,

Walhi dan Auriga Nusantara Duga SDA Sumsel Dijadikan Alat Transaksi Politik. Benarkah?

Banyak perizinan pertambangan batubara di Sumatera Selatan (Sumsel) keluar saat suksesi politik. Fakta ini memberikan dugaan bahwa pertambangan batubara dijadikan “alat transaksi politik”. Dugaan ini berdasarkan penelitian perizinan pertambangan batubara di Sumsel yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel dan Auriga Nusantara.

“Selama proses pemilihan kepala daerah, sumber daya alam (SDA) Sumsel sering dijadikan alat transaksi calon kepala daerah kepada pengusaha sebagai jaminan modal (dana politik). Tujuannya, untuk memenangkan kandidat,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, akhir Agustus 2014.

Misalnya, periode Syahrial Oesman memimpin Sumsel pada 2003-2008, diterbitkan 8 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI). Total luasannya 877.330 hektar. Selanjutnya, periode 2008-2013, saat Sumsel dipimpin Alex Noerdin, jumlah izin yang dikeluarkan meningkat menjadi 11 izin dengan luasan kawasan hutan 326.084 hektar.

“Periode Alex Noerdin, luasan hutan yang diberikan izin lebih kecil dibandingkan Syahrial Oesman. Namun, jumlahnya terbanyak dalam 25 tahun terakhir,” kata Supintri, koordinator Auriga Nusantara untuk wilayah Sumatera bagian selatan (Sumsel, Lampung, Jambi, Bangka-Belitung, dan Bengkulu).

Menurutnya, tidak menutup kemungkinan jumlah perizinan HTI akan bertambah pada periode kedua kepemimpinan Alex Noerdin (2013-2018). Mengingat, rekam jejak kepemimpinannya selama menjadi Bupati Kabupaten Musi Banyuasin, Alex Noerdin berperan besar terhadap keluarnya izin-izin IUPHHK-HTI di kabupaten tersebut.

“Dugaan kami, izin HTI akan kembali dikeluarkan. Apalagi Sumsel tengah membangun pabrik pulp dan mills terbesar di Asia dengan kapasitas dua juta ton per tahun di Kabupaten Ogan Komering Ilir,” kata Hadi.

Penguasaan dan eksploitasi kawasan hutan juga dilakukan perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan dan tambang. Banyak kawasan yang dikuasai melalui mekanisme pinjam pakai, penurunan fungsi, atau pelepasan kawasan hutan. Ini terlihat dari luasan hutan produksi yang dikonversi menjadi perkebunan. Berdasarkan data Kementerian Kehutatan 2013, dari luasan 431.445 hektar naik menjadi 847.143 hektar.

Kejanggalan lain terdapat di sektor pertambangan. Berdasarkan data Planologi Kehutanan 2014, dari luasan 801.160 hektar izin usaha pertambangan yang dimiliki 191 perusahaan, lokasinya berada di kawasan hutan, baik itu hutan konservasi, hutan lindung, maupun hutan produksi.

Berdasarkan telaah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Sumsel, hingga 2014 terdapat 359 izin usaha pertambangan (IUP). Dari jumlah tersebut, 31 pelaku usaha tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP)). Data Direktorat Jenderal Pajak (April 2014) meyebutkan, dari 241 wajib pajak, hanya 18 yang melakukan pelaporan penghitungan pajak.

Pada sektor pertambangan, banyak izin keluar pada 2009-2010. Periode ini merupakan tahun politik karena bersamaan pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah di Sumsel. Sekitar 81 persen dari 290 IUP dikeluarkan dalam dua tahun tersebut. 140 IUP dikeluarkan tahun 2009 dan 150 IUP dikeluarkan pada 2010. Ini menguatkan indikasi bahwa izin-izin tersebut digunakan sebagai alat transaksi politik.

Menurut Hadi, ada dua modus yang yang dilakukan. Pertama, pemberian izin menjelang pemilu atau pilkada biasanya dilakukan oleh calon kepala daerah yang masih menjabat karena masih memiliki kuasa mengeluarkan izin. Kedua, pemberian izin diberikan setelah pemilu atau pilkada yang biasanya dilakukan oleh kepala daerah yang baru terpilih. Modus yang kedua ini sering disebut hadiah atau terima kasih dari kepala daerah terpilih kepada pengusaha atas pinjaman modalnya saat kampanye.

