, , ,

Kabar dari Delang, Sejahtera Berkat Menjaga Hutan

Lagi-lagi upaya masyarakat menjaga hutan yang menjadi kehidupan mereka dan sumber udara sehat serta sumber air bagi daerah, tak mendapatkan penghargaan pemerintah. Pemerintah Kabupaten Lamandau, mengeluarkan izin sawit di kawasan itu. Warga bertahan, menolak sawit maupun tambang dan investasi perusak alam yang lain. 

Sore itu, beberapa anak tampak bermain ceria di sungai. Saling memercikkan air ke sesama mereka. Sedang para ibu sibuk mencuci baju. Air begitu jernih. Mengalir deras. Di seberang sungai, pohon-pohon besar menjulang tinggi. Rimbun. Sesekali dahan bergoyang tertiup angin.  Beginilah suasana di Desa Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

Deka Aman, kepala sekolah SMK Pertanian Delang, mengajak saya ke ladang. Setelah mengajar di sekolah, dia mengurus ladang dan ternak sapi. “Kami menggarap lahan 25 hektar. Dari hasil bertani dan sadap karet, empat bersaudara semua lulus sarjana,” katanya pertengahan September 2014.

Masyarakat adat Delang hidup berkecukupan mengandalkan hutan. Mata pencaharian mereka bertani, ternak sapi, babi dan ayam. Sesekali mereka masuk ke hutan berburu atau panen buah di hutan. “Kalau sudah musim buah, disini bisa sampai beli sepedah motor. Banyak sekali. Ada durian, manggis, campedak dan lain-lain.”

Kecamatan Delang, berbeda dengan wilayah lain di Kalteng. Kala berkendara dari Nangabulik menuju Delang, sepanjang perjalanan tak terlihat perkebunan sawit skala besar. Hutan di kawasan ini sangat terjaga. Masyarakat Delang kompak menolak perkebunan sawit maupun pertambangan.“Kalau hutan di sini habis, Nangabulik bisa tenggelam karena banjir,” kata Deka.

Di hutan adat Delang ada mata air Sempangauan dan air bukit tunggal. Dari mata air itu,  mengalir ke Sungai Setongah, Sekakat, Kungkung, Kediu, Mangkalat, Mencara, Joa, Pekawai, Kantu, Setungkap dan juga Magin.

“Aliran air hingga ke Sungai Delang dan Batang Kawa. Hingga ke Sungai Lamandau Nanga Bulik dan Pangkalan Bun.”

Air sangat jernih. Ikan air tawar melimpah. Di sungai, warga biasa menangkap jelawat (somah), andungan, bahau, harwan, pakulan, kilatan, berombang, parau, berakas, seluang, dan kontongir.

Sungai mengalir jernih karena hutan terjaga. Pasokan airpun melimpah. Foto: Indra Nugraha
Sungai bersih  karena hutan terjaga. Pasokan airpun melimpah. Foto: Indra Nugraha

Ladang garapan Deka tak jauh dari pinggir sungai. Hanya berjarak seratus meter. Tiba di ladang, kedua orangtuanya sudah disana.  Sang ibu dengan cekatan menebas rumput liar. Ayahnya mengurus sapi. Dia mengambil air dari sungai dengan jerigen, dan menuangkan ke dalam kotak kayu. Enam sapi menghampiri kotak air  itu.

Hutan di Delang, terjaga tak lepas dari peran Repudi Sigun dan Silpanus Yamaha. Dua orang ini tokoh adat setempat.  Mereka gencar mengedukasi warga agar mempertahankan hutan adat sekaligus menolak perkebunan sawit, dan pertambangan. Warga di sembilan desa dan satu kelurahan Delang, kompak. Desa di Delang antara lain, Riam Panahan, Sepoyu, Riam Tinggi, Landau Kantu, Lopus, Nyalang, Penyobaan, Sekombulan, Kubung dan Kelurahan Kudangan.

Repudi Sigun menjabat sebagai ketua Aliansi Masyarakat Adat Delang. Pria ini kelahiran Lamandau, 23 April 1950. Rambut hampir memutih semua. Semangat berjuang menjaga hutan tak diragukan lagi.

Sedang Silpanus Yamaha sebagai damang masyaraakt Delang. Dia kelahiran Lamandau, 5 Juli 1971. Dia damang termuda se Kalimantan.

