,

Pertambangan Batubara di Sumsel akan Dipantau For Batu. Kenapa?

Anwar Sadat, mantan Direktur Walhi Sumsel dan kini memimpin organisasi tani Serikat Petani Sriwijaya (SPS) terpilih menjadi ketua Forum Masyarakat Pemantau Batubara (For Batu). Lembaga ini dibentuk karena pemerintah dinilai tidak memberikan sinyal untuk menghentikan kegiatan ekonomi yang kotor terhadap lingkungan hidup tersebut.

Lembaga ini akan melakukan monitoring dan advokasi terhadap kegiatan pertambangan batubara yang kian merusak lingkungan hidup di Sumatera Selatan.

“Kami akan bekerja bersama masyarakat, terutama yang berada di sekitar pertambangan batubara, untuk melakukan monitoring dan mengadvokasi kegiatan pertambangan batubara,” kata Anwar Sadat di Palembang, Kamis (18/09/2014).

Adapun kegiatannya yakni memantau perizinan yang diberikan pemerintah terkait pertambangan batubara. Misalnya, terkait dugaan korupsi saat perizinan tersebut dikeluarkan, termasuk pula mengenai lokasi eksploitasinya, apakah masuk ke wilayah hutan, khususnya hutan lindung, taman nasional, hutan margasatwa, atau situs kebudayaan.

Selanjutnya menghitung berbagai kerugian yang ditimbulkannya. Mulai dari habisnya tutupan hutan, hilangnya kekayaan flora dan fauna, pencemaran air dan udara, konflik lahan dengan warga, kerusakan pada situs budaya, kerugian negara, serta berbagai dampak sosial ekonomi yang buruk yang dialami masyarakat.

“Bukan tidak mungkin kami akan melakukan langkah hukum, jika memang harus dilakukan karena kampanye dan protes tidak mampu mengubah keburukan yang ditimbulkan,” kata Sadat.

Forum Masyarakat Pemantau Batubara (For Batu) merupakan perwujudan dari rekomendasi yang dikeluarkan dalam FGD yang diselenggarakan Mongabay Indonesia, Green Radio dan TAF di Palembang, pada 9 September 2014 lalu dengan judul “Politik Batubara dan Peranan Masyarakat Sipil di Sumatera Selatan”.

Pada FGD tersebut, pertambangan batubara dinilai bukan hanya merusak hutan bersama kekayaan flora dan faunanya, tetapi juga menimbulkan pencemaran air dan udara, “mendorong” pemanasan global, memiskinkan rakyat, memfasilitasi perilaku negatif di masyarakat, mengancam keberadaan peninggalan sejarah, serta menjadi ajang korupsi.

“Oleh karena itu dibutuhkan gerakan masyarakat sipil buat menghentikan berbagai dampak dan ancaman yang ditimbulkannya,” kata Dr. Tarech Rasyid dalam FGD tersebut.

Gerakan masyarakat sipil, kata Tarech, bentuknya berupa mengkritisi segala bentuk perizinan batubara, melakukan riset dan advokasi baik dalam membela lingkungan hidup, hak-hak petani yang tanah dirampas, maupun potensi korupsi di sektor penambangan batubara.

“Saat ini, reaksi masyarakat sipil baru sebatas protes terhadap isu transportasi yang mengganggu lingkungan dan tanah,” kata Tarech.

Bentuk gerakan masyarakat sipil ini, katanya, dapat dalam bentuk sebuah forum atau koalisi. “Gerakan protesnya dapat memfokuskan pada isu lingkungan, kerusakan hutan, tanah masyarakat adat maupun korupsi di sektor penambangan,” kata Dosen Universitas Ida Bajumi (UIBA) Palembang ini.

Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel, juga sepakat dengan adanya gerakan masyarakat sipil terhadap keberadaan penambangan batubara di Sumsel. Sebab ada indikasi pemerintah Sumsel ingin mempercepat pengerukan batubara.

Indikatornya berupa pernyataan Gubernur Sumsel Alex Noerdin beberapa tahun lalu, “Lima tahun lagi batubara tidak berharga, maka sumber daya batubara Sumsel harus segera dieksploitasi.”

Kemudian membuat MoU dengan PT. Adani dari India untuk membangun jalur kereta api sepanjang 270 kilometer dari Lahat menuju Tanjung Api-Api Banyuasin, membuat MoU dengan pemerintah Jambi dan Bengkulu untuk membangun rel kereta api khusus batubara, serta pembuatan jalan khusus batubara oleh PT. Servo dari Lahat menuju Tanjung Api-Api sepanjang 270 kilometer.

Dijelaskan Hadi, dari luasan konsensi penambangan batubara di Sumsel yang mencapai 2,7 juta hektar sekitar 801.160 hektar berada di kawasan hutan. Sekitar 6.293 hektar berada di hutan konservasi, 67.298 hektar berada di hutan lindung, serta 727.569 hektar berada di hutan produksi. Sisanya, 1.985.862 hektar berada di areal penggunaan lain.

Luasan konsensi itu dipegang oleh 359 perusahaan. Sekitar 264 perusahaan pemegang IUP sudah beroperasi. Tapi sekitar sekitar 23 perusahaan belum terindentifikasi NPWP-nya.

Adapun isu yang harus diusung gerakan masyarakat sipil terhadap batubara di Sumsel yakni moratorium izin pertambangan batubara, review perizinan pertambangan batubara, penyelesaian konflik dengan mendorong pembentukan lembaga penyelesaian konflik, serta penegakan hukum atas pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan.

FGD Politik Batubara dan Peranan Masyarakat Sipil di Sumsel pada 9 September 2014. Pembicara dari kiri ke kanan: Hadi Jatmiko, Anwar Sadat, Kristantina Indriastuti, Ade Indriani, dan Tarech Rasyid. Foto: Rahmadi Rahmad
FGD Politik Batubara dan Peranan Masyarakat Sipil di Sumsel pada 9 September 2014. Pembicara dari kiri ke kanan: Hadi Jatmiko, Anwar Sadat, Kristantina Indriastuti, Ade Indriani, dan Tarech Rasyid. Foto: Rahmadi Rahmad

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,