“Pak Asuy, sing sabar wae. Biarkan para penunggu hutan dan leluhur Muara Tae ngabantuan urang. Urang hudangkeun sing nunggu pohon, batu, dan hutan di Muara Tae. Tak lama lagi para perusak itu pasti dapat balasannya. Karena, mereka sudah merusak kawasan adat yang jadi titipan leluhur Muara Tae.”
Ucapan itu disampaikan Abah Ugi, pemimpin Kasepuhan Adat Banten Kidul saat menerima kunjungan Petrus Asuy, tokoh adat dari Kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Perjalanan Asuy sejauh ribuan kilometer itu dimaksudkan untuk meminta dukungan spiritual dari komunitas Kasepuhan Adat Banten Kidul atas perjuangan dirinya bersama masyarakat Muara Tae dalam mempertahankan lahan dan hutan adat mereka.
Nasib Masyarakat Dayak Benuaq di Kampung Muara Tae memang kian tertekan. Belasan tahun, lahan dan hutan adat mereka tergerus oleh perusahaan HPH, HTI, tambang batubara hingga perkebunan sawit. Padahal, lebih dari 800 kepala keluarga di Muara Tae mengantungkan hidupnya pada lahan dan hutan sebagai sumber penghidupan, obat-obat, penanda budaya, serta identitasnya sebagai masyarakat adat.
“Bagi orang yang hidup di kota, tidak masalah dengan hutan jika sudah hilang. Tapi bagi masyarakat adat seperti kami sangat penting. Acara-acara adat sangat bergantung dengan hasil hutan. Menghilangkan hutan, sama saja menghilangkan budaya kami,” kata Asuy.
Kasus agraria yang menimpa masyarakat Muara Tae sangatlah mengkhawatirkan. Lahan dan hutan mereka digerus bahkan di kepung pertambangan dan perkebunan. Kondisi ini dimulai sejak 1971 ketika perusahaan HPH PT. Sumber Mas membuka areal konsesi hutan yang dilanjutkan dengan penanaman HTI. Berikutnya tahun 1995 masuk perusahaan PT. London Sumatra dan 2011 datang perusahaan sawit PT. Munthe Waniq Jaya Perkasa (PT. MWJP) dan PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSJM).
”Kami mohon bantuan dari semua masyarakat dan siapapun untuk melindungi hutan dan tanah leluhur kami. Kami telah di kepung berbagai sisi oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan “ kata Andreas Singko, Tetua Adat Dayak Benuaq di Muara Tae saat disambangi sejumlah aktivis lingkungan.
Dalam perkembangannya, sengketa lahan tidak hanya terjadi antara masyarakat Muara Tae dengan perusahaan perkebunan sawit melainkan juga konflik horizontal dengan beberapa warga kampung tetangga, Muara Ponak yang sama-sama berasal dari rumpun Dayak Benuaq. Masyarakat Muara Tae menggangap beberapa warga Muara Ponak telah menjual blok Hutan Adat Utaq Melinau seluas 638 hektar yang digarap turun temurun oleh masyarakat Muara Tae kepada PT. Munthe Waniq Jaya Perkasa (PT. MWJP).
Menurut Masrani, Petinggi Kampung Muara Tae, permasalahan lahan yang diserobot itu telah dilaporkan kepada Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Timur pada Agustus 2012.
Laporan itu mentok karena sebelumnya telah dikeluarkan SK Bupati Kutai Barat tentang Penetapan dan Penegasan Batas Wilayah antara Kampung Muara Ponaq dan Kampung Muara Tae. Dalam SK bernomor 146.3/K.525/2012 itu disebutkan bahwa lahan yang diklaim oleh warga Kampung Muara Tae merupakan wilayah Kampung Muara Ponaq.
“SK Bupati itu kita gugat ke PTUN Samarinda, namun gagal. Kasus ini sempat kami laporkan ke Komnas HAM, dan pada November 2012, Komnas HAM sempat turun ke Muara Tae,” kata Masrani.
Dalam catatan lembaga yang mendampingi masyarakat Muara Tae, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Telapak; telah banyak aksi yang dilakukan oleh warga Muara Tae di tingkat lokal, regional, nasional hingga internasional. Namun, jalan terang belum juga ditemui, beberapa warga bahkan sempat dikriminalisasi oleh perusahaan perkebunan sawit hingga harus berurusan dengan kepolisian.
Berbagai jalan telah ditempuh, termasuk upaya hukum yang belum membuahkan hasil. Karena itu, Kelompok Sempekat Pesuli Lati Takaaq (SPLT) atau Sepakat untuk Mengembalikan Hutan Adat Kita, memilih untuk menempuh jalan kebudayaan dan spiritual dengan cara mengelar ritual sumpah adat. Lewat sumpah adat ini, masyarakat Kampung Muara Tae akan mengadukan persoalan yang membelit mereka kepada para leluhurnya.
