Menagih Keadilan Kasus Warga Batu Daya

Suasana di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak sudah ramai. Padahal, matahari belum tinggi. Agenda hari ini memang cukup padat, ditambah lagi seorang pengusaha ternama juga ikut disidang.

Rabu (10/9/2014), ruangan sidang ke dua sudah dipadati pengunjung. Kebanyakan adalah aktivis. Di pintu keluar ruang sidang, beberapa polisi berdiri. “Masih menunggu majelis hakim lengkap,” tukas Desy Ratnasari, dari Simpur Hutan Foundation. Hari itu adalah sidang ke dua, sekaligus sidang putusan dua warga Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar), Yohanes Singkul dan Anyun.

Keduanya dijerat pasal 2 ayat 1 UU Darurat No 12 tahun 1951 terkait dengan kepemilikan senjata api, serta pasal 170 dan 351 KUHP, tentang pengeroyokan dan penganiayaan. Pada dua sidang sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut kedua warga desa tersebut dengan sepuluh tahun kurungan.

Majelis hakim yang  memimpin sidang kali ini diketuai Sri Wanti Warni, didampingi Erwin Djong dan Syofia sebagai hakim anggota. Sidang dimulai setelah lebih setengah jam berlalu dari jadwal yang ditentukan, yakni pukul 09.00 WIB. Majelis Hakim PN Pontianak akhirnya menjatuhkan putusan enam bulan penjara dipotong masa tahanan empat bulan. Sehingga, Yohanes Singkul (30) dan Anyun (51) masih harus menjalani masa penahanan dua bulan lagi.

Suasana persidangan riuh komentar pengunjung. Kedua terdakwa menunjukkan bahasa tubuh pasrah. Polisi yang mengawal  jalannya persidangan tampak waspada. Penuh haru, kedua terdakwa memanfaatkan waktu tersisa usai persidangan untuk bertukar kata dengan keluarga.

Secara terpisah, Ivan, kuasa hukum kedua terdakwa menyatakan akan berpikir-pikir terlebih dahulu menanggapi putusan hakim tersebut. “Kita harus mengembalikan hak-hak konstitusional para terdakwa, “ katanya.

Ivan Ageung menjelaskan, hakim tidak memahami penyebab tindakan kedua orang tersebut terhadap polisi. Hal ini, lanjutnya, terlihat dari uraian dan alasan dalam pembacaan putusan. “Padahal kuasa hukum berkali-kali menyampaikan ada konflik lahan yang lebih utama untuk proses secara hukum,” kata Ivan.

Benturan antara masyarakat dan aparat merupakan imbas dari konflik lahan. Masyarakat harus melawan korporasi, yang kemudian diperparah dengan campur tangan polisi sebagai alat negara, yang notabene bekerja atas upah dari perusahaan. Sehingga, esensi perjuangan masyarakat terhadap tanah adat yang diambil alih perusahaan tidak terlihat.

Ivan merupakan Direktur Gerakan Bantuan Hukum Rakyat (GBHR), sebuah lembaga yang melakukan pembelaan terhadap masyarakat secara pro bono atau tidak dibayar. Selain Ivan, beberapa nama pengacara lainnya adalah Sulistiono Martinus, Syahri, dan Fitria. Mereka bergantian membela dua warga tersebut.

Menanggapi putusan hakim, Hermansyah, praktisi hukum dari Universitas Tanjungpura Pontianak yang juga mengikuti jalannya persidangan menyatakan kekecewaannya terhadap putusan tersebut. Dia menyatakan, sistem peradilan di Indonesia masih sebuah rutinitas yang tidak berpihak pada rakyat. “Hanya memihak pada struktur yang lebih kuat saja,” cetusnya.

Aparat penegak hukum juga dikritisi, karena menunjukkan keberpihakan pada perusahaan. Polisi sebagai alat negara tidak mampu menelaah masalah yang menjadi pemicu kemarahan masyarakat. “Seharusnya, polisi memainkan peranan sebagai mediator, bukan melakukan tindakan represif,” katanya.

Beberapa saat setelah putusan, Hendrikus Adam, media kampanye Walhi Kalbar,  mengganti latar gambar di akun jejaring sosialnya. “Duka Untuk Matinya Hati Nurani Penegakan Hukum atas Kasus Batu Daya.” Huruf kapital dan pemilihan warna merah untuk kalimat ‘matinya hati nurani penegakan hukum’ mewakili kekecewaan Walhi Kalbar.

Adam mengatakan vonis untuk kedua warga Batu Daya tersebut memperlihatkan bahwa keadilan yang diperjuangkan masih jauh dari harapan. “Hilangnya rasa keadilan bahwa putusan ini mempertegas hukum cenderung tajam ke bawah, terutama bagi masyarakat kecil,” kata Adam. Putusan ini, kata dia, merupakan preseden buruk untuk menegakkan keadilan seluruh masyarakat.

Anyun dan Singkul tidak bernasib mujur. Mereka hadir saat pemimpin di Polda Kalbar belum menunjukkan komitmen terhadap kasus-kasus yang melibatkan masyarakat versus korporasi.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,