Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) kembali menemukan salah satu perusahaan pemasok kayu alam dan akasia untuk Asia Pulp and Paper / APP (Sinar Mas Grup) melakukan pelanggaran hukum kehutanan dan Komitmen Forest Conservation Policy (FCP) yang telah dicanangkan oleh APP.
Hasil investigasi Jikalahari tersebut tertuang dalam laporan bertajuk “Satu Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP/SMG diluncurkan ke Publik” yang diluncurkan pada September 2014.
Investigasi Jikalahari pada 26-29 Agustus 2014 menemukan satu unit alat berat sedang bekerja membuat kanal dan jalan pada konsesi PT. Mutiara Sabuk Khatulistiwa (MSK) di area community use di Kabupaten Indragiri Hilir.
“Alat berat itu menebang hutan alam dan menggali gambut dalam untuk dijadikan kanal. Tim investigator Jikalahari juga menemukan areal MSK berada di atas tanah gambut dengan kedalaman empat meter,” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari kepada Mongabay Indonesia di Riau.
Alat berat ini telah bekerja mulai bulan Agustus 2014 dan telah membuat kanal dan jalan lebih kurang lima kilometer. Alat berat ini diduga milik perusahaan perkebunan PT Setia Agrindo Lestari (First resources group/Surya Dumai Grup).
Dugaan ini setelah tim Jikalahari melakukan kajian terhadap Izin Lokasi PT Setia Agrindo Lestari (SAL) dan lampiran petanya, di mana arealnya tumpang tindih dengan PT. MSK. Izin lokasi PT SAL dikeluarkan oleh Badan Perizinan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Kabupaten Indragiri Hilir tanggal 01 Agustus 2012 seluas 17.009 ha dan diberikan Izin Usaha Perkebunan (IUP) oleh Bupati Indragiri Hilir Indra Mukhlis Adnan pada Oktober 2013.
Diperkirakan areal PT SAL tumpang tindih dengan PT. MSK lebih kurang 2.000 hektar, hal ini sesuai dengan alokasi areal community use seluas sekitar 2.000 ha.
Muslim mengatakan areal community use adalah modus bagi PT. MSK, SMG/APP untuk dialihkan ke perkebunan sawit, sehingga penebangan di hutan alam dapat dilakukan. Padahal ini suatu proses yang telah dirancang jauh sebelum FCP APP diluncurkan.
“Terlepas itu untuk community use. Faktanya areal yang tumpang tindih masih memiliki hutan alam dan gambut dalam yang seharusnya masuk dalam komitmen FCP APP,” lanjutnya.
Pada 5 Februari 2013, Sinar Mas Grup (SMG/APP) mengumumkan “penghentian penebangan hutan alam di seluruh rantai pasokannya di Indonesia, kebijakan tersebut tertuang dalam Forest Conservation Policy (FCP) APP.
Selain melanggar komitmen FCP APP, temuan ini juga membuktikan PT MSK tidak mematuhi aturan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Surat Edaran Nomor SE.7/VI-BUHT/2014 tentang Pelaksanaan Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan Pada Areal Kerja IUPHHKHTI. “APP tidak mampu menjalankan kewajibannya melindungi hutan dalam areal kerja perusahaan pemasok kayunya,” kata Muslim.
Dalam dokumen Iktisar Penilaian Nilai Konservasi Tinggi milik Ekologika menyebut PT. MSK memperoleh areal kerja secara definitif pada tanggal 29 Desember 2000, melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan SK.109/Kpts-II/2000 dengan luas areal 44.595 ha, yang kemudian mendapatkan ketetapan areal melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.59/Menhut-II/2013, areal MSK menjadi seluas ± 44.433,66 Ha, yang terletak di kelompok Hutan Sungai Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
PT. MSK secara administrasi terletak di Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, di koordinat: 102° 03′ BT – 103° 03′ BT ; 0° 05′ LS – 0° 51′ LS. Masuk dalam kelompok Hutan Sungai Gaung dan Sungai Simpang Kanan.
