Anyun-Singkul, Ujian Keberpihakan Penegak Hukum Kepada Rakyat

Anyun dan Yohanes Singkul, dua warga Desa Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) menghadapi sidang putusan atas kasus penganiayaan terhadap aparat Brimob Polda Kalbar di Pengadilan Negeri Pontianak pada Rabu (10/09/2014).

Ayun dan Singkul ditangkap aparat Brimob Polda Kalbar pada Senin (05/05/2014) setelah bentrok karena mempertahankan lahan warga dari perusahaan sawit PT Swadaya Mukti Perkasa (PT SMP). (berita penangkapan dapat dibaca pada link ini).

Pada sidang  hari Senin 1 September 2014 lalu, jaksa penuntut umum menuntut Anyun dan Singkul dengan dakwaan pelanggaran pasal 351 KUHP dan pasal 2 UU Darurat Nomor 12 tahun 1951. Sedangkan pledoi dari Gerakan Bantuan Hukum Rakyat Kalimantan, disampaikan pada Senin 8 September 2014 kemarin.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya mengatakan kasus tersebut menjadi ujian serius atas keadilan penegakan hukum.  “Hukum itu, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” kata Anton.

Dia mengatakan aparat kepolisian yang seharusnya bertindak sebagai pengayom, pelindung dan pelayang masyarakat, malah berseteru dengan rakyat, dengan latar belakang masalah konflik perusahaan dan masyarakat.

Anton berharap para hakim mengedepankan rasa keadilan dan mempertimbangkan aspek sosial dan kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang di dalam komunitas masyarakat di Kalbar, terutama masyarakat adat Dayak dalam memutuskan kasus ini. Hakim d dituntut memahami berbagai bentuk konflik sumber daya alam yang melibatkan masyarakat dengan korporasi.  Para hakim juga harus dapat memposisikan perjuangan masyarakat dalam mempertahankan hak atas tanah warisan leluhur dan nenek moyang mereka  sebagai pertimbangan utama keputusan.

Anyun dan Singkul, lanjutnya, merupakan korban atas alpanya niat baik perusahaan mengakomodir hak-hak masyarakat yang selama ini mereka perjuangkan. “Karenanya, demi keadilan dan kemanusiaan, kami menyerukan agar Anyun dan Yohanes Singkul dibebaskan,” tambah Anton.

Sedangkan Agus Sutomo, Direktur Link-AR Borneo, menambahkan, dalam kasus ini, motif kriminalisasi terlihat sejak awal. Terlebih dengan adanya keterlibatan pihak perusahaan. Penangkapan warga dengan tuduhan penganiayaan karena salah satu dari anggota Brimob yang juga ketua regu terlempar benda keras saat aksi damai warga hanyalah dampak, bukan persoalan dasar.

“Demikian pula tuduhan karena membawa senjata tajam pada saat kejadian bentrok antar warga dengan anggota kepolisian sebagaimana yang dialami Yohanes Singkul,” katanya.

Pada dasarnya, kata Tomo, baik anggota Brimob maupun warga, sama-sama menjadi pihak korban. “Karena sebagaimana diketahui, salah seorang warga yang juga kepala desa Batu Daya pada saat kejadian, disekap dan dipukuli pihak satpam perusahaan dan anggota Brimob hingga babak belur dan bahkan pingsan dengan luka di bagian kepala,” tambahnya.

Tomo menekankan, dirinya masih percaya para hakim bisa mengedepankan rasa kemanusiaan dan berkaca pada fakta-fakta di persidangan dalam kasus Anyun dan Singkul ini.

Penanggung jawab Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak, Bruder Stephanus Paiman juga punya pengharapan yang sama. “Saya harap majelis hakim harus bijak dalam memutus perkara ini. Mereka harus melihat sisi budaya masyarakat setempat, misalnya soal sajam di kampung atau daerah pedalaman, tidak bisa langsung memasukannya dalam UU darurat,” tegasnya.

Bruder Stephanus juga menyampaikan harus dihadirkan juga ahli budaya atau daerah setempat. “Misalnya untuk kampung saya di Benua Bantanan, orang kampung biasa membawa parang atau senapang lantak atau bomen untuk pergi ke ladang, karena parang digunakan untuk memotong kayu dan senapan untuk mengusir hama seperti seperti babi hutan dan monyet. Begitu juga di daerah pedalaman lain di Kalbar seperti Kapuas Hulu, Ketapang dan sebagainya. Oleh karna itu sekali lagi saya ingatkan bahwa untuk lebih netralnya putusan, majelis harus melibatkan pakar budaya setempat,” paparnya.

Kasus ini berawal dari penangkapan paksa disertai tindak kekerasan yang dilakukan anggota Brimob Polda Kalimantan Barat terhadap lima warga Batu Daya pada 5 Mei 2014 lalu. Bentrok tersebut merupakan puncak dari kejadian sebelumnya. Warga melawa aparat terlibat baku pukul saat warga mendatangi kamp PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources pada 26 Oktober 2013 silam. Warga mendatangi perusahaan, untuk menagih haknya.

Ayun dan Singkul. dua warga kampung Keranji yang dipersalahkan telah melakukan tindak penganiayaan dan membawa senjata tajam dipaksa harus berurusan dengan proses pengadilan sejak 2 Juli 2014 lalu. Pada sisi lain, saat kejadian penangkapan paksa, kaum ibu dan anak-anak yang menyaksikan langsung proses penangkapan mengalami trauma, ketakutan. Sementara ketika dua warga ditahan sejak 6 Mei 2014 hingga saat ini, keluarga korban secara otomatis terpisah dari orang yang menjadi tulang punggung mereka.

Tomo menyatakan, sesungguhnya akar persoalan sebenarnya adalah tidak adanya niat baik untuk pemenuhan hak masyarakat. Janji-janji pihak perusahaan yang tak kunjung dipenuhi menyebabkan warga Batu Daya untuk kesekian kalinya kembali mendatangi kamp perusahaan pada 26 Oktober 2013 silam. Aparat di tempat itu berupaya menghalangi masyarakat menemui pihak perusahaan, karena bertugas sebagai pengamanan perusahaan. Akibatnya, bentrok tidak dapat dihindari.

Dalam persidangan, Sahrudin, oknum anggota Brimob yang menjadi korban pelemparan yang mengatakan tidak mengetahui adanya tembakan peringatan pada sidang 6 Agustus 2014. Pernyataan Sahrudin, bertentangan dengan bukti video kejadian yang diambil di lapangan. Lebih tidak masuk akal lagi bila benda keras yang mengenainya berdasarkan keterangan saksi pihak pelapor hanyalah serpihan dari bongkahan besar semata.

Bila melihat kontruksi kehadiran anggota Brimob hingga terjadi bentrok antar warga dari kesaksian pihak pelapor yakni anggota Brimob dan perwakilan pihak perusahaan beberapa waktu lalu, maka jelas ada unsur konspirasi untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,