“Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terhormat… Bapak Presiden, semua hal yang menyedihkan ini dapat anda hentikan dengan goresan pena anda. Kawasan Ekosistem Leuser dapat anda selamatkan agar dapat terus memberikan manfaat bagi iklim dan generasi yang akan datang…”
Begitulah kutipan surat ‘cinta’ dari koalisi penyelamat hutan Aceh (KPHA) kepada Presiden SBY yang sedang pertemuan iklim bersama kepala negara lain di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2014.
Surat itu dibuat lantaran keberadaan kawasan ekosistem Leuser (KEL) terancam dengan pengesahan qanun RTRW Aceh, yang menghilangkan KEL sebagai kawasan strategis nasional yang harus dilindungi. Belum lagi, pengesahan RTRW oleh daerah bermasalah, karena ditetapkan sebelum evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri.
Effendi Isma, juru bicara KPHA meminta, pemerintah pusat, lewat SBY dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membatalkan RTRW Aceh itu karena mengancam KEL. Jika dibiarkan, maka KEL akan menjadi area penebangan kayu, perkebunan dan pertambangan. “Kami meminta SBY, masih ada kesempatan untuk membatalkan RTRW Aceh ini,” katanya di Jakarta, Senin (22/9/14).
Jika RTRW Aceh ini diterima pusat, maka koalisi sudah bersiap menggugat peraturan daerah (qanun) ini ke Mahkamah Agung.
“Bersama Walhi sudah melakukan kajian, sudah beberapa kali pertemuan, hanya tunggu keputusan akhir dari pemerintah pusat. Tunggu apakah qanun pemerintah Aceh disetujui atau tidak. Jika tidak setuju, judicial review ke MA tak jadi. Kalau setujui maka akan ajukan ke MA,” kata Effendi.
Teguh Surya dari Greenpeace mengatakan, RTRW Aceh tak memperhitungkan bencana yang bakal timbul kala Leuser tak menjadi kawasan lindung. Seharusnya, KEL itu dipertahankan bahkan diperkuat, bukan sebaliknya. Untuk itu, dia berharap, SBY di masa akhir jabatan bisa meninggalkan kebijakan berpihak pada penyelamatan KEL.“Jika Leuser tak diselamatkan akan ganggu komitmen Indonesia buat turunkan emisi karbon,” ujar dia.
Tak jauh beda dikatakan Gemma Tillack dari Rainforest Action Network (RAN). Dia mendesak SBY memberikan perlindungan kuat pada KEL dengan membatalkan RTRW Aceh.
Momen ini, kata Tillack bersamaan dengan seruan ribuan orang yang turun ke jalan menyuarakan penyelamatan iklim dunia. Perubahan iklim, katanya, sudah terjadi dan berdampak buruk pada masyarakat.
Bisnis yang biasa, katanya, tak lagi bisa dijalankan kala konsumen, investor dan pemerintah beraksi untuk memastikan penyelamatan iklim lewat komoditas bebas deforestasi dan konflik. “SBY bisa mengambil bagian dalam transformasi ini.” Indonesia, katanya, bisa berperan, salah satu lewat menyelamatkan KEL dari jarahan sawit dan HTI.
Ian Singleton, direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP) berharap, SBY bisa membatalkan RTRW Aceh ini. Menurut dia, KEL satu-satunya tempat di bumi dengan beragam satwa langka hidup bersama di alam, seperti harimau Sumatera, gajah, dan orangutan. Jadi, jika sampai KEL hilang, tak hanya hutan dan gambut yang sirna juga berikut satwa. “Berapa besar emisi karbon akan lepas. Ini sudah isu global. Kalau Indonesia terus menerus buka hutan dan keringkan gambut akan berdampak pada dunia.”
Reforestasi bukan deforestasi
Panut Hadisiswoyo, direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (OIC), mengatakan, di Aceh, terutama KEL tak mentolelir kebijakan penebangan karena rawan bencana. Untuk itu, yang menjadi solusi daerah seperti ini adalah reforestasi, bukan deforestasi.
Namun, yang terjadi di KEL kini, penebangan dan perambahan buat sawit terutama di dataran rendah dan rawa gambut terus terjadi.
“Karena perluasan perkebunan dan illegal logging ini, akhirnya bencana terus menerus timpa Aceh, dari longsor, banjir bandang. Ini rugikan banyak masyarakat di sekitar KEL,” kata Panut. Kehidupan satwa pun menjadi korban akibat perluasan perkebunan di dalam hutan ini.
Sebenarnya, kata Panut, reforestasi alami mudah terjadi di Aceh. Dia mencontohkan, kala masa konflik banyak perusahaan tak beroperasi hingga meninggalkan KEL. “Regenerasi (tanaman) KEL terjadi, karena ditinggalkan selama konflik.”
Ada juga perkebunan yang ditinggalkan di Rawa Tripa, dalam waktu cukup singkat–kala kanal dibendung—terjadi regenerasi tanaman secara alami.
“Jadi kami simpulkan, hutan masih bisa diselamatkan, satwa liar masih bisa diselamatkan, sepanjang RTRW dibatalkan, jadi perlu ketegasan SBY buat hentikan itu.”