Halaman depan Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, dalam tiga hari itu selalu ramai. Pengunjung lalu lalang. Ya, pada 29-31 Agustus 2014, di sana berlangsung Pekan Masyarakat Adat Nusantara.
Ada pameran karya cipta masyarakat adat nusantara, seni kontemporer, dan pameran foto masyarakat adat. Lalu, pemutaran dan diskusi film dokumenter, pagelaran budaya, bengkel-bengkel kerja seni kontemporer dan tradisional. Kuliner nusantara dan berbagai permainan tradisional pun tak ketinggalan.
Dari beragam kegiatan ini seakan ingin menyampaikan pesan, bahwa kekayaan negeri yang melimpah, dari sumber alam, seni budaya dan adat istiadat harus dijaga. Hanya dengan sumber kekayaan ini tetap terjaga dan terawatlah, manusia bisa hidup tenteram.

Pada hari terakhir, ada demo masak masakan khas nusantara. Tungku kayu dan kompor pun siap di halaman depan Galeri Cipta II. Tampak beberapa orang sibuk memasukkan adonan beras bak kue putu ke dalam bambu-bambu kecil. Pinehong, begitu nama makanan dari Seko, Sulawesi Tengah ini. Setelah dimasukkan ke dalam bambu, pinehong dibakar. Ada juga masakan mantubu manu, khas Ngatatoro, Sulteng. Daging ayam ini dimasukkan ke dalam bambu lalu dibakar.
Tak jauh dari sana tampak kesibukan Ani, seorang ibu dari Lage, Poso, Sulawesi Tengah. Dia sedang memasak beko, yakni, batang pisang diiris tipis dicampur daun bawang, kemangi dan potongan ayam.

Di bengkel kerja seni kontemporer, ada Taring Padi, yang mengadakan workshop dan sablon kaos. Penggemar sablon kaos cukup ramai hingga malam hari, peminat berdatangan. “Selamatkan Hutan Sebelum Kekeringan.” “Land, water, earth, call me mother.” Begitu antara lain bunyi desain sablon yang ditawarkan.
Ada juga beragam kerajinan Suku Baduy, dari tas, baju, kain sampai madu alam. Di depan stand itu tampak Rasti, warga Baduy Luar, sibuk menenun. “Kalau kain kecil ini sekitar seminggu jadi. Kain besar sampai dua minggu,” katanya.

Pameran karya cipta, seni dan pameran foto masyarakat adat di Galeri Cipta II juga menarik banyak pengunjung. Hasil karya antara lain Andreas Iswinarto dan Gallis AS, menceritakan mengenai hubungan alam dan manusia.
Tampak juga beberapa lukisan tokoh-tokoh adat yang berjuang mempertahankan tanah leluhur dari rampasan pemodal. Merekalah para pembela hak asasi manusia dan pejuang lingkungan sejati. Ada Mama Aleta Baun, Rukmini, Yosepha Alomang atau Mama Yosepha, sampai Abay Janggut.

Panggung musik pun siang malam. Tari-tarian, dan lagu daerah mengalun. Sesekali diikuti jogetan para penonton.
Pada Sabtu (31/8/14) juga dilakukan penyerahan Adat Awards kepada para jurnalis dari media cetak dan online. Pemenang pertama Bayu Maitra dari Reader’s Digest Indonesia dengan judul artikel Simalakama Hutan Asmat.
Pemenang kedua Wahyu Chandra dari Mongabay-Indonesia (mongabay.co.id) dengan tulisan Jalan Panjang Perda Masyarakat Adat Kajang. Pemenang ketiga, juga dari Mongabay-Indonesia, Ayat S Karokaro, Indra Nugraha dan Sapariah Saturi. Judul artikel Kemelut Hutan Kemenyan, Menguak Luka Warga di Tepian Danau Toba.









