Selasa, 23 September 2014, persis setahun Jalan Tol Bali Mandara diresmikan. Satu tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memencet tombol membuka selubung jalan tol pertama di Bali itu.
Jalan sepanjang 12,7 KM ini menghubungkan Denpasar dengan dua lokasi penting di Bali yaitu Bandara Ngurah Rai dan Nusa Dua. Jalan di atas laut pertama di Indonesia ini disebut-sebut tercantik di negeri ini.
Namun, di balik kecantikan, ia menyisakan masalah. Sisa-sisa material pembangunan yang mengancam ekosistem mangrove terluas di Bali. Batu-batu kapur tersisa di dekat pintu masuk jalan di Pelabuhan Benoa, Denpasar Selatan. Mangrove yang dulu ditebang terlihat di kiri jalan menjelang pintu masuk. Ketika air surut, batu-batu kapur putih menggantikan lumpur hitam yang dulu ada di situ.
“Pengurukan demi pembangunan jalan tol jelas merusak ekosistem mangrove,” kata Iwan Dewantama, dulu tim pengawas Amdal pembangunan jalan tol.
Jalan Tol Bali Mandara dibangun di atas Teluk Benoa. Ada tiga jalur utama yaitu Benoa (Denpasar)–Bandara Ngurah Rai (Tuban), Bandara Ngurah Rai–Nusa Dua, dan Benoa–Nusa Dua. Ketiga jalur ini membentang di atas Teluk Benoa sekitar 1.373 hektar.
Ketika pembangunan jalan tol baru dimulai pada 21 Desember 2011, sejumlah kalangan mewanti-wanti ancaman kerusakan lingkungan. Walhi Bali, misal, mengingatkan potensi kerusakan hutan mangrove di teluk ini. Alasannya, pembangunan tol tidak sesuai Amdal.
Dalam Amdal, pelaksana proyek terdiri dari Adhi Karya, Waskita Karya, dan Hutama Karya menyatakan, pemasangan tiang-tiang penyangga jalan dilakukan menggunakan ponton. Nyatanya, mereka menguruk dengan tanah kapur.
“Dalam sosialisasi Amdal dijelaskan tidak ada pengurukan, kenapa dilakukan? Pengurukan itu otomatis merusak ekosistem kawasan,” kata Suriadi Darmoko, deputi–kini direktur–Walhi Bali, ketika itu.
Saat itu, pelaksana hubungan masyarakat PT Jasa Marga Tol Bali, Drajad Hari Suseno mengatakan, terpaksa dilakukan pengurukan sementara karena lokasi pekerjaan tidak bisa dijangkau ponton pancang yang juga membawa logistik. Kedalaman air, katanya, lebih dangkal daripada draf ponton yaitu garis batas ketinggian maksimal dari dasar ponton yang terbenam saat berisi muatan maksimal.
Penggunaan tanah kapur, katanya, karena material terbaik dan paling cocok dengan dasar laut untuk pengurukan sementara. Ekosistem dan pantai dengan jenis batu karang sama dengan karakteristik batu kapur yang diuruk sementara.
“Pengurukan itu bagian metode kerja dan bersifat sementara. Nanti dikembalikan seperti semula,” katanya dikutip dari BaliPublika. Ternyata, sisa-sisa pengurukan batu kapur masih terlihat di bawah jalan tol hingga kini.
“Seharusnya pelaksana proyek bertanggung jawab mengembalikan kondisi seperti semula dengan membersihkan semua sisa tanah kapur agar tidak merusak mangrove,” kata Iwan Dewantama, kini manajer Jaringan Kawasan Konservasi Perairan (MPA Network Manager) Bali Lembaga Conservation International.
Ternyata, kerusakan dampak jalan tol hanya salah satu nasib buruk hutan mangrove di Teluk Benoa, masih banyak ancaman lain.
Hutan mangrove di Teluk Benoa merupakan kawasan paling seksi. Kawasan yang disebut Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai di Bali Selatan ini, dikepung pusat-pusat pariwisata seperti Sanur, Kuta, Jimbaran, dan Nusa Dua. Lokasinya sangat strategis karena di dekat Bandara Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa, dua fasiltitas publik penting di Bali.
Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Unda Anyar, total kawasan 1.373,5 hektar, lebih separuh kawasan hutan mangrove di Bali hingga 2013, seluas 2.115,7 hektar.
Selain di Prapat Benoa, nama lain hutan mangrove teluk ini, mangrove di Bali tersebar di enam tempat lain. Yakni, di Perancak dan Tuwed (Kabupaten Jembrana), tiga masuk kawasan Taman Nasional Bali Barat: Teluk Gilimanuk (Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Jembrana), Teluk Trima dan Menjangan serta Teluk Banyuwedang. Lalu, di Sumberkima-Pejarakan (Kabupaten Buleleng) dan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan (Kabupaten Klungkung).
Hutan mangrove Benoa terluas. Ia membentang di enam desa di Denpasar, yaitu Sanur Kauh, Sidakarya, Sesetan, Serangan, Pedungan, dan Pemogan. Adapun yang masuk wilayah Badung meliputi Kuta, Tuban, Kedonganan, Jimbaran, dan Tanjung Benoa.
Bersama hutan mangrove di TNBB dan Nusa Lembongan, kawasan ini masuk hutan konservasi. Namun, Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2014 mengubah status hutan mangrove dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya.
Berdasarkan data BP-DAS Unda Anyar, luas hutan mangrove rusak berat di Prapat Benoa ini 253,4 hektar. Penyebab kerusakan hutan mangrove didominasi alih fungsi lahan. Dari 1.373,5 hektar, sekitar 193 hektar di kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan. Misal, jalan, lagon, lapangan, tempat pembuangan akhir, instalasi pengolahan air limbah, dan lain-lain. Fasilitas itu dikelola pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), maupun swasta.
Sedang kerusakan akibat perambahan hutan seluas 8,11 hektar. Ada 3,34 hektar kawasan hutan bersertifikat hak milik masyarakat. Padahal, lokasi di kawasan lindung.
Menurut wilayah, hutan mangrove di Kabupaten Badung, rusak berat 22,83 persen dan di Denpasar sebesar 13,13 persen. Titik hutan mangrove di Prapat Benoa yang rusak berat, yaitu Tanjung Benoa, Benoa, Serangan dan Pedungan.
Data BP-DAS mestinya menjadi peringatan buat menjaga hutan mangrove Benoa. Namun, kini ancaman lebih besar sedang mengincar Teluk Benoa, yakni, reklamasi oleh PT Tirta Wahana Bali International (PT TWBI) sekitar 800 hektar.