Dari tahun 2005-2010, berdasarkan data BPS, tercatat luasannya menurun rata-rata sekitar 340 hektar per tahun. Kondisi ini makin diperparah dengan meningkatnya biaya hidup untuk mendapatkan air bersih. Pun dengan rusaknya jalan umum akibat truk pengangkut batubara tersebut. Biaya yang harus ditanggung untuk memperbaikinya di 2010 adalah 37,6 miliar rupiah, berdasarkan data pemerintah Samarinda 2011.

Kajian yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan & Keluarga Berencana (BPP & KB) Provinsi Kalimantan Timur tentang hak asasi perempuan dan anak dalam industri pertambangan Kota Samarinda, Agustus 2012, menunjukkan hal tidak jauh berbeda. Polusi tambang tidak hanya mengakibatkan banyak penyakit tetapi juga berdampak pada kesehatan reproduksi wanita. Perempuan memiliki risiko keterpaan yang cukup tinggi pula karena lebih sering bersinggungan dengan air dan udara yang tercemar. Ini dikarenakan wanita lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah yang berada di sekitar tambang.

Kahar Al Bahri, aktivis lingkungan di Samarinda, menuturkan kondisi Samarinda yang tidak kunjung membaik tentunya harus dilakukan perubahan. Masyarakat bosan dengan keadaan buruk. Catatan hancurnya lingkungan Samarinda ini makin diperparah dengan meninggalnya delapan anak di kolam tambang batubara antara 2011 hingga 2014.

Melalui Gerakan Samarinda Menggugat (GSM), warga Samarinda menggunakan hak gugat warga negara atau Citizen Lawsuit (CLS) untuk menggugat kebijakan penyelenggara negara terkait permasalah tambang batubara di Samarinda. Yang menjadi tergugat adalah Walikota Samarinda, Gubernur Kalimantan Timur, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup, dan DPRD Kota Samarinda.

Sidang yang digelar pada 16 Juli 2014 itu dipimpin ketua majelis hakim Sugeng Hiyanto, hakim anggota Hongkum Okto dan Yul Effendi serta panitera penganti Mulyadi. Hasilnya adalah majelis hakim menyatakan para tergugat lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga terjadinya pemicu pemanasan global yang memperparah dampak terjadinya perubahan iklim di wilayah Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Keputusan tersebut didasarkan pada UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa kewenangan dan tugas pemerintah di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota terkait kebijakan, norma dan standar, kinerja serta pengawasan untuk memastikan lingkungan yang baik dan sehat.

Menurut Ocha, Citizen Lawsuit menunjukkan bahwa masyarakat bisa menggugat kepada pemerintah dan dilindungi undang-undang ketika mereka melakukan gugatan. Ini mengartikan tidak semua kasus berhenti pada ganti rugi dan diselesaikan oleh pemerintah atau kepolisian, tetapi juga bisa dilakukan di pengadilan. Ada 14 tuntutan yang diajukan GSM.

Dua tahun persiapan yang dilakukan, terhitung 2012, untuk menuju persidangan ini. Sebelumnya, hampir semua upaya dilakukan untuk menghentikan laju tambang. Mulai dari memblokir jalan tambang, aksi di kantor gubernur dan walikota, hingga aktif dalam perancangan perda. Tapi, semua itu tidak ada hasilnya selain pergantian kepala dinas lingkungan hidup dan dinas pertambangan. Begitu juga dengan meninggalnya anak di kolam bekas tambang yang tidak ada penegakan hukumnya. Kasus berhenti ketika walikota datang menjenguk dan perusahaan memberikan ganti rugi sejumlah uang. “Gugatan hukum merupakan langkah terakhir yang kami tempuh dengan harapan akan ada perubahan,” tutur Ocha, sapaan Kahar, yang merupakan aktivis Jatam Kaltim ini.

GSM merupakan kemenangan warga Samarinda sekaligus meyakinkan masyarakat bahwa tambang harus dihentikan agar tidak menghancurkan kehidupan mereka. Sebanyak 19 orang yang tergabung dalam GSM, awalnya 20 orang, merupakan jumlah yang representatif karena semua berlatar kerelaan dan mereka juga adalah korban. Latar mereka juga beragam mulai dari petani, pegawai swasta, dosen, mahasiswa, juga ibu rumah tangga. “Kami sadar, bahwa gugatan ini tidak akan selesai dalam hitungan bulan, bisa saja hingga dua tahun,” ucap Ocha.

