, ,

Pertanian Terancam, Warga Desak Presiden Baru Batalkan PLTU Batang

Pilih Pangan, Bukan Batubara, Tolak PLTU Batang.” Begitu bunyi spanduk yang dibawa warga Batang dalam aksi, Rabu (17/9/14) di depan Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta. Mereka meminta Chaerul Tanjung, selaku Plt Menteri Koordinator Perekonomian agar menghentikan pembangunan PLTU batubara di Batang, Jawa Tengah.

Setelah itu, ratusan orang ini menuju ke Rumah Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla. Perwakilan warga Batang mengingatkan Jokowi kala masa kampanye pernah berjanji menghentikan pembangunan PLTU batubara ini, bila warga keberatan.

“Warga mendesak Presiden terpilih menunjukkan komitmen terhadap masalah kedaulatan pangan. Sebab PLTU batubara ini akan dibangun di atas ratusan hektar lahan persawahan produktif beririgasi teknis yang dapat panen tiga kali setahun,” kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam rilis  kepada media, Rabu (17/9/14).

Dia mengatakan, memaksakan PLTU batubara Batang sama dengan menutup mata terhadap konversi sawah produktif di Jawa. Satu sisi, Indonesia masih mengimpor beras. Jika PLTU Batang dibangun, pasokan beras kabupaten ini berpotensi menyusut sekitar 619,88 ton dari total 17.975 ton.

Tak hanya merugikan lahan persawahan produktif, PLTU Batang juga berpotensi mencemari kawasan pesisir.  “Batang kaya ikan. Ini salah satu perairan di pantai utara Jawa yang menjadi tumpuan utama para nelayan.”

Wahyu Nandang Herawan, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, Chairul Tanjung harus bersikap bijak dan aspiratif terkait keberlanjutan PLTU Batang. “Para pemilik lahan tak mau menjual tanah. Sepatutnya Chairul Tanjung bersikap tegas tidak membangun PLTU Batang. Jika dibiarkan terus, akan berpotensi konflik tidak berkesudahan. Akan banyak pelanggaran HAM terhadap warga.”

Dia juga mendesak, Jokowi harus mendengarkan dan memutuskan sesuai kehendak rakyat. Warga Batang, katanya, tegas menolak PLTU. “Saatnya Jokowi membuktikan janji mendengar aspirasi rakyat dan mendorong kedaulatan pangan.”

Menjelang masa financial closing, yang direncanakan 6 Oktober ini, Batang lebih ‘memanas.’ Preman-preman kembali bergerilya berupaya membujuk dan menekan warga menjual lahan. Bahkan, kala aktivis Greenpeace berkunjung ke Batang, mendapatkan ancaman dari para preman itu.

Sejak awal, warga Batang, menolak pembangunan PLTU dengan kapasitas 2×1.000 MW ini. Berbagai aksi mereka lakukan dari Batang, Jakarta bahkan hingga ke Jepang. Warga Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban terus berjuang.

Seorang ibu membawa poster salah satu warga yang dipenjara gara-gara menolak PLTU Batang, kala aksi di Jakarta. Foto: Greenpeace
Seorang ibu membawa poster salah satu warga yang dipenjara gara-gara menolak PLTU Batang, kala aksi di Jakarta. Foto: Greenpeace
Warga Batang penolak PLTU Batang ke Jakarta. Mereka meminta Presiden terpilih, berpihak ke petani dan nelayan yang terancam jika proyek ini terealisasi. Foto: Greenpeace
Warga Batang penolak PLTU Batang ke Jakarta. Mereka meminta Presiden terpilih, berpihak ke petani dan nelayan yang terancam jika proyek ini terealisasi. Foto: Greenpeace
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,