Oleh karena itu, Jikalahari mendesak kepada APP/SMG untuk segera melakukan moratorium penebangan hutan alam dan menghentikan operasi alat berat di seluruh konsesi pemasoknya dan mendesak SMG/APP melakukan serta menugaskan penilaian HCBS pada konsesi PT MSK terutama pada area temuan Jikalahari.
Jikalahari juga mendesak SMG/APP untuk menghentikan segala aktivias PT. SAL dan atau pihak lainnya di konsesi PT. MSK yang bertentangan dengan komitmen FCP SMG/APP, serta mendesak SMG/APP untuk merehabilitasi kawasan gambut dan area lainnya di konsesi PT. MSK yang telah dikonversi oleh PT. SAL dan atau pihak lainnya.
Pada 16-18 Agustus 2014 kemarin, Mongabay Indonesia menyusuri sungai Gaung menuju Desa Pungkat, di mana warganya berkonflik dengan PT SAL.
Sepanjang perjalanan dua jam menggunakan speedboat dari kayu, Mongabay melihat air sungai Gaung berwarna kecoklatan berasal dari rawa gambut yang bersebelahan dengan hutan alam sepanjang Sungai Gaung.
Selain PT MSK, pemasok kayu APP yang masuk dalam FCP di Indragiri Hilir yaitu PT Bina Duta Laksana, PT Riau Indo Agropalma dan PT Satria Perkasa Agung.
Dua bulan setelah FCP APP diluncurkan, atau pada Bulan April 2013, Eyes on The Forest (EoF) menemukan PT Riau Indo Agropalma menebang hutan alam di areal Tanaman Kehidupan. Saat itu EoF menemukan tujuh ekskavator aktif melakukan pembukaan hutan alam di dalam konsesi.
Penghentian Pembukaan Hutan Alam
Menanggapi hal tersebut, APP mempersilahkan Jikalahari untuk mengadukan kepada mereka. “Segala data dan info lengkap yang telah dikumpulkan oleh Jikalahari terkait PT. Mutiara Sabuk Khatulistiwa kami minta untuk disampaikan kepada kami melalui jalur Grievance Procedure, agar segera dapat kami tindaklanjuti dengan verifikasi di lapangan,” kata Aniela Maria – Tim Implementasi FCP APP Indonesia dalam tanggapan tertulis yang diterima Mongabay Indonesia.
Aniela mengatakan APP Group mengumumkan Kebijakan Konservasi Hutan pada tanggal 5 Februari 2013 yang memberlakukan penghentian pembukaan hutan alam diseluruh areal konsesinya.
“Dengan diumumkannya kebijakan ini, APP memberlakukan moratorium pembukaan hutan alam di seluruh daerah konsesinya, dan pada saat yang bersamaan melakukan penilaian Nilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value / HCV), Stok Karbon Tinggi (High Carbon Stock / HCS), pengelolaan lahan gambut dan sosial, untuk mengidentifikasi area yang akan dikonservasi secara permanen,” kata
Aniela mengatakan dalam pelaksanaannya, penerapan kebijakan tanpa deforestasi seperti ini bukan tanpa tantangan, karena kebijakan semacam ini tidak pernah dilakukan dalam skala sebesar ini sebelumnya. Namun demikian, usaha ini disambut baik oleh para pemangku kepentingan kami, di mana banyak di antara mereka sebelumnya memberikan banyak kritik terhadap APP.
Aniela menambahkan para pemangku kepentingan kami yang berpendapat bahwa bila ada masalah dalam penerapan FCP (Forest Conservation Policy), dapat melaporkan keluhannya melalui Prosedur Pengaduan Keluhan (Grievance Protocol) APP. Keluhan yang masuk kemudian akan diinvestigasi oleh tim dari APP dan The Forest Trust, dan laporan hasil investigasi akan dapat diakses oleh publik.