Peradilan metafisik
Kelompok SPLT sejak tanggal 16 Mei 2014 mengkoordinir pelaksanaan upacara Guguq Tautn. Rangkaian upacara Guguq Tautn diawali dengan upacara pesengket. Ritual ini ditujukan untuk menolak bala dan menyucikan para pelaksana upacara Guguq Tautn agar terjauh dari hal-hal yang bisa menganggu kelancaran pelaksanaan upacara. Pada kesempatan ini para pelaksana juga menyampaikan permohonan ijin dan pemberitahuan kepada roh pencipta, roh pelindung, dan roh leluhur bahwa upacara Guguq Tautn telah dimulai.
Petrus Asuy, menerangkan bahwa upacara Guguq Tautn adalah sebuah rangkaian upacara yang panjang. Dibutuhkan banyak sumber daya dan biaya untuk melaksanakannya. “Berkat bantuan teman-teman LSM dan jaringannya baik di dalam maupun luar negeri, upacara ini akhirnya bisa dilaksanakannya,” katanya.
Tujuan utama pelaksanaan upacara Guguq Tautn adalah memohon kepada sang pencipta dan roh leluhur untuk memulihkan wilayah adat Kampung Muara Tae di sepanjang Sungai Nayan serta cabang-cabangnya dan hutan beserta isinya. Dengan melaksanakan Guguq Tautn diharapkan SPLT memperoleh kekuatan terus berjuang mempertahankan dan merehabilitasi wilayah adat Kampung Muara Tae.
Keseluruhan tahapan upacara Guguq Tautn diakhiri pada 29 Agustus 2014 yang ditandai dengan penombakan kerbau. Dengan selesainya rangkaian upacara Guguq Tautn maka sumpah adat kemudian bisa digelar. Tanggal 30 Agustus 2014, bertempat di Muara Pose, berjarak kurang lebih dua kilometer dari pemukiman lalu masuk ke hutan sekitar batas wilayah yang disengketakan, sumpah adat digelar.
Sumpah adat sendiri merupakan ritual yang jarang dilaksanakan. Adakah sumpah adat merupakan sebuah solusi untuk persoalan yang dihadapi masyarakat Muara Tae? Ambrosius Ruwidrijarto, peraih penghargaan Magsaysay Award 2012, menyebutkan bahwa warga Muara Tae kini terpojok karena wilayah adat mereka hampir habis. Padahal, tanah dan hutan adat adalah bagian penting dari jati diri mereka. Dalam kondisi seperti, mereka akan melakukan segala cara untuk mempertahankan tanah dan hutan adatnya. Semua dilakukan demi mempertahankan jati diri dan kehidupan.
“Jelas, sumpah adat merupakan solusi. Karena masing-masing masyarakat punya cara sendiri. Bagi masyarakat adat dengan kepercayaannya maka ini adalah satu cara juga. Ini terkait dengan sistem kepercayaan, sesuatu yang diyakini bisa menyelesaikan persoalannya”, tegasnya.
Di tempat upacara, Andreas Sinko membuka kotak kayu berisi dua tengkorak terbungkus kain merah. Tengkorak kuning kecoklatan berumur kurang lebih 200 tahun. Ini merupakan tengkorak Galoh dan Bulu leluhur warga Dayak Benuaq di Muara Tae. Galoh adalah Raja Muara Tae yang bergelar Mangkuana 2 sedangkan Bulu tukang merupakan pemanteranya.
Andreas Sinko terus merapalkan mantera di samping meja upacara yang lengkap berbagai sesaji. Kemudian, sumpah diucap oleh beberapa peserta upacara agar keadilan bisa diperoleh dari para leluhur. Siapapun yang bersalah lewat sumpah ini akan disadarkan lewat ‘hukuman’ para leluhur. Sementara apa bentuk ‘hukuman’ nya tak ada yang bisa memastikan.
Upacara sumpah adat sendiri berlangsung kurang lebih dua jam. Upacara yang hanya diikuti enam warga, tokoh adat dan pawang itu, diakhiri dengan pamit kepada roh leluhur. Setelah itu, semua bergegas pulang. Selama delapan hari setelah pelaksanaan sumpah adat, diberlakukan pantangan bagi siapapun untuk memasuki wilayah sumpah adat, karena akan menganggu roh leluhur yang dipercaya sedang bekerja.
Pelaksanaan upacara sumpah adat sendiri menuai pendapat berbagai pihak. Sabang, Ketua Bidang Upacara Presidium Dewan Adat Kutai Barat, mengatakan sumpah adat tidak pernah disarankan untuk dilaksanakan karena berisiko tinggi dan bisa mendatangkan kutukan untuk anak cucu.
Petinggi Kampung Muara Ponaq dan Petingi Kampung Maura Tae juga berpendapat sumpah adat tak perlu dilakukan karena batas yang ditentukan sudah jelas sebagaimana tercantum dalam SK Bupati Kutai Barat.
Emilda Kuspraningrum, staff pengajar hukum adat di Universitas Mulawarman mengatakan hukum adat adalah konsekuensi dari kemajemukan di Indonesia.
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,’’ katanya menyitir pasal 18b amandemen UUD 45.
Terlepas pro-kontra pilihan masyarakat Muara Tae untuk menyelesaikan konflik lahan dan hutan dengan perusahaan, sumpah adat menjadi pertanda bahwa hukum positif tak selalu berpihak secara adil terhadap masyarakat adat.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio