, , , ,

Eks PLG, Proyek Sejuta Hektar Sisakan Sejuta Masalah. Mengapa?

Tujuh September 2014. Matahari bersinar terik ketika saya tiba di Kelurahan Bereng Bengkel Kecamatan Kapuas, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, siang itu . Adi Candra, warga setempat, menunggu di Sungai Kahayan, bersama sampan kelotok. Dia mengantarkan saya mengelilingi eks  proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektar di kota ini.

Proyek ini muncul era Soeharto. Ia  digadang-gadang menjadi mercusuar swasembada beras. PLG melingkupi beberapa daerah, seperti di Kabupaten Barito Selatan, Sebanggau, Palangkaraya dan Pulang Pisau. Proyek yang tak memperhatikan aspek sosial dan lingkungan inipun gatot, alias gagal total. Kini, kerusakan lingkungan parah terjadi. Berbagai masalah muncul.

“Di lahan itu sering kebakaran. Apalagi musim kemarau seperti saat ini,” kata Adi.

Di kelurahan itu,  ada tim serbu api untuk tangani kebakaran lahan namun fasilitas sangat minim. Kala kebakaran di bekas PLG, warga tak bisa berbuat banyak.

Kelotok melaju membelah Sungai Kahayan. Sepanjang perjalanan tampak warga lalu lalang dengan kelotok. Rumah warga berjejer dengan tiang penyangga tinggi dari kayu. Kami melaju hingga sebuah persimpangan, tempat pertemuan antara sungai air berwarna hitam pekat dan cokelat.

“Itu bendungan. Sudah tidak berfungsi lagi,” kata Adi.

Bendungan itu menjadi saksi bisu kerusakan ekosistem gambut di Kalteng. Masih kokoh, meski tak berfungsi. Era pemerintah Soeharto, bendungan itu untuk menjaga ketersediaan air di PLG. Namun, tak berfungsi sama sekali.

Kelotok berbelok menyusuri kanal berair hitam pekat. Tampak sepanjang kanal lahan gambut mengering. Beberapa sempat terbakar beberapa hari lalu. Suasana sepi. Tak ada warga beraktivitas di sana. “Kalau air lagi surut ikan banyak. Kalau air naik, susah cari ikan.”

Dia membawa rengge. Rengge adalah jaring ikan. Warga biasa memasang perangkap ikan di kanal bekas PLG. Ada juga beberapa warga memanfaatkan lahan untuk bertani walau tak banyak. Ada yang ditanami karet dan pisang. Sebagian besar menjadi lahan tidur.

Alfian, warga Bereng Bengkel mengatakan,  banyak perubahan sejak ada PLG. Warga semula petani dengan kualitas bagus, kini berkurang. Perkebunan warga rusak parah dan sebagian besar berpindah mata pencaharian. Bahkan mencari kerja ke luar daerah.

“PLG membuat Sungai Saka tertutup. Gambut kering hingga sering kebarakan. Memang ada sebagian masyarakat memanfaatkan lahan bertani tetapi kualitas buruk. Karet ditanam getah tak keluar karena kulit tipis. Kualitas tanah dan air buruk karena mengandung asam terlalu tinggi.”

Menurut dia, dibanding manfaat, kerusakan yang terjadi jauh lebih besar. Bahkan, ada beberapa jenis tanaman hilang, antara lain rotan dahanen dan ahas. Kini, dua jenis rotan ini sulit ditemukan.

“Rotan berukuran besar. Dulu mudah dapat. Sekarang gak ada. Itu proyek sejuta lahan menghasilkan sejuta masalah. Proyek itu menyebabkan kekeringan, kebakaran dan kemiskinan,” kata Alfian.

Bendungan di lahan eks PLG, yang tak berfungsi. Foto: Indra Nugraha
Bendungan di lahan eks PLG, yang tak berfungsi. Foto: Indra Nugraha

Arie Rompas, direktur eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, pemerintah perlu merehabilitasi eks PLG. Namun pendekatan harus menyertakan kearifan lokal masyarakat.

