,

Dahas, Inilah Bank Hutan untuk Menjaga Sumber Air Kehidupan

Hanya sepelangkahan orang dewasa, ruas jalan itu cukup dilintasi satu sepeda motor. Di sisi kiri dan kanan, pohon-pohon besar tumbuh subur. Daunnya rindang saling bersentuhan, bak dua insan saling berjabat tangan. Dedaunan itu kemudian membentuk kanopi di sepanjang lorong setapak.

Sip, kita sudah sampai,” kata Darmadi (44) sambil menghentikan laju sepeda motornya. Darmadi adalah warga Desa Petebang Jaya, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dia seorang fasilitator dari Yayasan Dian Tama Pontianak. Siang itu dia bersama Benifasius, Kepala Desa Petebang Jaya.

Perjalanan sepanjang lima kilometer dengan sepeda motor dari perkampungan hingga menyusuri jalan setapak itu pun berakhir. Di depan, terdapat aliran sungai kecil. Namanya Sungai Setulak’an. Tak jauh dari bantaran sungai, berdiri kokoh sebuah pondok kecil. Material bangunannya serba kayu kelas atas. Rata-rata belian (ulin). Kayu keras ini masih banyak dijumpai di hutan sekitar desa.

Amid, si empunya pondok sedang mengerjakan sesuatu. Di genggaman pria 50 tahun ini, sebilah parang mengayun dalam irama yang konstan. Tok, tok, tok, mata baja itu menancap sasaran. Hanya beberapa saat, kayu yang menjadi objek garapan Amid sudah membentuk sebuah alat. Orang setempat menyebutnya tugal, salah satu alat yang digunakan petani untuk menanam padi di ladang.

Amid, asli Dayak. Belasan tahun yang lalu dia memutuskan menetap di hutan yang dikelolanya secara mandiri. Hutan itu lebih dikenal dengan sebutan dahas.

Istrinya, Siukir (48) juga ikut serta menetap di pondok, sambil membantu menyiapkan segala kebutuhan hidup. Hanya sesekali Amid pulang ke kampung untuk berbelanja kebutuhan hidup rumah tangga yang tidak tersedia di dahas. Keputusan meninggalkan kampung halaman dia tempuh mengingat dahas baginya adalah nafas hidup keluarga.

“Awalnya, tempat ini kami manfaatkan sebagai ladang. Ketika masa panen selesai, kita pindah dan membuka lahan baru. Bekas ladang yang sudah ditinggalkan kami tanami kembali dengan pohon buah, karet, dan jenis pohon berkualitas baik seperti belian dan meranti. Beginilah hasilnya. Hutan tetap tertutup,” katanya menjelaskan asal-usul dahas.

Ayah tiga anak ini mengatakan, jika bekas ladang tidak ditanami pohon buah atau jenis pohon dengan kayu berkualitas baik, maka hutan akan mengalami kerusakan parah. Pasalnya, mayoritas warga di Desa Petebang Jaya hidup dari ladang. Sedangkan mereka masih menerapkan pola pertanian gilir balik. Meski tak pernah mengecap dunia pendidikan formal, Amid fasih  menjelaskan keterkaitan antara gen dan biosfer.

Desa Petebang Jaya: Beginilah suasana di Desa Petebang Jaya, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Sedikitnya 616 jiwa penduduk setempat menggantungkan hidupnya dari hutan. Foto: Andi Fachrizal
Desa Petebang Jaya: Beginilah suasana di Desa Petebang Jaya, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Sedikitnya 616 jiwa penduduk setempat menggantungkan hidupnya dari hutan. Foto: Andi Fachrizal

Bank Hutan

Amid, dan mayoritas warga di Desa Petebang Jaya, serta desa-desa sekitar seperti Tanjung Beulang, Pasir Mayang, dan Desa Rangga Intan, sudah menjadikan dahas sebagai bank. Di tempat itulah warga menabung untuk kemudian meraup hasilnya di kemudian hari.

Hutan yang dikelola masyarakat ini dipenuhi pohon buah. Nama lokal dari jenis buah yang ada di dahas di antaranya patikala, asam paoh, kembayau, mentawak, pekawai, durian, cempedak, duku, hakam, dan kapul. Ada pula kekalik, ketimbang, kondang, sebangkui, topah susu, acung, lucung, dan rerangga. Semuanya bisa dikonsumsi manusia dengan aneka rasa, dari asam hingga manis.

