Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelesaikan dengar keterangan umum inkuiri nasional hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya di kawasan hutan regional Sulawesi. Kegiatan dengar keterangan umum itu berlangsung tiga hari, 27-29 Agustus 2014, di Aula Kantor Wilayah Hukum dan HAM Kota Palu.
Hari ketiga, kasus masyarakat hukum adat Barambang Katute dibahas oleh komisioner inkuiri. Sengketa ini terjadi karena klaim sepihak yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan sejak tahun 1994-1995. Masyarakat adat Barambang Katute yang memiliki pekerjaan berkebun di hutan menolak klaim ini. Hal inilah yang mengakibatkan banyak masyarakat ditangkap, diintimidasi, dan dipenjara karena memasuki hutan lindung. Puncaknya adalah ketika 11 orang masyarakat adat Barambang Katute ditangkap dan diadili karena mencabut 40 ribu pohon pinus yang ditanami pemerintah di lahan seluas 40 hektar selama seminggu. Kasus perambahan hutan ini telah diadili hingga di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Mereka selalu divonis bersalah di setiap tingkat. Diduga telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman, hak atas keadilan, dan hak atas kesejahteraan bagi masyarakat hukum adat Barambang Katute.
Menurut Saur Situmorang, anggota komisioner inkuiri, akibat konflik ini, perempuan adat Barambang Katute kehilangan mata pencaharian, kesehatan, mengalami diskriminasi, serta tidak mendapat hak sipil untuk menikah.
“Perempuan tercatat kehilangan haknya karena pertambangan,” kata Saur Situmorang yang juga anggota Komnas Perempuan.
Sementara itu, kriminalisasi juga terjadi pada masyarakat adat Sedoa di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Masyarakat hukum adat Sedoa yang semula memiliki luas wilayah 51.878 hektar, kini hanya memiliki luas wilayah 3.113 hektar atau tinggal 6 persen saja, untuk fungsi pemukiman dan pertanian. Wilayah mereka sebanyak 24.902 hektar atau 48 persen, masuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, dan 23.864 hektar atau 46 persen, masuk dalam kawasan hutan lindung.
Luas wilayah Sedoa kini tidak berbanding dengan jumlah penduduk, karena rata-rata 1 unit rumah didiami oleh 2-3 orang kepala keluarga. Hampir seratus persen penduduk Sedoa menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi juga memaksa masyarakat untuk memikirkan ke depan area pengembangan yang akan dipergunakan masyarakat baik untuk pemukiman maupun untuk lahan pertanian.
Masalah yang terjadi di Desa Sedoa ini adalah penetapan kawasan hutan lindung oleh pemerintah yang berakibat pada berkurangnya lahan-lahan yang dikelola oleh masyarakat Sedoa. Luas lahan masyarakat yang diklaim oleh pemerintah menjadi kawasan hutan lindung tersebut adalah lahan-lahan yang sudah dikelola oleh masyarakat yang dijadikan perkebunan kopi, kakao, kemiri. Dan sebagian lagi untuk lahan pertanian.
Konflik ini berlangsung sejak 1997, yang ditandai dengan adanya penetapan patok atau pal batas hutan lindung secara sepihak di kawasan Desa Sedoa. Konflik berlanjut pada 2008, ketika terjadi penangkapan masyarakat Sedoa dengan dalih masyarakat menggarap lahan pertanian di dalam kawasan hutan lindung.
“Saya sejak 2003 adalah pendiri kelompok tani perempuan. Hutan dijadikan tempat ambil bahan kerajinan tangan, seperti tikar atau bakul. Tapi setelah kejadian penangkapan petani, kami jadi takut, tidak bisa bekerja. Akibatnya, anak-anak putus sekolah, anak perempuan menjadi pembantu di Kota Palu. Ketika mengolah hutan, ditangkap polisi,” kata salah seorang warga Sedoa.
Sudayatna, Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, ketika dimintai keterangannya mengaku bahwa pihaknya sangat menghormati dan patuh terhadap putusan MK 35 tentang pengakuan hutan adat. Keberadaan masyarakat adat Sedoa sangat dihargai karena memiliki kerarifan lokal dalam menjaga hutan. Namun menurutnya, akhir-akhir ini banyak migrasi dari pendatang, dan biasanya hal ini yang menjadi penyebab kerusakan hutan. Kalau masyarakat masih berpegang teguh pada tradisi mereka, maka tidak akan terpengaruh.
“Kalau masyarakat Sedoa memang sudah ada sejak dulu di hutan, maka tidak akan dikeluarkan. Karena mereka menyatu dengan alam, mereka menjaga alam dengan baik,” kata Sudayatna.
