Wah! Ada Skema Baru Percepat Pengukuhan Kawasan Hutan, Apakah Itu?

Guna mempercepat pengukuhan kawasan hutan, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Kementerian Kehutanan meluncurkan mekanisme baru, lewat skema pengakuan dan pembuktian hak (PPH).

Giorgio Budi, Koordinator Tim UKP4 untuk Pelaksanaan PPH di Barito Selatan mengatakan, kesemerawutan peta saat ini menjadi alasan peluncuran PPH. Harapannya, melalui mekanisme ini, peta kawasan hutan menjadi satu. “Ada banyak angka menunjukkan luas hutan di Indonesia. Tiap-tiap versi berbeda-beda. Belum jelas. KPK mengatakan ketidakjelaskan ini peluang terjadi korupsi sektor kehutanan,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Rabu (27/8/14).

Barito Selatan di Kalimantan Tengah, dipilih menjadi pilot project program ini, sebagai tindak lanjut notakesepahaman antara UKP4 dan Gubernur Kalteng, Teras A. Narang pada 2012. Di sini, peta kawasan dengan skala 1:50.000 sudah tersedia.

“Melalui mekanisme ini, pengukuhan kawasan hutan lebih mengutamakan jalur partisipatif. Masyarakat adat maupun bukan, ikut terlibat.”

Pelaksanaan tata batas kawasan hutan sampai 2009 mencapai 219.206 km (77,64%).  Namun yang berhasil ditetapkan baru 11,29%  dari kawasan hutan Indonesia 122.404.872,67 hektar. Pengukuhan kawasan hutan menjadi agenda mendesak dipercepat. Terlebih, putusan Mahkamah Konstitusi 45 menyebutkan, kawasan hutan yang baru penunjukan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

“Kemenhut sudah mempunyai komitmen serius mempercepat pengukuhan kawasan hutan. Langkah ini perlu kita apresiasi.”

Kemenhut menargetkan luas kawasan hutan dikukuhkan hingga akhir 2014 menjadi 68,06% atau 83,313 juta hektar. Pada 2015 ditargetkan 100% atau 122,405 juta hektar. Untuk mencapai target  ini, katanya, perlu dukungan dan partisipasi semua pihak.

Kondisi sekarang, kawasan hutan yang sudah ditetapkanpun, masih ada hak pihak ketiga. Untuk mengantisipasi, Kemenhut mengeluarkan Permenhut no 44 tahun 2013 tentang pengukuhan kawasan hutan. Dalam peraturan itu terdapat amar putusan berbunyi, “Dalam hal masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang sah dalam penetapan kawasan hutan ini, akan dikeluarkan dari kawasan hutan seasuai peraturan perundangan.”

Untuk itulah, kata Giorgio, PPH sangat penting. “Sekarang  proses penetapan kawasan hutan banyak baru sampai tata batas tapi tidak temu gelang. Ini jadi banyak konflik.   Dengan PPH, peluang menyelesaikan konflik makin terbuka,” ujar dia.

Pelaksanaan PPH dibatasi dalam waktu lima tahun. Pemerintah akan mengumumkan peta batas wilayah kehutanan sementara. Jika dalam peta itu, wilayah hak kelola masyarakat masuk, mereka bisa mengajukan keberatan. Proses verifikasi data dan penyelesaian sengketa dibatasi dalam kurun waktu itu.

“Secara hukum masyarakat boleh mengklaim kapan saja, tetapi demi menjaga kepastian hukum dari kawasan hutan, kami memunculkan batas waktu lima tahun. Ini  sedang dan terus dikembangkan dengan Kemenhut dan lembaga lain.”

Menurut dia, dalam proses ini transparansi menjadi poin penting. “Agar tidak menimbulkan kecurigaan, seluruh data akan disebar melalui website.” Masyarakat,  bisa dengan bebas mengakses informasi soal perkembangan PPH. Selain itu, informasi akan dipasang di tiap kantor kepala desa.

“Hasil PPH ini diharapkan landasan hukum jelas. Nanti Kemenhut bisa mengatakan dengan jelas mana wilayah dan mana yang bukan wilayah kelola.  Dalam tahapan sekarang, kita masih masa sosialisasi.”

Dia mengatakan, pemetaan di tingkat desa dengan mengajak warga hingga batas menjadi lebih jelas. Untuk itu, UKP4 dan Kemenhut akan menggandeng AMAN untuk menunjukkan batas-batas hutan adat.  “Ada sistem input data. Pemerintah desa hingga kabupaten harus input data. Semua bisa akses informasi itu.”

Dia optimistis PPH bisa selesai dalam lima tahun ke depan asalkan semua berjalan bersamaan. Ada sinergi antarlembaga pemerintahan dan masyarakat sipil. Namun, jika tidak mencapai target, dia berharap lewat PPH semua permasalahan batas kehutanan muncul hingga bisa diidentifikasi dan diselesaikan satu per satu.

Lahan adat Suku Sawai diberi police line oleh aparat keamanan. Warga pun diminta pergi dari lahan yang diklaim sepihak oleh perusahaan tambang. Dengan skema PPH diharapkan penetapan kawasan hutan melibatkan warga hingga tak terjadi klaim sepihak lagi. Foto: AMAN Malut

Muhammad Said, Direktur Pengukuhan, Penatagunaan dan Tenurial Kawasan Hutan Kemenhut mengatakan, program pengukuhan kawasan hutan sekaligus memberikan kepastian hak atas tanah bagi masyarakat yang ada di dalam ataupun sekitar kawasan hutan.

“Dalam proses pengukuhan kawasan hutan, pada prinsipnya semua hak-hak pihak ketiga yang sah dan dalam kawasan hutan harus dihormati. Statusnya tidak boleh menjadi bagian dari kawasan hutan.”

Pembuktian keabsahan hak-hak pihak ketiga, katanya, harus dilakukan instansi berwenang dengan melibatkan berbagai pihak berkompeten di bidang pertanahan.

“Dulu kita sering meminta bukti hak kepemilikan dalam bentuk sertifikat.  Padahal pembuktian hak atas tanah, tidak selalu dalam bentuk sertifikat. Bisa dimulai dari yang tidak tertulis sekalipun. Dulu panitia tata batas bupati. Sekarang tidak. Dikembalikan ke pusat dan formasi tidak banyak.”

Dia berharap skema PPH bisa membuat pengukuhan kawasan hutan cepat.  Untuk menjalankan proses ini, Kemenhut  tunduk pada ketentuan BPN nomor 3 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

“Dalam beberapa hari ke depan, kami akan terus mengembangkan mekanisme PPH. Dulu memang ada beberapa kelemahan. Hari ini sudah ada one map, itu bagus. Terpenting sekarang kita mempunyai kemauan menyelesaikan masalah itu.”

Terkait implementasi putusan MK 35, saat ini Kemenhut menginventarisir perda masyarakat adat. Namun, katanya, dari perda yang ada belum menggambarkan batas lokasi wilayah adat dan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.

“Putusan MK 35 itu jelas. Status bukan lagi hutan negara, tapi tetap pemerintah harus memberikan payung hukum. Penataan batas kawasan hutan, adalah proses menyelesaikan permasalahan dengan pihak ketiga. Bukan sekadar memasang patok. Kita harus menyelesaikan hak masyarakat yang kemungkinan masuk ke dalam kawasan hutan.”

Myrna Safitri, direktur eksekutif Epistema Institute mengatakan, PPH penting mencegah peningkatan konflik akibat percepatan pengukuhan kawasan hutan. Penetapan kawasan hutan tanpa penanganan klaim masyarakat hanya akan berujung pada ketidakadilan.

“Mekanisme PPH yang dijalankan atas dasar terpenuhinya prasarat sosial, teknis dan hukum yang baik,  memungkinkan masyarakat hukum adat, dan pihak ketiga lain mengajukan klaim atas lahan yang dijadikan kawasan hutan.”

PPH, katanya, sangat penting mengingat 65% daratan Indonesia adalah hutan. Di dalamnya, ada ribuan desa dengan jutaan penduduk. Selama berpuluh tahun mereka hidup dalam ketidakpastian.

Dia mengatakan, pembicaraan pengukuhan kawasan hutan sudah ada sejak masa kolonial tetapi tidak pernah berjalan maksimal. Bahkan pemerintah kecenderungan menghindar.

Adanya PPH merupakan kemajuan. “Ini perlu diapresiasi.” Namun, PPH bisa menyelesaikan konflik dengan syarat dalam pelaksanaan, tidak hanya menghasilkan peta dan mempercepat pengukuhan. Juga harus menjamin hal-hak warga, baik masyarakat adat, maupun bukan.

“Perspektif ekologis juga harus diperhatikan. Aspek kelestarian harus melekat.”

Selain itu, katanya, kontrol masyarakat sipil perlu agar PPH berjalan sesuai koridor. Data penggunaan lahan masyarakat atau perizinan harus dibuka. “Masyarakat,  harus mendapatkan informasi adil. Sosialisasi harus terus dilakukan.”

Menurut Myrna, ketika berbicara PPH, berarti soal pembangunan sosial. “Kala nanti ada klaim akan ada kesepakatan-kesepakatan komunitas. Ini mengharuskan ada pendampingan hukum agar tidak ada penumpang gelap yang memanfaatkan itu.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,