Hebat, Aceh Documentary Produksi Lima Film Lingkungan

Aceh Documentary dengan programnya Aceh Documentary Special Project (ADSP) memproduksi lima film dokumenter bertema lingkungan. Lima film tersebut adalah Belantara Leuser (Bukan) Tanah Haram, Khanduri Investasi Desa Kuala Seumayam, Hilangnya Rawa Tripa, Demi Lima Liter Air, dan Beuraleun. Kegiatan bertema Hijau Acehku ini ditujukan untuk kepentingan advokasi isu tata kelola hutan, perkebunan, pertambangan, revitalisasi, serta pemberdayaan institusi adat.

Amri, Manajer ADSP mengatakan, melalui film diharapkan pemerintah dapat memberikan perubahan kebijakan yang lebih baik. Misal, terkait banyaknya pertambangan dan perkebunan yang seharusnya tidak boleh. “Dalam qanun di tingkat mukim telah diatur, tidak boleh merambah hutan,” katanya.

Faisal Ilyas, Direktur Aceh Documentary menjelaskan bahwa film dokumenter ini hasil kerja sama dengan The Asia Foundation guna mendorong kebijakan tata kelola hutan. Melalui film, pemerintah diharapkan lebih serius membuat kebijakan. “Jika kebijakannya belum jelas, segera revisi, dan jika belum ada secepatnya dibuat,” jelasnya.

Di lapangan, tim ADSP dihadapkan berbagai persoalan. “Kami harus kucing-kucingan saat mengambil gambar di Kuala Tripa. Sementara di Leuser, tim ASDP menemukan perkebunan masyarakat yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Ternyata, selama ini, tapal batasnya belum jelas,” ujarnya.

Film bertema lingkungan produksi Aceh Documentary ini akan digunakan untuk kampanye lingkungan. Foto: ADSP
Film bertema lingkungan produksi Aceh Documentary ini akan digunakan untuk kampanye lingkungan. Foto: ADSP

Indra Wahyudi, sutradara Belantara Leuser (Bukan) Tanah Haram, mengatakan bahwa film ini menceritakan tentang aktivitas masyarakat Desa Pulo Piku yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Masyarakat menghadapi dilema antara memenuhi kebutuhan ekonomi dengan berkebun atau menjaga kelestarian TNGL.

Di kawasan Leuser, masyarakat menanam karet, kemiri, langsat, dan durian. Mereka juga menanam gambir, tanaman yang tumbuh di bawah pepohonan besar. Dari dulu, telah ada aturan-aturan adat, meski tidak tertulis. Baru di 2014 ini, ada aturan tertulis yang disepakati antara pemangku adat. “Misalnya tidak boleh menebang pohon di kemiringan 30 derajat, karena bisa mengundang bencana,” jelas Indra.

Sempitnya areal penggunaan lahan di desa tersebut memaksa masyarakat membuka lahan baru hingga akhirnya masuk ke kawasan TNGL. Sementara, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem melarang penggunaan lahan TNGL untuk perkebunan.

Film Khanduri Investasi Desa Kuala Seumayam karya Nurul Fajri dari Nagan Raya menggali permasalahan tentang pelebaran hutan produksi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh atas nama kesejahteraan masyarakat. Dampaknya adalah, selain luasan hutan lindung masyarakat menyempit, masyarakat Desa Kuala Seumayam juga dijepit oleh perusahaan perkebunan sawit. Hak atas tanah peninggalan nenek moyang mereka menghilang. Saat ini, mereka bertahan hidup dalam gemuruh suara alat berat untuk pembukaan lahan sawit.

Film Hilangnya Rawa Tripa karya Abdullah Syakari dari Nagan Raya juga bercerita tentang kehancuran hutan di Rawa Tripa. Kondisi ini memberikan dampak buruk bagi masyarakat sekitar yang mengakibatkan mereka kehilangan mata pencaharian.

Film Demi Lima Liter Air  karya Iwan Bahagia dari Takengon mengupas tentang maraknya  illegal logging di Aceh. Film ini mengangkat sosok Mahyuddin, 72 tahun, petani yang menanam pohon pinus di lahan seluas 12 hektar. Mahyuddin menanam pinus berbekal pesan dari guru sekolahnya bahwa sebatang pinus dapat menyimpan lima liter air. Ia menanam ribuan batang pinus sejak 14 tahun yang lalu.

Film terakhir berjudul Beuraleun karya Maria Ulva dari Pidie. Film ini berkisah tentang alih fungsi hutan dan pembalakan liar di kawasan Hutan Mane – Geumpang yang memberikan dampak negatif  bagi masyarakat sekitarnya.

Aceh Documentary Special Project
Aceh Documentary Special Project

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,