“Saya yakinkan warga jangan mau menjual lahan untuk perkebunan sawit. Saya diskusi dengan warga dari rumah ke rumah. Kalau ada acara adat atau nikahan,” kata Repudi.

Kesadaran menjaga hutan dan menolak sawit didapat saat mengikuti studi banding perkebunan karet di Thailand beberapa tahun silam. Dia sangat terkesan dengan negara itu.

Pepohonan hutan yang labat ini bisa menghidupan masyarakat sekitar dengam beragam sumber makanan dan mata pencarian. Mudah-mudahan kehidupan masyarakat dan alam ini tetap terjaga dan pemerintah menyadari kesalahan karena telah mengeluarkan izin di kawasan kelola rakyat. Foto: Indra Nugraha
Pepohonan hutan yang labat ini bisa menghidupan masyarakat sekitar dengam beragam sumber makanan dan mata pencarian. Mudah-mudahan kehidupan masyarakat dan alam ini tetap terjaga dan pemerintah menyadari kesalahan karena telah mengeluarkan izin di kawasan kelola rakyat. Foto: Indra Nugraha

“Ketika ke sana, dari Thailand barat, selatan dan timur saya tak menemukan ada pohon sawit. Akhirnya saya tanya ke raja Thailand mengapa tak ada? Jawabnya dia karena tidak mau 50 tahun ke depan masyarakat Thailand jadi seperti orang Somalia. Menjadi perompak. Lingkungan rusak, dan masyarakat sudah tak bisa berkebun.”

Ucapan ini begitu menginspirasi dia. Repudipun memperdalam soal perkebunan sawit dan pertambangan serta dampak terhadap lingkungan. Sawit  itu banyak memakan unsur hara tanah dan rakus air.

“Paling berbahaya pupuk. Sawit tanpa diberi pupuk tak akan berbuah maksimal. Pupuk kimia itu diberikan empat kali setahun. Pupuk akan merusak tanah hingga mengkristal. Saya khawatir berbagai jenis ikan akan mati karena racun pupuk sawit,” katanya.

Perjuangan bukan berarti tanpa godaan. Dia pernah beberapa kali didatangi investor dan membujuk masyarakat melepas lahan demi perkebunan sawit. Tawaran fantastis pernah didapat, namun dengan mantap ditolak.

“Pertama kali perusahaan menawari saya gaji Rp15 juta per bulan. Terakhir ditawari Rp25 juta per bulan. Perusahaan berjanji membelikan rumah dan dipindah ke Jakarta. Saya tetap menolak.”

Setelah investor gagal membujuk Repudi, mereka datang kepada Silpanus, menawarkan hal serupa.

“Mereka siap menggaji saya  Rp15 juta per bulan. Mobil dan rumah pun bisa dibuatkan. Supaya saya membujuk orang-orang dan tokoh adat agar mau menerima perkebunan sawit di Delang,” ujar Silpanus.

Tawaran itu langsung ditolak.  Menurut dia, uang tak ada guna jika didapat dengan menyengsarakan masyarakat dan mewariskan kerusakan alam pada anak cucu.

“Anak cucu kami mereka akan menderita. Karena kalau sudah perkebunan masuk, tanah itu jadi milik orang lain. Bukan milik kami lagi. Kami hidup dari berladang, sadap karet dan berburu.”

Masyarakat Delang menggantungkan hidup dari hutan. Mereka memakai sistem ladang berpindah. Lahan yang sudah dibuka ditanami padi. Setelah panen, ladang ditanami pohon karet dan buah-buahan.

“Padi disini alami, tak memakai pupuk kimia. Kami dari dulu memang penghasil padi. Satu keluarga bisa punya tujuh lumbung padi. Selain itu, masyarakat juga tanam ubi untuk pakan ternak.”

Tiap masyarakat punya lumbung padi. Sejak dari membuka lahan, menanam padi hingga panen sampai memasukan padi ke lumbung semua ada ritual. Semua dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

“Masyarakat juga biasa ngambil madu. Kalau sedang musim madu, biasa satu pohon itu puluhan sarang lebah bahkan ratusan. Hasil yang menggiurkan. Dijual kemana-mana pasti laku. Dibawa ke Pangkalan Bun, Ketapang bisa dijual disana.  Satu botol Rp200 ribu. Dari satu sarang, paling sedikit lima liter,” kata Silpanus.

