Peran Pemerintah Diperlukan Untuk Pemanfaatan Ekonomi Keanekaragaman Hayati

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keanekaragaman sumber daya hayati. Indonesia menjadi surga bagi berbagai spesies, baik tumbuhan maupun hewan. Apalagi sejak adanya The Convention on Biological Diversity (CBD) yaitu perjanjian internasional yang mencakup semua aspek keanekaragaman hayati seperti spesies, ekosistem sampai sumber daya genetik sampai penggunaannya, Indonesia makin dianggap penting sebagai salah satu negara dengan mega biodiversity.

Akan tetapi disayangkan, semua potensi keanekaragaman hayati tersebut, belum optimal untuk menyejahterakan rakyatnya. “Indonesia itu negara potensi, hanya potensi saja. Padahal sejak 25 tahun yang lalu, CBD dimulai, Indonesia mencorong dengan negara mega biodiversity. Tapi sudah 25 tahun berlalu, kita tidak bisa memberi keyakinan bahwa potensi ini perlu diwujudkan,” kata Anggota Dewan Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Setijati D Sastrapradja dalam Diskusi Pakar Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), di Jakarta, Kamis (25/09/2014).

Setijati melihat pemerintah kurang bisa mengkoordinasikan lembaga pemerintah dan berbagai elemen yang terkait untuk pemberdayaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati tersebut. “Kita mendorong pemerintah. Kalau kita sebagai rakyat mengambil sebagian peran pemerintah. Kalau kita bisa mengayomi sumber-sumber penelitian, akademisi, maka (pemanfaatan keanekaragaman hayati) akan luar biasa,” katanya.

Mantan Direktur Eksekutif KEHATI itu mengatakan perlu lima aspek untuk mewujudkan pemanfaatan keanekaragaman hayati Indonesia yaitu kepedulian (concern) sebagai negara mega biodiversity, percaya diri (confidence) bahwa sumber daya hayati merupakan potensi ekonomi besar bangsa, memiliki kompetensi (competence) untuk mewujudkannya, komitmen (commitment) dari semua pihak, dan keberanian (courage) dalam mengambil keputusan.

Sedangkan Ketua Gabungan Pengusaha Jamu, Charles Saerang mengatakan Indonesia mempunyai sekitar 30.000 spesies yang bermanfaat untuk pengobatan. “Dari 30.000 spesies itu, baru sebagian kecil yang bisa diidentifikasi,” katanya. Akan tetapi dia merasakan pemerintah kurang memperhatikan industri jamu ini, padahal potensi industri jamu ditaksir mencapai Rp50 triliun, tetapi saat ini baru mencapai Rp16 triliun yang melibatkan sekitar 6 juta orang.

Untuk memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati, Charles mengatakan perlu kerjasama antara pemerintah, akademisi dan pengusaha. “Perlu kebersamaan antara pengusaha, peneliti dan pemerintah. Pemerintah tahu tempat-tempat yang musti dibina. Peneliti tahu bagaimana supaya mutu produk dari spesies lebih bagus. Pengusaha tahu bagaimana nilai plus supaya dapat keuntungan untuk mengembangkan pasar. Pemerintah harus dapat mengakomodasi diantara pengusaha dengan peneliti itu,” kata Presiden Direktur Perusahaan Jamu Nyonya Meneer itu.

“Industri jamu itu berkembang, tidak terpengaruh oleh depresiasi. Ini milik kita sendiri. Kita takutnya, lahannya dikuasai oleh asing. Sudah ada contohnya, di Makassar, daun kuning sudah dikuasai oleh Malaysia, karena mereka mengetahui untuk pengobatan liver,” katanya.

Peneliti Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, Jawa Timur, Achmad Subagio mengatakan kendala dalam pengembangan keanekaragaman hayati Indonesia antara lain dari budaya atau persepsi masyarakat, teknologi, akses pasar, finansial dan kebijakan pemerintah. Dia juga menyoroti masalah koordinasi antar sektor untuk memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati ini.

Subagio sendiri telah lama melakukan penelitian untuk meningkatkan nilai tambah dari singkong menjadi produk olahan dengan nilai jual lebih tinggi seperti mie, nasi, bubur dan sebagainya. Peningkatan nilai tambah produk singkong ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani singkong.

Sedangkan Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Bali, PK Diah Kencana merasakan kurangnya perhatian dari pemerintah dalam setelah bertahun-tahun berusaha mengembangkan bambu tabah, bambu endemik Tabanan, Bali yang hampir punah.

Dari hasil penelitiannya, bambu tabah berguna sebagai tanaman konservasi di lahan kritis, dan bambu mudanya atau rebung mempunyai nilai ekonomis untuk dijual. Dari hasilnya mengolah bambu bersama masyarakat sekitar, tanaman lokal tersebut mampu memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat.

Sementara Direktur LSM Gita Pertiwi, Rossana Dewi telah lebih dari 20 tahun meneliti dan mengembangkan kacang koro yang berpotensi besar menggantikan peran kedelai. “Kita perlu perjuanan besar untuk mengenalkan koro, karena kacang ini identik dengan masyarakat miskin. Padahal potensi sangat besar. Koro bisa digunakan untuk diet penderita diabetes. Bahkan proteinnya lebih tinggi dari daging sapi,” katanya.

Pada kesempatan yang sama Direktur Eksekutif KEHATI, MS Sembiring mengatakan KEHATI mencoba mengambil peran sebagai fasilitator yang mempertemukan semua pihak dalam mengembangkan, memanfaatkan dan memberi nilai tambah dari keanekaragaman hayati dan sumber daya genetis Indonesia.

Untuk mempertemukan pemerintah, akademisi dan pengusaha, KEHATI menggelar acara Diskusi Pakar yang mempertemukan  ahli dalam bidang usaha tani, inovasi teknologi, dan pelaku di tingkat petani.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,