Herdiansyah Hamzah, pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), menilai sebaiknya memang ada alat bukti yang dapat memaksa pemerintah segera melakukan perbaikan lingkungan. Harus ada alat bukti yang kuat. Dengan pengajuan banding yang dilakukan pemerintah menunjukkan bahwa apa yang telah Pemerintah Samarinda lakukan sudah sesuai prosedur kerja mereka. “Karena tidak ada konsekuensi hukum, paling hanya sanksi sosial saja seperti cercaan karena dianggap lalai maka pemerintah akan melakukan banding,” paparnya.

Dalam sidang tersebut, hakim menilai, meski Pemerintah Kota Samarinda telah menertibkan tambang dengan menutup yang tidak layak juga memberikan peringatan yang tidak sesuai prosedur, namun nyata-nyatanya tindakan itu belumlah cukup.

Terhadap keputusan ini, penasehat hukum tergugat menyatakan bahwa mereka akan pikir-pikir dahulu dengan membentuk tim pengkaji. Begitu juga dengan tanggapan Kepala Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Kota Samarinda Nasrullah yang mengatakan akan mempelajari keputusan tersebut baru selanjutnya menentukan sikap.

Masyarakat Samarinda sudah jengah dengan kondisi lingkungannya yang tidak sehat. Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) merupakan upaya hukum untuk menyadarkan pemerintah Samarinda yang dianggap lalai menciptakan lingkungan yang baik untuk warganya. Foto: Yutinus S. Hardjanto
Masyarakat Samarinda sudah jengah dengan kondisi lingkungannya yang tidak sehat. Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) merupakan upaya hukum untuk menyadarkan pemerintah Samarinda yang dianggap lalai menciptakan lingkungan yang baik untuk warganya. Foto: Yutinus S. Hardjanto

Perkembangan terbaru seperti yang dilansir dari Koran Kaltim, 20 Agustus 2014, Wakil Walikota Nusyirwan Ismail mengatakan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda akan melakukan banding. Bagian hukum saat ini sedang mengumpulkan bukti  dimana letak kelalaian pemkot.

Nusyirwan menuturkan, pemerintah telah melakukan pengawasan terhadap perusahaan tambang melalui evaluasi bulanan. Kementerian ESDM juga sudah tegas terhadap pertambangan dengan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pernyataan wakil walikota tersebut dipertegas oleh Kepala Bagian (Kabag) Hukum Suparmi yang menyatakan bahwa berkas-berkas pengajuan banding telah diserahkan ke Pengadilan Tinggi pada 25 Juli. Sementara, untuk memori banding masih dilakukan diskusi bersama antara Kabag Hukum, kejakasaan negeri (Kejari), dan kejaksaan tinggi (Kejati), yang isinya tidak setuju dengan putuusan hakim karena tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Jawaban yang diberikan Suparmi ini persis dengan apa yang kami dapatkan saat menyambangi Kantor BLH Samarinda. Sejumlah staf menyatakan bahwa BLH telah melakukan evaluasi bulanan terhadap kegiatan tambang batubara, mulai dari kondisi air, udara, dan limbah beracun. Sementara, segala berkas hasil evaluasi telah diserahkan ke bagian hukum Pemerintah Kota Samarinda.

Evaluasi tambang yang dimaksudkan Nusyirwan merupakan pengawasan intensif kepada perusahaan tambang yang selanjutnya dilakukan evaluasi apakah perusahaan tersebut baik, diberi peringatan, atau dicabut izinnya. Menurutnya, saat ini jumlah perusahaan tambang yang beraktivitas sudah berkurang karena harga batubara yang anjlok sejak 2010. Meski sistem evaluasi ini nantinya tidak akan diumumkan setiap bulan, namun masyarakat dipersilakan untuk mengadu secara lisan atau tulisan juga perihal ganti bila memang dirugikan.

Inilah yang diwanti-wanti oleh Mohamad Nasir, akademisi dari Universitas Balikpapan (Uniba), tentang putusan kemenangan GSM. Sebagaimana yang disampaikannya saat acara Greentalk di Green Radio Jakarta pada 22 Juli 2014, bahwa pengawalan terhadap evaluasi yang dilakukan Pemerintah Samarinda perlu terus dilakukan. Yaitu, evaluasi terhadap seluruh izin pertambangan batubara yang telah dikeluarkan, mengawasi perilaku usaha untuk merealisasikan reklamasi dan pasca-tambang, perbaikan fungsi lingkungan hidup, melakukan upaya strategis dalam perlindungan kawasan pertanian dan perikanan masyarakat dari pencemaran sebagai akibat kegiatan pertambangan batubara. “Sehingga, bukan sekadar putusan yang menyatakan bahwa GSM menang dan pemerintah lalai, lalu pemerintah melakukan evaluasi dengan mekanismenya sendiri. Masyarakat harus dilibatkan”.

