,

SID Dukung Gerakan Jogja Ora Didol dan Kampanyekan Tolak Reklamasi Bali

Grup band Superman Is Dead (SID) mengkampanyekan dukungannya untuk gerakan “Jogja Ora Didol” (Jogja tidak dijual) dan “Tolak Reklamasi Bali” ketika tampil di panggung, di Alun-alun Utara Yogyakarta pada Sabtu malam, 6 September 2014.

Bobby Cool selaku gitaris dan vokalis SID di atas panggung mengucapkan terima kasih  atas dukungan para OutSIDers dan Lady Roses –sebutan untuk penggemar SID—terhadap gerakanan mereka menolak reklamasi Teluk Benoa di di Bali.

“Perjuangan kami untuk menyelamatkan tanah kelahiran kami untuk menolak reklamasi tidak akan berhenti. Jogja juga harus menjaga alamnya. Jogja harus tetap nyaman,” kata Bobby Cool di atas panggung sebelum menyanyikan lagu “Jadilah Legenda”.

Di atas panggung, Bobby Cool juga mengenakan kaos hitam tanpa lengan bertuliskan “Bali Tolak Reklamasi, batalkan Perpres 51 tahun 2014.”

Jerinx SID suarakan dukungan untuk gerakan Jogja Ora Didol dan Tolak reklamasi Bali di panggung, di Alun-alun Utara Jogja, Sabtu malam (06/09/2014). Foto : Tommy Apriando
Jerinx SID suarakan dukungan untuk gerakan Jogja Ora Didol dan Tolak reklamasi Bali di panggung, di Alun-alun Utara Jogja, Sabtu malam (06/09/2014). Foto : Tommy Apriando

Sementara itu, Jerinx selaku penggebuk drum SID juga menyuarakan gerakan tolak reklamasi Bali dan “Jogja Ora Didol” di atas panggung. Ia berpesan kepada warga Yogyakarta untuk menyuarakan dan melawan berbagai bentuk kerakusan dari pemimpin daerah yang mengancam kerusakan alam.

“Hanya dua kalimat yang ingin saya sampaikan, Bali Tolak Reklamasi dan Jogja Ora Di Dol,” kata Jerinx.

Jerinx penggebuk drum SID ketika tampil di panggung di Alun-alun Urata Jogja dukung gerakan Jogja Ora Didol dan Bali Tolak Reklamasi. Foto : Tommy Apriando
Jerinx penggebuk drum SID ketika tampil di panggung di Alun-alun Urata Jogja dukung gerakan Jogja Ora Didol dan Bali Tolak Reklamasi. Foto : Tommy Apriando yog

Halik Sandera, Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta kepada Mongabay Indonesia mengatakan, gerakan Jogja Ora Didol itu memang untuk mengkampanyekan terkait persoalan pembangunan yang masif dan mengancam lingkungan di Yogyakarta, dan mengancam masyarakatnya.

Menurutnya, saat ini proses kepemilikan lahan kepada pendatang akan berlahan-lahan mengusir penduduk asli Yogyakarta. Selain itu, makin maraknya pembangunan hotel, apartemen dan hunian yang dimiliki orang luar Yogyakarta dan keuntungannya hanya dinikmati oleh segelintir orang.

“Lambat laun orang Jogja bisa terpinggirkan dan terusir dari daerahnya sendiri. Seperti masyarakat Betawi yang sudah banyak keluar dari wilayahnya sendiri di Jakarta,” kata Halik.

Ia menambahkan, pembangunan di Jogja yang tidak memperhatikan lingkungan berdampak pada banyak hal. Pertama, saat terjadi pembangunan secara masif maka kemacetan tidak akan terhindari, maka polusi udara akan semakin tinggi.

Kedua, pembangunan hotel, apartemen dan perumahan yang masif dan menggunakan air tanah berdampak pada turunnya permukaan tanah. Ketiga, dampak pembangunan masif juga akan berdampak pada limbah yang dihasilkan.

Walaupun dikelola melalui Instalasi Pengelolaan Air Limbang (IPAL), namun jika dibuang  dan mengalir ke sungai dengan jumlah yang banyak juga tetap berdampak pada baku mutu air.

Saat ini pembangunan hotel sangat sporadis. Rata-rata pembangunannya ada di bantaran sungai. Padahal wilayah sepadan sungai atau pinggir sungai masuk kawasan lindung dan dijaga kelestariannya.

Dampak pembangunan hotel yang masif sudah mulai muncul yakni hilangnya air sumur warga. Selain itu, ada warga satu RT yang telah menjual tanahnya untuk pembangunan hotel di dekat sepadan/pinggir Kali Code.

“Pemerintah Jogja harus tegas membuat kebijakan menghentikan pembangunan masif yang berdampak pada orang Jogja sendiri dan lingkungan sekitarnya,” pungkas Halik.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,