Alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit di kawasan TNGL oleh dua perusahaan yang sudah beroperasi 15 tahun. Parahnya, tak tersentuh hukum! Foto: Ayat S Karokaro
Kabar mengejutkan datang dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), yang menyebutkan ada pelanggaran UU konservasi dan kehutanan oleh dua perusahaan besar di Sumatera Utara. Parahnya, dalam 15 tahun beroperasi, mereka tak tersentuh hukum!
Andi Basyrul, kepala Balai Besar TNGL, kepada Mongabay mengatakan, perusahaan itu adalah Pir ADB dan PJ Bandar Meriah yang beroperasi di hutan lindung TNGL, di Kabupaten Langkat.
Dari penyidikan, katanya, perusahaan-perusahaan ini diduga merusak hutan lindung, dan alih fungsi lahan ilegal menjadi perkebunan sawit.
ADB dan BM, beroperasi sejak 1998 di kawasan hutan lindung tanpa izin. Hingga kini, dua perusahaan itu sudah merusak hutan selama 15 tahun.
Menurut dia, dampak alih fungsi lahan ini, bukan saja hutan rusak, tetapi ekosistem dan habitat satwa terancam. Dari perhitungan balai, kerugian, mencapai ratusan miliar rupiah.
Balai TNGL, kata Andi, telah melakukan penyelidikan dan mengukur hutan yang jadi kebun sawit. Hasilnya, sekitar 77 hektar hutan tiap tahun rusak parah di Langkat. Pihaknya, sudah menyerahkan hasil pengukuran lahan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN Sumatera Utara merekomendasikan tidak memberikan izin pengelolaan lahan di hutan TNGL.
Namun, dua perusahaan ini sampai sekarang bebas berkeliaran dan terus menebang kawasan TNGL. Operasi gabungan dengan kepolisian dan TNI pernah dilakukan, dan berhasil menangkap otak pelaku bernama Yatno. Anehnya, dipraperadilkan ke pengadilan, dan majelis hakim memenangkan gugatan tersangka. Pelaku bebas. Sampai saat ini berkeliaran padahal berkas sudah lengkap alias P21.
Selain itu, balai juga menemukan fakta, ada penjahat kehutanan beroperasi individu, memiliki lahan antara 20-32 hektar lebih. Penyidik sudah mendapatkan bukti kuat mengenai pelanggaran pada dua perusahaan itu.
Andi mengatakan, luas hutan Sumut, masuk TNGL 213.000 hektar. Tahun 2012, kerusakan sekitar 21.000 hektar. Penyebabnya, alih fungsi menjadi perkebunan sawit. “Kasus ini diproses Polda Sumut. Ada perusahaan sudah satu tahun lebih diproses tetapi berkas tidak lanjut yaitu PJ Bandar Meriah. Kami juga heran mengapa bisa begini.”
Kusnadi Oldani, direktur eksekutif Walhi Sumut, menilai, yang bertanggungjawab penuh dalam kasus ini kepala Balai Besar TNGL. Dia pemegang kuasa penuh pengelola kawasan taman nasional.
Dia menduga, lambannya proses pada dua perusahaan kebal hukum itu, karena ada unsur kesengajaan. Kuat dugaan, katanya, ada pemain-pemain besar di belakang mereka, hingga perlu ditelusuri lebih jauh. “Apakah para politisi yang berkuasa atau para bintang atau di belakang mereka yang punya pangkat?”
Untuk itu, TNGL dan penegak hukum, harus tegas mengambil sikap agar tidak berlarut. Selain sanksi hukum formal, harus ada pertanggungjawaban mereboisasi kawasan hutan yang dirusak, dan menutup dua perusahaan itu. “Beberapa kali operasi tetapi tetap saja tidak selesai. Aneh dan menjadi pertanyaan besar.”
Sedangkan Saurlin Siagian, pendiri Hutan Rakyat Institut, menyatakan, penebangan hutan dilakukan perusahaan yang memiliki jaringan dengan oknum-oknum tertentu. Hingga aksi membabat hutan bebas dan lancar tanpa hambatan selama belasan tahun.
Setiap kehadiran korporasi, pasti ada legitimasi baik pemerintah lokal maupun pusat. “Tidak mungkin pemerintah tidak tahu kehadiran dua perusahaan itu. Setiap izin sudah rahasia umum pasti di belakang ada uang. Jadi, tidak mungkin pemerintah tidak tahu.”