Ayah Deka tengah memberi minum sapi-sapi mereka. Warga delang, selain memanfaatkan hasil hutan hutan seperti madu dan buah-buahan, mereka juga bercocok tanam dan beternak. Foto: Indra Nugraha
Ayah Deka tengah memberi minum sapi-sapi mereka. Warga delang, selain memanfaatkan hasil hutan hutan seperti madu dan buah-buahan, mereka juga bercocok tanam dan beternak. Foto: Indra Nugraha

Satu pohon madu biasa dikerjakan berkelompok. Bisa lima bahkan 10 orang. “Hutan kami masih sangat baik. Orang masih bisa berburu dan berladang. Air masih jernih tidak tercemar. Kesehatan mendukung.  Kalau perkebunan sawit kita jadi tidak leluasa. Masuk kawasan harus lapor sana lapor sini. Nanti kita dikira pencuri.”

Masyarakat juga belajar dari pengalaman. Sebelumnya banyak masyarakat adat Delang bekerja keluar daerah di perkebunan sawit maupun pertambangan. Cerita soal dampak yang ditimbulkan dibawa ke kampung, hingga masyarakat lebih sadar.

“Saya pernah bekerja di perkebunan sawit. Saya sudah tahu latar belakangnya, sawit ini hanya datang saat memerlukan kita. Setelah itu kita ditendang. Daripada seperti itu terjadi, jadi lebih baik kami mempertahankan hutan.”

Damang adat sering mengadakan pertemuan rutin dengan beberapa tokoh seperti kepala desa, ketua BPD, mantir adat, tokoh lain. Mereka sudah membuat kesepakatan bersama. Menolak sawit dan pertambangan.

“Para tokoh menyampaikan ini ke masyarakat. Kecamatan sudah seiring. Tinggal dari kabupaten kadang-kadang ingin ada PAD dengan ada perkebunan sawit atau pertambangan. Kalau mereka tetap memaksa dan itu terjadi, kami berani memisahkan diri,” kata Silpanus.

Pemetaan wilayah adat

Pemetaan wilayah adat Delang sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Hanya, mereka masih banyak kekurangan dari segi sumber daya manusia dan pendanaan. Hingga tahun 2013, Walhi Kalteng ikut membantu fasilitasi pemetaan partisipatif.

“Kami bekerjasama dengan Walhi Kalteng. Mereka betul-betul sanggup dan tahu kondisi kami. Kekurangan SDM termasuk pendanaan mereka bantu kami. Sangat terbantu. Pelatihan dan pertemuan dibiayai mereka,” kata Repudi.

Pemetaan partisipatif dimulai. Beberapa desa sudah selesai seperti Landau Kantu, Kubung dan Sokumbulan. Sisanya, dalam proses.

“Harapannya setelah ada peta, andai perusahaan masuk kami sudah jelas wilayah. Wilayah kami di dalam peta tidak boleh diganggu. Kalau yang diluar peta silakan. Dalam peta itu hak mutlak kami tak bisa diganggu gugat,” kata Silpanus.

Untuk mendapatkan  SK pengakuan wilayah adat, mereka masih menunggu peta selesai. Setelah selesai, masyarakat Delang  akan mendatangi kabupaten dan provinsi supaya betul-betul mengakui hak wilayah adat mereka.

Ibu Deka sibuk menebas rumput liar di lahan yang akan mereka tanami. Foto: Indra Nugraha
Ibu Deka sibuk menebas rumput liar di lahan yang akan mereka tanami. Foto: Indra Nugraha

Di dalam hutan adat, tegakan pohon berukuran besar masih terjaga dengan baik. Satwa liar hidup dengan bebas tanpa terusik aktivitas manusia yang merusak. Orangutan, beruang, beraneka jenis burung tinggal di sana.

“Ada hutan perawan dan itu jangan dibuka. Kalau yang diluar dekat pemukiman boleh. Untuk berkebun boleh asal jangan sawit,” kata Silpanus.

Salah satu hutan perawan yang masih terjaga di kawasan ini di Bukit Sebayan. Kepercayaan masyarakat sekitar menyebut bukit itu sebagai surge. Tempat terakhir arwah umat kaharingan jika sudah meninggal. Karena itu, mereka tak berani merusak.

