, ,

Soal PLTU Batang, Preman Intimidasi Warga dan Aktivis Greenpeace

Aksi penolakan warga Batang ke negara sakura mendapat respon positif dari parlemen Jepang. Parlemen mendesak pemerintah Jepang menghentikan investasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM ini.

Intimidasi dan teror di desa-desa yang bakal terkena megaproyek PLTU Batang, Jawa Tengah, kembali marak. Diduga ini buntut financial closing proyek yang jatuh pada 6 Oktober 2014, tetapi masih terganjal pembebasan lahan. Warga pun melaporkan intimidasi dan ancaman ini ke Komnas HAM pada Jumat (12/9/14).

Teror, dan ancaman dialami warga dan aktivis Greenpeace yang berkunjung ke Batang, yakni Untung, warga Karanggeneng dan Didit Haryo, koordinator akar rumput Greenpeace.

Untung, menceritakan, pada Rabu (10/9/14), rombongan Greenpeace datang. Dia mengantar mereka dari Ponowareng ke Karanggeneng, sekitar pukul 14.00. “Waktu bersama Greenpeace di jalan, sampai di Ponowareng, saya dicegat sama tiga orang.”

Mereka menarik baju Untung sambil mengancam. “Lu ngapain bawa Greenpeace ke kampung kami. Mau mati lu?” Kalo sampe gue ketemu lo lagi, mati lo! Untung tak berkutik. “Badannya gede-gede.

Rombongan preman ini membawa dua mobil dan beberapa motor. Ada sekitar empat orang. Beruntung ada warga lewat dan menyatakan kalau Untung warga asli Ponowareng, lalu dilepas.

Setelah kejadian ini Untung tambah khawatir. “Kasian orangtua, karena masih dalam ancaman mereka,” kata pemuda berusia 25 tahun ini. Dia sehari-hari membantu orang tua menanam padi.

Didit juga menceritakan, intimidasi yang dialami. Kala itu, Greenpeace berniat mengujungi, warga yang dikriminalisasi di penjara di Batang, salah satu Cahyadi. Namun, mereka kesiangan karena jam besuk sampai pukul 12.00. Lalu, mereka berinisiatif mengunjungi istri warga yang suami ditahan. “Ingin kasih support agar mereka tetap semangat,” katanya.

Ditemani Untung dia berkunjung ke rumah Cahyadi. Tak sampai 30 menit di rumah itu mereka pamitan. Namun, sudah dicegat di depan pintu rumah Cahyadi oleh dua orang. Mobil Greenpeace dihadang mobil mereka. “Ada beberapa preman di atas mortor yang nunggu. Ketika keluar mereka ajak ketemuan.”

Didit melihat kondisi tak kondusif. Dia bilang ke para pria itu kalau ingin berbicara di Semarang atau Jakarta.

“Kami masuk ke mobil. Lalu keluar kampung, diikuti sama mereka, tak lama masih di Desa Karanggeneng, mobil dipalangi motor. Preman mulai turun. Driver buka jendela malah dipukul. Ngelak. Gak kena. Mereka yang di mobil turun dan seakan melerai, langsung masuk mobil Greenpeace.”

Mereka mengajak bertemu ke restoran. Akhirnya, bertemu di restoran Arwana II. Awalnya, dua orang, lalu mulai datang preman-preman yang lain.

Mereka mempertanyakan alasan Greenpeace menolak PLTU. Menurut mereka, seharusnya Greenpeace berbicara mengenai kesejahteraan warga. “Harusnya, Greenpeace bantu naikkan tanah warga,” begitu Didit menirukan ungkapan salah satu dari mereka.

Sikap mereka aneh-aneh. “Dua orang ada yang ngaku awalnya dari rumah transisi Ganjar (Gubernur Jateng), lalu berubah ke rumah transisi Jokowi. Sejak kapan Ganjar punya rumah transisi. Ngaku kenal orang Komnas HAM.”

Didit menduga, motivasi mereka bagaimana warga-warga di sana mau menjual lahan, dengan harapan bisa mendapatkan uang tambahan lebih banyak. Dari pembicaraan itu terungkap, seakan ada janji jika pembebasan lahan selesai alias semua lahan menjual lahan, tanah akan dihitung dengan harga terbaru.“Jadi warga yang dijual lahan lama, mau minta harga tinggi. Warga diiming-imingi kalo semua jual lahan, harga semua jadi harga terbaru, sekarang Rp400.000 per meter. Awal Rp30.000 per meter.”

Hampir dua jam berbicara dengan mereka lalu para aktivis Greenpeace boleh pergi dengan ancaman.  “Jangan sekali-sekali lagi kalian masuk kampung. Kalo kalian masuk kampung hukum jalan yang akan berlaku.” Mereka diikuti terus sampai Alas Roban.

Didit menilai, ada upaya menciptakan konflik horizontal, adu domba antar warga. “Sepanjang obrolan itu, selalu munculkan nama-nama warga, yang sekarang menjadi pemimpin perlawanan, seolah-olah mereka itu cari keuntungan. Adu domba warga.”

Intimidasi juga dialami Sarmujo, pemilik kebun melati seluas 1,350 hektar di Desa Karanggeneng. Dia salah satu petani yang tak mau menjual tanah.

Setiap hari pria empat anak ini panen bunga sekitar 60 kg. “Per kg Rp30.000, buat ongkos metik Rp5.000 buat 20 orang. Setelah itu bersih buat saya,” katanya.

Pada Oktober, November, Januari dan Februari harga melati lebih mahal. Karena pada bulan-bulan itu, dia sudah punya pasar tetap ke Singapura. “Kalau bulan biasa per kg Rp30.000. Nah, yang ke Singapura itu harga berkisar Rp100.000 sampai Rp200.000 per kg.”

Sarmujo nyaman dan hidup cukup dari berkebun melati. Dari kebun inilah dia hidup sehari-hari sampai menyekolahkan anak-anak.

Namun, kegembiraan hidup Sarmujo terusik kala rencana pembangunan PLTU Batang, masuk ke kampung mereka.

Sejak 2012, dia mulai didatangi polisi maupun tentara. Para aparat ini ikut membujuk Sarmujo agar menjual lahan.

“Saya bilang, tanah itu ditinggalkan dari nenek moyang. Ini buat kerjaan sehari-hari, buat makan dan sekolahkan anak. Saya tak mau menjual.” Mereka terus datang, kadang seminggu dua kali. Kadang datang berdua, berempat, atau berenam.

Sampai-sampai, dia tak lagi menggunakan telepon seluler karena kerap diintimidasi agar menjual tanah.

Pengaturan Kawasan Pantai Ujungnegoro dan Roban. Dokumen: Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah

Namun, ketenangan Sarmujo tak bertahan lama, pekan lalu intimidasi kembali datang. Beberapa orang mulai hilir mudik meminta agar dia mau menjual tanah. “Polisi dan tentara datang kini sudah setop sejak Ganjar Pranowo naik (Gubernur Jawa Tengah). Saya sudah tenang, sekarang datang lagi, khawatir lagi. Bedanya, kalau dulu polisi dan tentara, sekarang warga.”

Mereka mendesak, Sarmujo mau menjual tanah terlebih saat ini harga tinggi. “Pak, tanah harus dijual. Dulu Rp100.000, sekarang Rp400.000 per meter. Saya bilang, dulu tak dijual. Sekarangpun tidak.”

Mereka lalu pergi. “Nanti datang lagi, ganti orang lagi. Kadang datang satu atau dua orang,” katanya.

Wahyu Nandang Herawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, perkembangan terakhir, intimidasi dan teror masih terus berlanjut.

Pada Jumat (12/9/14), YLBHI, dan perwakilan warga melaporkan lagi kasus intimidasi yang dialami warga dan aktivis Greenpeace.

“Karena intimidasi dilakukan militer dan preman. Seperti Untung diancam akan dibunuh karena mengawal kawan-kawan Greenpeace,” katanya.

Desak tolak PLTU Batang hingga ke Jepang

Taryun dan Roidi, dua warga Batang, pada 7-10 September 2014, ke Jepang untuk menyuarakan penolakan PTLU Batang. Bersama Greenpece, YLBHI dan organisasi lingkungan di Jepang, mereka menemui perlemen Jepang, pemerintah Jepang, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan perusahaan. Sayangnya, perusahaan, tak mau menemui.

Mizuho Fukushima, anggota parlemen Jepang, mantan Menteri Negara Urusan Konsumen dan Keamanan Pangan, Sosial, dan Kesetaraan Gender,  mendukung gerakan dua warga Batang di Jepang yang menyampaikan penolakan dan menuntut pembatalan mega proyek PLTU US$4 miliar oleh konsorsium Jepang.

Arif Fiyanto, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia,  mengatakan, dalam pertemuan itu Mizuho mendesak perwakilan dari Kementerian Keuangan dan JBIC menemui perwakilan warga Batang.

Mizuho menegaskan, kepada JBIC dan Kementerian Keuangan, Jepang harus mengacu prinsip-prinsip hak azazi manusia [HAM] dan lingkungan dalam investasi. Dia meminta investasi dihentikan karena tak ada investasi batubara bersih lingkungan dan demi menjaga hubungan baik kedua negara.

Hirofumi Oishi, Director Press and External Affairs Division JBIC, dan Kazunori Ogawa, Deputy Director Power and Water Finance Department JBIC, akan mempertimbangan suara masyarakat, Pemerintah Indonesia, dan perusahaan, sebelum memutuskan meneruskan atau membatalkan PLTU itu.

Sebelumnya,  Naoto Sakaguchi, Direktur Jenderal Departemen Internasional Partai Restorasi, juga terkejut mengetahui yang terjadi di Batang. Dia berjanji,  memanggil JBIC, dan Menteri Luar Negeri. “Ini tak hanya merugikan rakyat Indonesia, tetapi akan merusak citra Jepang di mata internasional,” kata Arif, mengutip ucapan Sakaguchi.

Organisasi lingkungan di Jepang, seperti Friends of the Earth (FoE), Greenpeace Jepang, dan banyak lagi, mendukung aksi mereka. FoE akan melanjutkan desakan kepada pemerintah dan parlemen untuk membatalkan pembangunan PLTU Batang.

Roidi, warga Batang,  yang aksi ke Jepang mengatakan, kampanye di Jepang,  sangat penting karena investasi PLTU Batang,  disokong investor dan pemerintah Jepang serta didanai JBIC. “Ke Jepang salah satu perjuangan untuk suarakan aspirasi penolakan PLTU Batang.”

Di sana, investor tak mau menemui. “Namun kami lewat DPR Jepang diketemukan dengan JBIC dan perwakilan menteri keuangan. Kami minta JBIC jangan turunkan dana untuk PLTU Batang.”

Jika PLTU Batang terealisasi, katanya, akan menyengsarakan petani, nelayan dan warga sekitar. “Kami sudah survei ke Cilacap, Jepara, bahwa PLTU batubara sangat merugikan warga. Debu batubara sangat ganggu kesehatan warga sekitar.”

Belum lagi, kata Roidi,  lahan-lahan pertanian produktif dan laut yang kaya ikan terancam dengan PLTU. “Jadi sebelum petani dan nelayan terganggu, dari awal kami tolak. Agar warga sekitar batang tak alami nasib sama seperti di PLTU lain yang sudah dibangun.”

Senada dengan Taryun. “Jangan sampai ada investasi yang merusak pertanian.”

Peta Struktur Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah. Nelayan khawatir kehadiran PLTU Batang akan merusak kawasan konservasi laut dan mengancam sumber perikanan mereka. Dokumen: LBH Semarang
Taryun dan Roidi, dua warga Batang kala aksi di depan kantor JBIC di Jepang. Foto: YLBHI
Taryun dan Roidi, dua warga Batang kala aksi di depan kantor JBIC di Jepang. Foto: YLBHI
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,