Peran aktif masyarakat diperlukan untuk mengawasi setiap izin. Pemerintah juga diharapkan lebih terbuka terhadap segala perizinan sebagaimana yang dimandatkan Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. “KPK dan aparat penegak hukum harus melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan pelaku kejahatan hutan dan lingkungan hidup serta mengawasi setiap pemberian izin di daerah,” kata Hadi.

Ketimpangan penguasaan lahan

Sumatera Selatan memiliki luas 8.702.741 hektar dengan jumlah penduduk mencapai 7.593.425 jiwa (BPS 2011). Namun, dalam penguasaan ruang dan lahan wilayahnya didominasi perusahaan tambang, hutan tanaman industri, dan perkebunan.

Berdasarkan catatan Walhi Sumsel 2013, luas pertambangan di Sumsel sekitar 2,7 juta hektar yang tersebar di delapan kabupaten. Luas hutan tanaman industri 1.375.312 hektar. Bila dipersenkan dengan luasan hak pengusahaan hutan (56.000 hektar), restorasi ekologi (52.170 hektar), dan jasa lingkungan (22.280 hektar) jumlahnya sekitar 65 persen dari luas hutan produksi di Sumsel yang berada di tujuh kabupaten. Sementara, luas perkebunan kelapa sawit yang mencapai satu juta hektar tersebar merata di setiap kabupaten.

Dari tiga sektor tersebut, luas lahan Sumsel yang dikuasai perusahaan sekitar 5.205.762 hektar. Artinya, luas lahan tersisa untuk tujuh juta penduduk Sumsel adalah 3.496.979 hektar yang di dalamnya meliputi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

Dr. Tarech Rasyid, pengamat politik dan lingkungan hidup dari Universitas Ida Bajumi (UIBA) Palembang, Minggu (07/09/2014), menyebutkan bahwa sumber korupsi di pemerintahan daerah adalah masalah perizinan dan APBD. Perizinan ini dapat disebut politik perizinan yang berhubungan dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, ruang praktik korupsi, suap menyuap, dan gratifikasi terbuka,” katanya.

“Politik perizinan dalam pertambangan batubara, termasuk perkebunan dan sebagainya, selalu terbuka untuk memungkinkan praktik korupsi. Apakah itu perizinan terkait suksesi kepala daerah, terutama incumbent? Jawabnya, sangat mungkin karena pilkada membutuhkan biaya politik yang cukup besar,” lanjutnya.

Boleh jadi, kebijakan regulasi yang diinisiasi pemerintah daerah (pemda) dan DPRD yang berkaitan dengan perizinan sudah dirancang untuk dijarah atau dikorup. Artinya, korupsi itu sudah ada dalam pikiran. Selanjutnya, dibuatlah regulasi berkaitan APBD.

“Guna menertibkan hal itu, masyarakat harus mengambil peran sebagai pemantau. Sehingga, masyarakat tidak bergantung pada lembaga penegakan hukum, meskipun eksekusi hanya dapat dilakukan lembaga penegak hukum tersebut,” katanya.

Penyelamatan lahan gambut

Dugaan Walhi Sumsel dan Auriga Nusantara yang menyatakan bahwa lahirnya sejumlah perusahaan HTI di Sumatera Selatan akibat adanya alat transaksi politik dinilai terlalu jauh.

“Penilaian itu terlalu jauh. Keberadaan perusahaan HTI seperti di Kabupaten OKI, justru menyelamatkan lahan gambut yang rusak akibat perambahan dan kebakaran hutan yang hebat pada 1997 dan 1998. Apalagi, keberadaan perusahaan tersebut suda ada sejak 2004,” kata Dr. Najib Asmani, staf khusus Gubernur Sumsel bidang lingkungan hidup dan perubahaan iklim.

Sementara, soal perluasan lahan HTI, Najib memandang terlalu spekulatif. “Setahu saya, lahan produksi di Kabupaten OKI sudah diusahakan. Tidak ada lagi lahan buat pengembangan area HTI,” ujarnya.

Meski demikian, Najib setuju jika semua pembangunan terkait SDA harus diperhatikan dan mengutamakan kepentingan lingkungan hidup. “Kita harus fokus. Keberadaan perusahaan tidak merusak hutan, upaya reklamasi dan konservasi tetap berjalan, rakyat mendapatkan akses terhadap lahan dan hutan, serta menyatukan pemerintah dan masyarakat guna melawan  perambahan dan pembakaran,” katanya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,