Muka Jaka tampak sedikit murung, “Sekarang ada lagi yang mulai coba buka kebun sawit, padahal kan sawit makan banyak air, menurut saya mah kurang cocok nanam sawit di sini, nanti debet air Way Seputih bakal berkurang,” ujarnya dengan logat sunda yang terasa kental.
Zakaria (30-an) atau dipanggil Jaka, adalah Sekdes Desa Pekandangan, Kabupaten Lampung Tengah. Meski lahir dan besar di Lampung, namun leluhurnya dapat ditelusuri hingga tatar Sunda. Dia adalah turunan kedua para perantau yang menghuni Pekandangan, desa yang berbatasan langsung dengan Register 39, hutan lindung tempat mata air sungai Seputih atau Way Seputih berasal.
Way Seputih adalah sungai terpanjang dan terpenting sebagai sumber irigasi sawah wilayah Metro, Lampung Tengah. Sungai ini berujung hingga lahan basah Rawa Betik, yang berbatasan dengan TN Way Kambas dan laut Jawa.
Sudah sepuluh tahun ini, Jaka dan rekan-rekan seperjuangannya jatuh bangun membangun hutan rakyat di lahan masyarakat. Dalam perjalanannya itu, puluhan ribu bibit kayu seperti sengon, jati putih, akasia telah ditanam olehnya dan rekan-rekannya. Tajuk pohon-pohon sekarang itu menaungi hijaunya desa-desa di kecamatan Pubian, Lampung Tengah.
Dari hasil kerja keras mereka, saat ini kecamatan Pubian dan tiga kecamatan lain di Lampung Tengah sohor sebagai pusat kayu tanaman rakyat. Terlebih lewat pembentukan Koperasi Comlog Giri Mukti Wana Tirta (GMWT), nama Lampung Tengah menjadi terkenal hingga tingkat nasional.
“Peresmian logo V-Legal secara nasional oleh Menhut Zulkifli Hasan tahun 2011 dilakukan di sini,” tutur M. Sidik (43), Direktur Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS) dan Ketua BT Telapak Lampung. Sejurus ingatannya melayang ketika membayangkan saat rombongan Menhut dan Dubes negara sahabat membuat riuh warga desa, saat pertama kali dalam sejarah desa helikopter tampak mendarat di lapangan desa.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sendiri adalah suatu aturan nasional yang disyaratkan agar kayu yang dihasilkan oleh produsen diakui keabsahannya. Lewat cap dokumen V-Legal kayu dari hutan tidak lagi dianggap hasil tebangan liar. Semua kayu, termasuk kayu asal tanah milik masyarakat pun saat ini harus melalui cek dokumen legalitas.
Lewat koperasi GMWT yang mencakup wilayah 5 desa di kecamatan Pubian dan kecamatan lain, koperasi membantu mengiventarisir kayu yang ada di lahan milik anggota. Koperasi juga membantu pengeluaran ijin bagi sahnya angkutan kayu. Komponen ini sangat penting bagi bisnis kayu rakyat karena memotong rantai administrasi birokrasi. Sebelum adanya surat angkutan yang dikeluarkan oleh koperasi, ijin angkutan kayu menjadi modus pungli bagi para para oknum pejabat.
“Termasuk memotong pungli jalan angkut yang dilakukan oleh oknum polisi dan polhut di jalan raya,” jelas M. Pramono (42), Ketua Koperasi GMWT. Koperasi sendiri berdiri sejak 2009. Saat ini 210 hektar petak lahan dari 185 anggota koperasi telah tersertifikasi oleh Sucofindo, perusahaan berstandard akreditasi nasional.
Dengan adanya kayu bersertifikasi, selain terhindar dari masalah pungli, maka kayu yang dijual juga mengalami peningkatan. Kayu yang sudah di-gesek dijual oleh masyarakat dengan harga sekitar 1,5 – 1,7 juta rupiah per meter kubiknya. Kayu seperti sengon yang berukuran diameter 50-75 sentimeter dapat ditebang pada usia 7-8 tahun.
“Kalau untuk pemasaran kayu di Lampung Tengah ini cukup tinggi, bahkan jadi lirikan. Apalagi kayu sertifikasi, industri hanya akan terima kalau kayu sudah lengkap dokumen V-legalnya,” jelas Sidik. Menurutnya, dari sekitar 1 juta meter kubik kebutuhan kayu di Lampung, sekitar 70 persennya dipenuhi oleh kayu hutan rakyat. Hutan rakyat mendukung sistem ekologi, karena kayu ditebang dari lahan adalah kayu terpilih sehingga tidak dikenal sistem tebang habis.
Sidik mengakui, awal tujuan yayayasan yang dia pimpin, bukan untuk bekerja menginisiasi bangkitnya industri hutan rakyat, tetapi semata untuk menjaga kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Seputih agar lestari, disamping mencari cara meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di daerah ini.
“Awalnya kami mengajak masyarakat melindungi hutan lindung Register 39, tapi ketika kayu di lahan sudah banyak, sekarang masyarakat sudah malas tebang kayu ke hutan lindung,” jelas Sidik, ayah dua orang anak ini. “Apalagi potensi hutan rakyat lebih bagus daripada yang ada di hutan negara.”
