, , ,

Inkuiri Nasional Sumatera: dari Kasus Pandumaan-Sipituhuta hingga Talang Mamak

Usai di Sulawesi, Komnas HAM melanjutkan Inkuiri Nasional hak masyarakat adat ke region Sumatera. Ia dipusatkan di Kantor Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara,  pada 10-11 September 2014. 

Dalam inkuiri kali ini, Komnas HAM, melakukan ‘sidang terbuka’ enam kasus konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah dan pengusaha.  Inkuiri  pertama, konflik masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dengan  PT Toba Pulp Lestari (TPL), di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut.

Lalu kasus masyarakat adat Suku Semende Dusun Lame Banding Agung, Bengkulu, yang berkonflik dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Lalu, sengketa  antara PT AP dengan masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 113, Desa Bungku, Jambi, dan terkucilnya suku adat Talang Mamak, Riau. Terakhi,r konflik tenurial, dan pengusiran masyarakat adat Marga Belimbing, Dusun Pengekahan Pekon Way Haru, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.

Saurlin Siagian, tutor Inkuiri Nasional region Sumatera mengatakan, keenam kasus ini dianggap paling mencuat dalam lima tahun terakhir. Kasus-kasus ini juga mempunyai peluang tanah adat kembali ke masyarakat adat. Sebab, masih ada komunitas adat dengan ha tercederai.

“Terdapat beberapa kasus sebenarnya layak, karena keterbatasan sumberdaya dan ketidakmampuan menjangkau wilayah jadi kami harus hapus, seperti kasus Pepulauan Mentawai, ” katanya di Medan, Rabu (10/9/14).

Saurli mengomentari kasus Pandumaan-Sipituhuta. Menurut dia, kasus ini  mencerminkan bagaimana hak-hak masyarakat adat diabaikan negara.  Sistem pengaturan hutan oleh masyarakat adat yang berlangsung ratusan tahun,  tetapi tidak masuk kamus negara dan pengusaha.

Penanda hutan versi masyarakat adat diabaikan, status hutan negara menjadi alas bagi Kementerian Kehutanan membuat sistem kepengaturan baru. Lalu, wilayah diserahkan kepada pengusaha melalu izin. Padahal wilayah itu, sejak ratusan tahun didiami, masyarakat adat hidup damai berdampingan dengan hutan.

Penanda adat bahwa wilayah hutan dan tanah masuk ulayat lewat berbagai jenis tumbuhan seperti rotan, jalan setapak, tumpukan bukit, dan sungai. Penanda turun-menurun ini, ternyata tidak diakui negara hanya karena tidak punya “surat” versi negara.

Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13). Foto: AMAN Bengkulu

Benturan klaim antara pengusaha plus negara versus masyarakat adat inilah, katanya, menimbulkan pelanggaran HAM, penangkapan warga, kekerasan, penggeledahan rumah, hingga sumber penghidupan warga hilang.

“Itulah mengapa kasus Pandumaan-Sipituhuta diangkat, melibatkan berbagai pihak, termaksud perusahaan yang berkonflik, dan pemerintah yang memegang kebijakan.”

Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumut, Harun Nuh, model inkuiri ini diharapkan bisa diterapkan lebih luas di Indonesia. Dengan duduk bersama antara masyarakat adat dengan perusahaan  dan pemerintah serta pihak-pihak lain.

Dia berharap, pemerintah mengakui masyarakat adat dan lebih menghargai soal hukum mereka serta tak mengggunakan cara-cara kekerasan buat membungkam perjuangan memperolek hak.

Berdasarkan cacatan AMAN Sumut tertinggi konflik antara masyarakat adat dengan pemodal yang menggunakan jasa preman dan oknum aparat, seperti di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang dan Porsea, serta konflik masyarakat adat Batak di Pematang Siantar. Ada juga, masyarakat Simalungun dengan TPL dan sejumlah perusahaan lain. Disusul Mandailing Natal, dimana masyarakat adat menolak hutan mereka dirambah tambang Sorikmas Maining.

“Ada lebih 50 kasus antara masyarakat adat dengan pemodal dan pemerintah. Ada lebih 100 kasus perebutan lahan adat. Ini sudah disampaikan kepada tim Komnas HAM.”

Dia menegaskan, banyak pelanggaran HAM menimpa masyarakat adat di sini, antara lain,  intimidasi menggunakan polisi  dan oknum penegak hukum lain. Lalu, menggunakan jasa preman untuk membakar rumah, dan tanaman dirusak. Jika kompromi dan damai, masyarakat adat kembali ke lahan, dan pemodal terus beraksi.

Sedangkan Suryati Simanjuntak, dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), juga pendamping warga mengatakan, sudah lima tahun warga Pandumaan-Sipituhuta berjuang mempertahankan Tombak Haminjon.

Dia menyatakan, pemilik modal selalu menggunakan berbagai pendekatan dan strategi dalam melemahkan perjuangan masyarakat. Penggunaan aparat keamanan, menjadi salah satu strategi menakut-nakuti, mengintimidasi, dan melemahkan perjuangan. Juga elit-elit tertentu, misal, menggunakan isu putra daerah untuk mendekati warga. Lalu, menjadikan pengusaha lokal sebagai kontraktor, mengangkat tokoh masyarakat menjadi humas. , mendekati tokoh agama dengan memberikan sumbangan untuk pembangunan rumah-rumah ibadah.

“Masyarakat adat harus tetap kritis dan curiga terhadap pihak-pihak yang tiba-tiba muncul ke desa, terlebih menawarkan berbagai bantuan dan janji-janji, ” katanya.

Dia juga menyimpulkan, pemilik modal selalu berlindung di balik izin. Pada kasus-kasus perampasan, biasa perempuan paling rentan menjadi korban kekerasan aparat sampai beban ekonomi.

Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. Foto: Feri Irawan
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,