“Dulu pernah ada inpres rehabilitasi lahan eks PLG. Tidak berhasil. Karena inpres itu tidak mengajak masyarakat terlibat aktif.”

Selama ini,  upaya pemerintah merehebilitasi lahan gambut eks PLG selalu base on protection area. Banyak proyek merehabilitasi lahan, tetapi masyarakat tak pernah dilibatkan. Padahal, katanya,  di lahan itu ada ruang kelola masyarakat hingga seringkali menimbulkan konflik baru. Masyarakat sekitar seolah tersingkir dari ruang kelola.

“Sekarang ada pembahasan soal RPP Gambut. Ini menjadi buah simalakama. Gambut dilindungi sedemikian rupa dan seolah menyingkirkan masyarakat. Padahal masyarakat tak bisa disingkirkan begitu saja. Mereka harus dilibatkan partisipatif dalam mengelola lahan gambut.”

Sejak 2004, katanya,  sudah banyak konsesi perkebunan sawit masuk di eks PLG. “Ini menjadi ancaman serius masyarakat di sekitar kawasan.  Bencana ekologis sudah di depan mata.”

Kussaritano, direktur eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng mengatakan, lahan eks PLG seharusnya ditata ulang dan peruntukan diperjelas peruntukannya, libatkan masyarakat secara holistik. Namun fakta di lapangan menunjukan, pemerintah daerah justru memberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit di bekas lahan PLG.

Dia mengatakan, masterplan rehabilitasi eks PLG sebenarnya sudah berbicara soal tata ruang dan ruang kelola masyarakat. Namun, malah diacak-acak pemerintah daerah dengan menerbitkan izin perkebunan sawit.

Dia mencontohkan, di Kabupaten Kapuas. Daerah ini ditetapkan sebagai lumbung padi Kalteng. Justru bupati banyak memberikan izin konsesi sawit di eks PLG.

“Fakta di lapangan, areal itu diterbitkan arahan lokasi untuk perkebunan sawit. Bahkan  ada tumpang tindih sama Kota Terpadu Mandiri Lamunti.”

Bupati Kapuas Ben Brahim menerbitkan dua izin lokasi pada  PT. Borneo Alam Nusantara dan PT. Surya Mandala Sentosa  di Kecamatan Timpah dan Kapuas Tengah. Juga mengeluarkan arahan enam lokasi pada  PT. Surya Mandala Satria dan PT. Surya Kapuas Mandiri di Kecamatan Kapuas Hulu dan  Mandau Talawang. Juga PT. Duta Agro Indonesia di Kecamatan Mantangai dan Kapuas Murung, PT. Pesona Alam Indah di Kecamatan Dadahup dan Kapuas Murung, serta PT. Kapuas Sawit Sejahtera  di Kecamatan Kapuas Barat.

“Bahkan PT. Pesona Alam Indah arahan lokasi kebun baru diberikan bupati, di lapangan mereka telah beroperasi. Izin kebun belum lengkap dan daerah itu pencadangan lahan pertanian,” kata Itan, begitu dia biasa dipanggil.

Arahan lokasi PT. Duta Agro Indonesia berada di UPT Trans PLG Blok A5 dan ada percontohan pencetakan sawah tetapi dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Lahan itu juga  tumpang tindih dengan pemukiman di Kecamatan Dadahup.

“Selain perizinan tumpang tindih, paling krusial terjadi alihfungsi lahan dari pertanian berkelanjutan untuk lumbung padi menjadi perkebunan sawit.”

Menurut dia, banyak peraturan dilanggar Bupati Kapuas, seperti UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU Tata Ruang,  Perda RTRWP Kapuas, dan Master Plan Rehabilitasi Eks PLG. Juga SK Bupati Kapuas No 800 tahun 2008  dan  Perda Kota Terpadu Mandiri Lamunti. “Saya mendesak KPK turun mengusut aktor di balik semua masalah ini.”

Adi Chandra membawa jaring dan mencoba menangkap ikan. Foto: Indra Nugraha
Adi Chandra membawa jaring dan mencoba menangkap ikan. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,