Temuan awal komisioner inkuiri nasional
Dengar keterangan umum selama tiga hari, komisoner inkuiri mencatat kondisi bahwa lima masyarakat adat yang hadir menunjukkan indikasi kuat sebagai masyarakat hukum adat dengan ditandai adanya kelompok orang dengan identitas budaya yang sama, adanya sistem nilai dan pengetahuan, wilayah adat, aturan-aturan dan tata kepengurusan hidup bersama seperti hukum adat dan lembaga adat. Namun hanya ada satu masyarakat hukum adat yang masih belum mendapat pengakuan dari pemerintah kabupaten setempat.
“Satu yang belum diakui itu adalah masyarakat adat Barambang Katute. Pemerintah setempat meminta untuk melakukan kajian terlebih dahulu,” kata Sandra Moniaga, ketua tim inkuiri nasional kepada Mongabay.
Menurut tim inkuiri, terdapat indikasi yang cukup jelas hubungan antara masyarakat dengan tanahnya dengan adanya bukti-bukti fisik, sistem pengelolaan, lembaga adat, hukum adat, dan sanksi adat. Lunturnya lembaga adat atau tidak ada peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat saat ini tidak bisa serta merta meniadakan keberadaan masyarakat adat.
Fungsi hutan harus dipertahankan karena untuk menjaga masyarakat yang lebih luas. Namun, hanya berpegang semata pada peraturan perundang undangan yang ada tidak menjamin penyelesaian masalah. Prinsip hutan bebas dari jangkauan masyarakat tidak bisa lagi diandalkan untuk menyelesaiakan masalah. Perlu ada perubahan kebijakan di masa depan.
“Telah terklarifikasi bahwa sebagian wilayah Hutan Lindung Poso, Sedoa, telah dilepaskan menjadi areal penggunaan lain. Meski demikian perlu ada identifikasi areal yang masih tumpang tindih,” ungkap Sandra.
Kondisi yang berhasil diidentifikasi tersebut, menurut tim inkuiri nasional telah menimbulkan dampak-dampak seperti konflik masyarakat hukum adat atas wilayahnya di kawasan hutan di wilayah Sulawesi dalam beragam variasinya telah menimbulkan dampak pada penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Akses kelola atas hutan adat telah menurunkan kualitas hidup masyarakat hukum adat.
Terdapat indikasi hilangnya hak atas tanah dan sumber daya alam karena adanya tumpang tindih wilayah adat dengan kawasan hutan dan pemberian ijin-ijin dan konsesi perusahaan di wilayah masyarakat adat. Menurunnya tingkat kesejahteraan dan kesempatan akses sumber daya alam ternyata tidak berbanding lurus dengan lengkapnya peraturan perundang-undangan dan penerapannya secara baik dan benar. Sempitnya akses masayarakat atas wilayahnya berbanding terbalik dengan kesempatan yang dimiliki pihak perusahaan. Larangan keras bagi masyarakat hukum adat untuk mengakses tidak otomatis memberikan kepastian bagi kelestarian hutan.
“Masyarakat hukum adat bisa menjadi model bagi upaya pelestarian hutan dan lingkungan.”
Adanya stigma dan kriminalisasi terhadap perempuan adat sebagai ‘perambah’ hutan saat mereka memungut bahan pangan, obat-obatan atau kayu bakar di dalam hutan. Juga, terabaikannya jaminan rasa aman bagi perempuan untuk memungut hasil hutan dan mengelola pertanian dan kebunya yang diklaim oleh negara. Namun, dalam inkuiri nasional wilayah Sulawesi ini, komisioner telah mendapatkan jaminan keamanan dan kebebasan dari pihak kepolisian bagi masyarakat hukum adat yang telah memberikan keterangan umum dan masyarakat adat secara keseluruhan di Sulawesi.
Selain itu, sudah ada jaminan keterbukaan informasi tentang berita acara tata batas dan peta penunjukan kawasan hutan utamanya yang terkait dan tumpang tindih dengan peta wilayah adat dan kontrak karya dan AMDAL. Juga jaminan dari perusahaan yang telah memberikan keterangan umum atas keterbukaan informasi terkait kegiatan perusahaan dan pernghormatan dan perlindungan masyarakat adat.
“Tersedia pula arsip proses penetapan Cagar Alam Morowali dan Taman Nasional Lore Lindu. Serta, adanya jaminan dari Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu bahwa masyarakat yang telah hidup sebelum penetapan cagar alam tidak akan dipindahkan dari tanah adatnya,” jelas Sandra.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio