,

Kepala UKP4 : Ketidakpastian Batas Wilayah Sebabkan Konflik Sumber Daya Alam

Saat ini banyak konflik lahan terjadi di kawasan hutan yang wilayahnya mencapai 64 persen dari luas daratan Indonesia. Konflik lahan tersebut terkait sektor pertambangan, perkebunan bahkan pertanianan.

Tumpang tindih perizinan, perizinan yang tidak tepat lokasi, penyerobotan lahan dalam kawasan hutan, sampai dengan kesulitan penerapan berbagai usaha dan kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut adalah beberapa masalah yang timbul akibat batas kawasan hutan dan batas wilayah administrasi yang belum jelas atau belum ditetapkan secara hukum.

“Ketidakpastian batas wilayah akhirnya mengakibatkan inefisiensi alokasi anggaran yang didasarkan atas luasan wilayah. Belum lagi munculnya kawasan kantong wilayah tidak bertuan yang menjadi ajang spekulasi sebagian masyarakat kita maupun negara tetangga,” kata Kepala UKP4, Kuntoro Mangkusubroto dalam sambutan Rapat Pembekalan Instrumen Tata Kelola Keuangan Serta Inisiatif Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan Menuju Pembangunan Berkelanjutan dan Berkeadilan yang diselenggarakan pada Senin (15/04/2014) di Jakarta.

Dia mengatakan ketidakpastian batas wilayah menyulitkan percepatan penerbitan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang merupakan instrumen kunci dalam pengendalian pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

Setelah berlakunya otonomi daerah dari tahun 1999 sampai 2013, telah terbentuk 8 propinsi, 175 kabupaten dan 34 kota yang baru. Namun sejak 1999 hingga 2007, peta lampiran Undang-undang pemerintah Daerah (UU PD) belum memenuhi kaidah kartografi (pemetaan) yang mencakup skala peta dan sistem koordinat serta titik-titik koordinat batas wilayah. Ketidakpastian batas wilayah mengakibatkan ketidakpastian berusaha.

Oleh karena itu perlu dilakukan percepatan penetapan batas wilayah administrasi. Kuntoro mengatakan percepatan penyelesaian tata batas dan penetapan kawasan hutan diharapkan selesai pada Desember 2014.  Sampai akhir Agustus 2014, sekitar 83,3 juta hektar atau 68 persen dari 122 juta hektar telah ditetapkan tata batas dan penetapan kawasan hutan. Bila penetapan kawasan hutan dan tata batas tidak selesai sampai Desember 2014, maka sekitar 39 juta hektar atau 32 persen dijadwalkan bisa ditetapkan pada 2015.

Dalam lingkup Pemerintah Daerah, hasil evaluasi TEPPA (Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran) juga menguatkan pendapat bahwa kejelasan batas wilayah menjadi salah satu potensi yang dapat mendorong pendapatan suatu daerah. Dengan kejelasan batas wilayah, suatu daerah otonom dapat memenuhi salah satu unsur kepastian berusaha sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan segenap sumberdaya dan potensi usaha yang ada di dalam batas-batas wilayahnya.

TEPPA merupakan tim yang dibentuk oleh Presiden pada Desember 2011 saat penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2012 di Istana Negara Jakarta, untuk mengatasi kecenderungan realisasi belanja 86 Kementerian dan Lembaga (K/L) serta pemerintah daerah yang terus menurun sejak tahun 2009.  TEPPA diketuai Kepala UKP4 dengan wakil ketua Wakil Menteri Keuangan dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Kuntoro mengatakan Kejelasan batas wilayah menjadi salah satu potensi pendorong pendapatan suatu daerah. Dengan kejelasan batas wilayah suatu daerah otonomi dapat memenuhi salah satu unsur kepastian berusaha sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan segenap sumber daya dan potensi usaha yang ada di dalam batas-batas wilayah.

Pengakuan dan Pembuktian Hak Pihak Ketiga (PPH)

Dalam pembukaan rapat tersebut, Wakil Presiden Boediono mengingatkan para pimpinan daerah dan kota bahwa masalah penyerapan anggaran tidak hanya teknis, tapi ada masalah sosial dan politik sehingga ada ketidakcocokan antara apa yang disampaikan di atas kertas dan apa yang terealisasi di lapangan.

“Kita perlu inisiatif konkrit yang dapat diterapkan di lapangan, misalnya seperti inisiatif usulan mekanisme PPH,” kata Wapres mengacu pada usulan percepatan penetapan tata batas kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.

Sedangkan dari kajian dan rekomendasi kebijakan yang dikeluarkan KPK, ditemukan 17 celah dalam sektor kehutanan yang rawan korupsi,beberapa diantaranya  berkaitan erat dengan kawasan hutan yang belum definitif.

Kawasan  hutan yang belum ditetapkan membuka peluang maraknya korupsi dan konflik di  lapangan. Pelaksanaan tata batas kawasan hutan sampai tahun 2009 telah mencapai 219.206 km (77,64%), namun baru menghasilkan penetapan kawasan hutan 11,29% dari total kawasan hutan Indonesia 122.40 4.872,67 ha.

Melalui  Nota Kesepakatan Bersama (NKB) antara 12 Kementerian dan Lembaga tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan, antar instansi pemerintah didorong untuk secara  kolaboratif menyelesaikan isu pengukuhan kawasan hutan secepatnya. NKB diikuti dengan penyusunan rencana aksi yang dikoordinir dan dimonitor bersama oleh KPK dan UKP4 dan berjalan selama 3 (tiga) tahun, hingga 2016.

Disadari bahwa rencana aksi tersebut perlu didukung dengan pendekatan yang bersifat pembaruan jika kita ingin memiliki kawasan hutan yang telah dikukuhkan dalam periode yang jauh lebih singkat.

Mengatasi tingginya laju deforestasi dan banyaknya konflik tenurial, waktu menjadi faktor penting dalam mekanisme pengakuan dan pembuktian pihak ketiga (PHH), dimungkinkan untuk mengakui haknya dengan batasan waktu, sehingga para pihak fokus dalam menuntaskan permasalahan konflik tenurial yang menghambat penetapan batas secara definitif.

PPH akan dilaksanakan berdasarkan peraturan yang ada dengan mengikuti alur pengukuhan UU No.14/1999 beserta turunannya. Pengukuhan kawasan hutan dilaksanakan dengan tahapan penunjukkan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.

Rapat pembekalan yang digelar UKP4 selama dua hari tersebut diikuti oleh kepala-kepala daerah seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia, serta jajaran eselon satu kementerian dan lembaga pemerintah.

Dalam pertemuan ini peserta mendapatkan pembekalan dari Kepala UKP4 dan Wakil Ketua KPK mengenai berbagai perspektif tata kelola pemerintahan bidang tata kelola keuangan dan serta inisiatif perbaikan tata kelola hutan dan lahan menuju pembangunan yang berkelanjutan.

Selain pembekalan, para pimpinan daerah dan kota seluruh Indonesia juga akan mendapatkan paparan mengenai kaitan antara tata kelola keuangan dan tata kelola hutan dan lahan dari Lemhanas, Badan Informasi Geospasial, Kemendagri, KPK dan BP REDD+.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,