Selain batang kayu yang sekarang menjadi semacam tabungan bagi masyarakat, mereka juga aktif menanami kebun dengan berbagai tanaman buah. Selain itu, kelompok petani-peternak, petani-ikan darat, petani-sawah juga sudah mulai terbentuk.
Menurut Sidik, masyarakat di Pubian pun sekarang enggan untuk merambah ke hutan lindung lagi, takut terkena urusan dengan para petugas dari kepolisian kehutanan.
Tetapi permasalahan hutan lindung Register 39 sendiri belumlah selesai sampai di sini. Hutan Lindung Register 39 tampak baik di sisi bagian Lampung Tengah, tetapi di sisi lain hutan lindung yang masuk Kabupaten Tanggamus, tetangga kabupaten Lampung Tengah, lumayan parah. Perambahan untuk kebun kopi terus terjadi, padahal hutan lindung Register 39 merupakan jantung dari propinsi Lampung di bagian tengah.
Luas hutan lindung Register 39 yang sekitar 41 ribuan hektar, maka area yang berada di Lampung Tengah sekitar 17 ribuan hektar. Selain sumber mata air, beberapa satwa seperti harimau, beruang madu, dan jenis-jenis burung menghuni hutan ini.
“Saat ini perambahan Register 39, saya perkirakan sekitar 30-40 persen,” jelas Febrilia Ekawati, pendamping masyarakat dari YKWS. “Ini tugas pemerintah untuk membangun sinkronasi antar pemkab, kami dari LSM tentunya tidak bisa lakukan ini semua.”
Meskipun Febri sedikit merendah, apa yang dilakukan oleh YKWS dengan hutan rakyat di lahan milik masyarakat merupakan pekerjaan luar biasa. Masyarakat mampu disadarkan akan potensi kayu yang dapat menjadi penopang kehidupan. Jika sebelumnya masyarakat enggan menanam kayu karena tidak paham cara menjualnya, saat ini tanpa disuruh, ketika tahu ada stok bibit kayu di koperasi, mereka akan berbondong-bondong mengambil. Benih kesadaran pun mulai muncul.
Karena berada di lahan milik, YKWS maupun koperasi tidak bisa memaksa agar semua warga masyarakat harus menanam kayu. Semuanya didasarkan kepada kesadaran. Ketika masyarakat mampu merasakan keuntungan, tanpa disurush mereka akan menanam lahannya dengan tanaman kayu keras.
“Ada beberapa yang coba tanam sawit, tetapi hasilnya tidak optimal. Tanah disini kurang cocok, apalagi konturnya berbukit, susah kalau mau bawa sawit keluar,” jelas Febri, pendamping masyarakat yang merupakan sarjana pertanian sebuah universitas terkemuka ini.
Kedepannya, koperasi GMWT menargetkan untuk meningkatkan produksi anggota. Koperasi juga membangun kerjasama dengan koperasi di kecamatan lain di Lampung Tengah “Kami harus berpikir saat semua aturan kayu legal dijalankan oleh pemerintah. Itu peluang bagi koperasi seperti kami bermain sebagai suplier kayu,” jelas Pramono.
Koperasi sendiri sudah mulai menyiapkan langkah, termasuk mencari peluang modal kerja dengan kerjasama lewat skema kredit dengan lembaga keuangan. Dibantu oleh YKWS, koperasi pun sekarang erat bekerjasama untuk meyakinkan pemda Lampung Tengah untuk membantu program-program kerja koperasi.
“Misalnya lewat sinkronisasi program yang ada di Dinas. Coba kalau dana operasional di dinas bisa fokus untuk selesaikan satu pekerjaan. Di keroyok rame-rame. Pasti program akan berhasil,” jelas Isyanto, mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Lampung Tengah. Sejak dua tahun terakhir dia bergabung dengan YKWS. “Termasuk kalau Dinas bisa bantu model keterampilan bagi anggota koperasi, seperti memfasilitasi produk kerajinan dari kayu.”
Ide lain yang ditawarkan oleh Isyanto adalah agar pemkab dan pemprov dapat membantu koperasi dan program hutan rakyat lewat procurement policy. Lewat kebijakan ini, seluruh proyek pengadaan infrastruktur, barang kebutuhan kantor pemerintah dan sekolah seperti meja, kursi, mebel disyaratkan berasal dari kayu bersertifikasi. Menurutnya, jika Perda ini bisa diwujudkan di Lampung Tengah, maka akan mendorong munculnya industri kayu rakyat.
Membangun kesadaran masyarakat di sepanjang 190 kilometer bentang aliran Way Seputih memang membutuhkan kesabaran dan waktu. Masyarakat memerlukan waktu belajar. Birokrasi juga harus diyakinkan tentang upaya suksenya kolaboratif. Para pendamping masyarakat juga harus terus-menerus memunculkan kemampuan eksploratifnya. Namun dengan upaya pantang menyerah, mereka akan menikmati hasilnya. Karena mereka semua adalah para penjaga Way Seputih.