“Sebayan itu artinya surga, bagi orang Kaharingan bahwa Sebayan itu akhir hidup mereka itu di sana. Sama dengan surga. Bukan cuma umat Kaharingan di Delang, tapi keseluruhan.”

Di Bukit Sebayan, ada tujuh puncak. Sebayan Sulung satu puncak, Sebayan Tongah empat puncak, dan Sebayan Bungsu dua puncak. Masyarakat yang masuk ke sana juga ada aturan. Ketika masuk ke Bukit Sebayan, harus puasa. Di puncak tidak boleh bermalam.

“Di sana juga ada tanah seribu. Tempat  orang ritual. Kalau lewat dari tanah seribu tak boleh bermalam. Boleh naik dan seperlunya di atas. Kalau di tanah seribu boleh bermalam. Pada dasarnya orang yang ke sana ada niatan khusus. Anehnya kalau kita tidak puasa, kita tak mampu. Kalau puasa bisa sampai puncak.”

Untuk tetap menjaga hutan, ada hukum adat berlaku. Perusak hutan akan dikenai sanksi adat sesuai tingkatan kerusakan. Masyarakat menyebut dengan “kamuh”.

“Hukum adat bagi perusak lingkungan itu dilihat dulu kerusakan apa. Kalau yang dirusak itu situs keramat, pohon madu, akan lebih berat. Sesuai tingkat kesalahan. Tergantung kesepakatan petinggi adat. Apakah masalah kecil, menengah atau fatal. Kalau kesalahan fatal, dia harus terusir. Karena dia tidak bisa mempertahankan budaya. Harus terhapus dari daerah itu.”

Damang adat tak akan mengeluarkan surat keterangan adat yang berskala besar. Surat keterangan adat akan keluar kalau sudah ada ladang dan tanaman buah-buahan. Kala lahan kosong, SKTA tak akan keluarkan. Ini untuk menjaga supaya masyarakat tidak leluasa menjual dan kontrak dengan yang lain.

Silpanus mengatakan, nanti tokoh yang menggantikan dia harus berani menolak perkebunan sawit dan tambang. Ada perjanjian adat dalam proses regenerasi kepemimpinan agar hutan adat benar-benar terjaga.

“Saya pernah bekerja di perusahaan kayu dan tambang.  Harus ikut aturan perusahaan. Bangun pagi, kalau salah sendiri dimarahi. Gaji dipotong karena kelalaian. Jadi lebih baik kita mengelola lahan sendiri. Saya sekarang merasa enak karena tidak ada yang mengatur,” kata Silpanus.

Pendapat sama dikatakan ketua majelis agama Kaharingan Delang, Jupriadi. Menurut dia, dalam kepercayaan Kaharingan, menjaga hutan merupakan ibadah. Hutan dianggap hal sakral. Jadi, masyarakat Delang sebisa mungkin menjaga hutan.

Dukungan mempertahankan hutan adat juga datang dari Camat Delang Inyane. Dia mengatakan, masyarakat Delang hidup dari bertani, berkebun, berburu dan mencari madu di hutan.

“Mereka terbiasa dengan ladang berpindah juga cari buah-buahan. Ini sudah dari berabad-abad terjaga.”

Dia sangat menghargai masyarakat Delang. Berharap hutan adat Delang tetap terjaga karena merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitar. “Jika kita merusak hutan, masyarakat tak bisa hidup dan akan mengubah pola hidup.Kami mau masyarakat berdaya, mampu membiayai hidup sendiri, menyekolahkan anak dan maju di dalam perekonomian. Tetapi punya lahan sampai ke anak cucu.”

Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Lamandau sudah menerbitkan izin perkebunan sawit untuk PT Sawit Mandiri Lestari di desa Riam Panahan. Posisi sebagai camat dilematis.  Dia tak ingin bertentangan dengan masyarakat, tapi izin dari pemerintah sudah dikeluarkan.

“Kecamatan Delang ini hutan penyangga. Kita mengupayakan udara tetap segar. Bukan cuma untuk Delang, tapi untuk Lamandau, Kalimantan bahkan dunia. Jadi ini harus mendapatkan perhatian,” katanya.

Kanan kiri sungai tetap rimbun oleh pepopohan yang terjaga. Foto: Indra Nugraha
Kanan kiri sungai tetap rimbun oleh pepopohan yang terjaga. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,