Hal yang ditegaskan Chandra Dewana Boer juga. Harusnya, Walikota Samarinda menyetujui putusan pengadilan dan meminta perusahaan melakukan reklamasi. Bukan melakukan banding, karena apa yang dituntut GSM memang benar dan beralasan. “Belakangan, Pak Walikota juga menyerahkan urusan tambang kepada wakilnya, kenapa ini?” tuturnya.

Batubara diangkut melalui jalur Sungai Mahakam yang merupakan urat nadi masyarakat Samarinda. Foto: Yutinus S. Hardjanto
Batubara diangkut melalui jalur Sungai Mahakam yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Samarinda. Foto: Yutinus S. Hardjanto

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, mengatakan sejak adanya GSM tahun 2012, tekanan kepada Pemerintah Kota Samarinda untuk menertibkan tambang terlihat geliatnya. Ada evaluasi dan ada sepuluh ijin yang dicabut. Namun, setelah Jatam melakukan pengecekan lapangan, ternyata ijin yang dicabut tersebut luasannya yang kisaran 150 hektar ke bawah. Ini tidak memberikan dampak signifikan terhadap luas keseluruhan tambang di Samarinda. Faktor penentu lainnya adalah, ijin yang dicabut itu rata-rata yang memang hampir habis masa berlakunya serta pemiliknya bukan aktor yang memiliki kekuatan politik. Ini satu alasan mengapa CV. Arjuna di Makroman begitu berkuasa mengeruk batubara.

Saat ini, tercatat ada 58 ijin usaha pertambangan (IUP) dan lima dalam bentuk PKP2B atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Bila dirunut ke belakang, rinciannya adalah 38 ijin (2005), 40 ijin (2007), 76 ijin (2009), dan 63 ijin (2012). Jumlah inspektoratnya hanya lima. Sedangkan jumlah lubang tambang yang belum direklamasi sebanyak 150 buah, angka fantastis yang siap mengundang bencana.

Apa yang membuat Samarinda sulit bergeming dari tambang meski dari berbagai kajian menunjukkan lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat? Perda yang mengatur tentang pertambangan di Samarinda (Perda No 20/2003) tidak menyinggung batasan dan kriteria tambang. Sementara, UU No.4/1999 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) tidak dijadikan acuan untuk kebijakan.

Akibatnya, perizinan yang berfungsi sebagai pengendali kebijakan tidak berjalan sama sekali. “Sejak 2004 hingga 2013 terjadi kekosongan tata ruang, baru di Desember 2013 tata ruang Samarinda disahkan. Meski sebelumnya, di 2005 telah disusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Samarinda. Di sini, kelemahan kebijakan dimanfaatkan,” ujar Merah.

Menurut Merah, maraknya tambang di Samarinda, selain didukung lemahnya pengawasan kebijakan, faktor pembiayaan politik sangatlah berperan. “Kondisi Samarinda yang terjadi saat ini harus dilihat dari keadaan sebelumnya,” tuturnya.

Beginilah kondisi alam akibat ditambang batubara. Tandus. Foto: Yutinus S. Hardjanto
Beginilah kondisi alam akibat ditambang batubara. Tandus. Foto: Yutinus S. Hardjanto

Samarinda saat ini dipimpin oleh Syaharie Ja’ang (walikota) dan Nusyirwan Ismail (wakil) untuk periode 2010-2015. Uniknya, Ja’ang bukanlah orang baru dalam sejarah pemerintahan di Samarinda. Sebelumnya, ia adalah Wakil Walikota Samarinda untuk dua periode yaitu, 2000-2005 dan 2005-2010. Selama satu dasawarsa itu ia merupakan pendamping setia Achmad Amins. Secara keseluruhan, Ja’ang sudah berkuasa di Samarinda selama 15 tahun.

Dalam bisnis tambang, Syaharie Ja’ang, pada Juni 2000 tercatat sebagai direktur pemegang saham PT. Anugerah Bumi Etam. Sedangkan pada 1999-2000 posisinya sebagai penasehat dan anggota Koperasi Sungai Mas yaitu hak pengelolaan hasil hutan. Tambang bukanlah barang baru bagi Jaa’ng karena ia pernah bekerja di PT. Bukit Baiduri Energi pada Desember 1988 hingga Desember 1990. Dalam dunia politik, dia pernah menjadi anggota DPRD Kota Samarinda (Ketua Fraksi PDI-P dan Ketua Komisi D) pada Agustus 1999 hingga Oktober 2000. Sekarang, dia merupakan Ketua DPC Partai Demokrat Kota Samarinda 2011-2016

Achmad Amins menjabat sebagai Walikota Samarinda selama sepuluh tahun atau dua periode yaitu 2000-2005 dan 2005-2010. Awalnya dia dikenal sebagai politisi dari partai Golongan Karya (Golkar), kini ia pindah ke Partai Nasional Demokrat yang pada pemilihan legislatif 2014 lalu berhasil menduduki kursi DPR RI.

Di masa pemerintahan Achmad Amins inilah umbar izin usaha pertambangan begitu marak. Sebanyak 63 ijin usaha pertambangan (IUP) diduga dikeluarkan pada 2007-2008 saat ia maju mencalonkan diri sebagai Gubernur Kalimantan Timur. Anehnya, berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor 18/LHP/XVII/02/2009 tanggal 23 Februari 2009, hampir keseluruhan ijin yang diberikan itu tidak ada kajian AMDAL.

Merah Johansyah menegaskan, bahwa seminggu sebelum digelarnya pemilihan legislatif 2014, Jatam telah menginformasikan masyarakat Samarinda untuk melihat figur yang akan dipilih. “Kami telah merilis para aktor yang terlibat tambang,” tuturnya.

Menurut Merah, terlibatnya partai politik di bisnis tambang batubara ini membuat keberadaannya langgeng di Samarinda. Ini juga diperkuat dengan beberapa profil anggota DPRD di Samarinda yang berlatar tambang. Jadi semakin kuat bisnis ini.

Carolus Tuah juga mengakui tidak adanya transparansi yang jelas membuat bisnis tambang ini menjadi daerah ‘abal-abal’ terjadinya tindak korupsi. Mengutip hasil penelusuran Kaltim Pos 30 April 2010, tertera dana yang harus dikeluarkan untuk mengurus ijin tambang.

Untuk total iuran hingga eksploitasi sebesar Rp4.050.000 (luasan 100 hektar dalam waktu setahun) maka dana yang harus dikeluarkan adalah Rp540.000.000. Uang yang diserahkan dalam bentuk cek ini sangat mungkin bertambah, bergantung pada dekat tidaknya pengusaha pada pejabat yang mengurus. Untuk satu perijinan yang luasnya 1.000 hingga 5.000 hektar maka harganya makin mahal. Satu ijin senilai Rp1,5 hingga Rp2 miliar. Inilah dana cuma-cuma yang harus disetor untuk melicinkan ijin sebelum produksi dimainkan.

Jalan terjal memang harus dilalui warga Samarinda untuk membabaskan dirinya dari jerat maut tambang ini. Melalui GSM, perjuangan untuk mengembalikan lingkungan yang layak telah dimulai yang justru seharusnya tanggung jawab Pemerintah Kota Samarinda untuk melindungi warganya.

Merah dengan tegas meminta pemerintahan yang baru untuk nantinya tidak bersandar pada kepalsuan ekonomi tambang. Banyak kehancuran ketimbang kebaikan. Samarinda adalah korbannya. “Pencabutan ijin tambang juga harus dilakukan, karena tambang tidak boleh ada di daerah pertanian, permukiman, aliran sungai, dan situs budaya,”

Untitled

Mendung menggelayut di Makroman. Rintik-rintik air mulai turun dari langit. Sore itu, berpacu dengan waktu, Nurbaeti sibuk mengusir burung-burung yang memasuki sawahnya. Dengan bunyi-bunyian dari kaleng bekas yang diisi batu, ia melakukannya. Bunyinya yang keras, membuat burung-burung terbang menjauh. Sementara, hujan yang turun akan mengairi sawahnya.

Bondol peking (Lonchura punctulata) dan bondol kalimantan (Lonchura fuscans), burung yang hinggap di sawahnya itu, memang jenis pemakan biji. Sawah memang tempat bermain yang menyenangkan bagi mereka, jadi burung-burung itu akan kembali lagi. Sayang, kami tidak berhasil melihat raja udang, jenis yang biasa dijadikan indikator alami kualitas kebersihan lingkungan.

Ya, Nurbaeti dan warga Makroman hanya bisa mengusir burung yang dianggap hama karena memakan bulir-bulir padi. Sementara, perusahaan tambang batubara CV. Arjuna yang merupakan “hama” sebenarnya tidak bisa mereka paksa untuk angkat kaki. Hama raksasa itu dengan lahapnya mengeruk batubara, merobek perut bumi, dan mengotorinya dengan racun. Tanpa pernah merasakan betapa sakitnya itu semua.

Sawah dan tambang batubara CV. Arjuna ini hanya dibatasi lubang menganga yang digali karena nafsu semata. Foto: Rahmadi Rahmad
Sawah dan tambang CV. Arjuna ini hanya dibatasi lubang menganga yang digali karena nafsu semata, mengeruk batubara. Foto: Rahmadi Rahmad
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,