Sebagian dari pohon buah itu tumbuh sendiri secara alamiah. Sebagian lagi musti ditanam dari bibit yang diambil dari hutan di sekitar dahas. Tanaman lain yang pernah menjadi primadona bagi warga adalah karet. “Awalnya harga karet pernah tembus 20 ribu rupiah per kilo. Tapi sekarang tinggal 4.000 rupiah saja,” kata Amid.

Kendati demikian, dia tetap setia merawat dahas miliknya seluas lima hektare itu. Harga karet terjun bebas bukan sebuah alasan bagi Amid untuk meninggalkan dahas. “Tak perlu kita menggantungkan hidup sama karet semata,” katanya.

Bagi Amid, keanekaragaman hayati di dalam dahas sudah cukup guna menghidupi keluarganya. Beras diperoleh dari ladang sendiri. Ikan bisa ditangkap di sungai. Apalagi buah-buahan, tinggal dipetik di halaman sekitar pondok.

Perilaku hidup seperti ini diakui sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Orang kampung paham betul bagaimana cara menjaga agar hutan tetap lestari. Warga mengambil sebatas cukup. Selebihnya dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alamiah.

Dahas juga bisa berlaku layaknya supermarket bagi orang kampung. Tempat alami buat menabung untuk kemudian menikmati hasilnya di kemudian hari. Dahas adalah potret identitas warga pedalaman Ketapang.

***

Ada 616 jiwa warga Desa Petebang Jaya hidup di kawasan seluas 6.600 hektar. Tata guna lahan diperuntukkan bagi perkebunan karet masyarakat, perladangan, dan permukiman. Warga setempat membagi wilayahnya menjadi kawasan budidaya tanaman pangan, dengan sistem pertanian ladang dan perkebunan campur.

Amid tidak mengetahui kapan skema hutan kemasyarakatan itu dimulai. Turun-temurun dahas sudah ada dan dipertahankan hingga kini. Dari kakek nenek sampai anak cucu. Seperti itulah cara mereka merawat hutan. Tidak pula asal tebang dan babat lalu ditinggalkan menjadi padang gersang. Justru ladang yang ditinggalkan ditanami kembali hingga rimbun seperti semula. “Pokoknya sudah ratusan tahun warga di sini mengelola hutan seperti ini,” ucapnya.

Amid juga menjelaskan ikhwal anak-anaknya yang juga sudah memiliki dahas sendiri. Kelak, dahas itu akan dikelola oleh keturunan selanjutnya. “Anak-anak saya sudah berkeluarga. Masing-masing punya dahas sendiri. Kami selalu menganggap bahwa dahas adalah titipan anak cucu. Itu artinya, dosa kalau ditelantarkan,” katanya.

Peta Desa Petebang Jaya

Menjaga Sumber Air

Selasa (2/9/2014), matahari perlahan beranjak sekitar 40 derajat dari lokasi peraduannya. Amid beranjak dari tempat kerjanya. Parang yang semula jadi media untuk bekerja dikembalikan ke warangkanya. Dia mengajak serta keliling dahas serta melihat sumber utama air di perhuluan Sungai Bunyau.

Sekitar 500 meter berjalan kaki di kemiringan sekitar 45 derajat, daerah aliran sungai Bunyau sudah tersaji di depan mata. Musim kemarau berkepanjangan mengakibatkan debet air sungai berkurang. Dasar sungai tampak jelas. Bening laksana kristal, dengan bebatuan yang kokoh tertancap ke tanah. Kendati demikian, Sungai Bunyai tak pernah kering. Airnya senantiasa mengalir ke sejumlah dahas milik warga Petebang Jaya.

Warga penghuni dahas menjaga sumber air itu. Jika dahas kekurangan air, akan berdampak pada tumbuhan yang ada di dalamnya. Dan bagi Amid, air, tanah, udara, dan api adalah satu bentang alam yang saling berkaitan dengan manusia. Dengan demikian, ia patut dijaga keseimbangannya.

Melalui dahas yang dikelolanya, Amid dan warga Petebang telah memberikan pendidikan penting bagi dunia, bagaimana cara mengelola hutan agar tetap terjaga lestari lewat kearifan lokal, demi kelanjutan hidup umat manusia di atas bumi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,