Kabut asap di Sumatera Selatan, seperti di Palembang, kian menebal. Selain mengganggu pernafasan masyarakat, baik di rumah maupun di ruang umum, juga menganggu jadwal penerbangan di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan jadwal sekolah.
Kepolisian mensinyalir menebalnya kabut asap ini akibat aktivitas panen kebun tebu yang dilakukan dengan cara membakar, seperti di Kabupaten Ogan Ilir (OI), Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir (OI), dan Ogan Komering Ulu (OKU) Timur.
Irjen Pol. Saud Nasution, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, kepada pers di Palembang, Jumat (26/09/2014), menjelaskan kian menebalnya kabut asap di Sumsel, seperti dirasakan di Palembang, diduga kuat akibat aktivitas sejumlah perusahaan perkebunan tebu. Saat panen, perusahaan disinyalir melakukan pembakaran, yang jumlahnya mencapai ratusan hektar.
Pembakaran saat panen tebu dilakukan untuk kebun tebu bakar. Panen tidak melakukan pembakaran pada kebun tebu hijau.
“Tebu bakar inilah yang ditengarai menjadi penyebab asap di Sumsel, apalagi dilakukan saat musim kemarau seperti sekarang,” kata Saud.
Perusahaan-perusahaan tebu di Sumsel yang diduga melakukan pembakaran saat panen tebu, antara lain PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII di Kabupaten Ogan Ilir, PT. Laju Perdana Indah (LPI) di Kabupaten OKU Timur, dan PT. Pratama Nusantara Sakti (PNS) di Kabupaten OKI. Tambahnya, ada beberapa lahan perkebunan milik masyarakat yang dilakukan pembakaran.
Saud menjelaskan, pihaknya telah menetapkan tujuh karyawan perusahaan perkebunan sebagai tersangka pembakar lahan. Kasusnya tengah didalami sebelum dilimpahkan ke kejaksaan.
Perusahaan tebu boleh membakar lahan?
Apakah aktivitas perkebunan tebu saat panen diperbolehkan melakukan pembakaran, Kepolisian Daerah Sumsel akan bekordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Tujuannya untuk mengetahui apakah analisa dampak lingkungan (Amdal) yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan tebu tersebut dibolehkan membakar lahan saat panen. “Jika tidak diperbolehkan, Kepolisian Sumsel akan menindak tegas,” jelas Saud.
Hadi Jatmiko dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, menjelaskan berdasarkan pasal 48 dan 49 UU No.18 Tahun 2004 tentang perkebunan, melarang perusahaan perkebunan dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan dengan cara membakar. Ancamannya maksimal 10 tahun penjara, dan denda maksimal Rp10 miliar. “Jika pun terbakar karena kelalaian tetap mendapatkan sanksi pidana penjara tiga tahun dan denda tiga miliar rupiah,” kata Hadi.
Tapi, proses hukum tidak sebatas pada pelakunya. Juga terhadap orang yang memerintah, mendapatkan keuntungan atau yang bertanggungjawab atas lahan yang terbakar. Ini sesuai pasal 119 ayat 1 dan 2 UU No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Hadi mengingatkan, dalam melakukan penegakan hukum ini, kiranya kepolisian tidak melakukan pilih kasih. “Kami yakin bencana asap ini disebabkan oleh berbagai kebakaran hutan dan lahan milik sejumlah perkebunan. Bukan hanya perkebunan tebu tersebut,” katanya.
Jadwal sekolah terganggu
Kian menebalknya kabut asap, membuat Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Palembang mengeluarkan surat edaran kepada sekolah yang menghimbau jam masuk sekolah dimundurkan.
Jam belajar-mengajar diundur sampai pukul 07.30 WIB yang sebelumnya jam 07.00 WIB. Sementara yang masuk siang, jadwal kepulangannya dimajukan menjadi 16.30 WIB yang sebelumnya pukul 17.00 WIB. Sementara mata pelajaran pada siang dikurangi 10 menit.
Penerbangan di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang pada Jumat pagi sempat terganggu. Penerbangan kembali berjalan sekitar pukul 10.35 WIB.
BNPB kerja keras
Berbagai upaya dilakukan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Sumsel dalam menanggulangi kabut asap. Mulai dari modifikasi cuaca berupa penyemaian awan (cloud seeding) hingga bom air (water bombing) di atas titik api (hotspot) yang terpantau. Melalui darat, misalnya di areal lahan gambut yang sedang membara, upaya dilakukan dengan membuat sekat dan membasahi lahan untuk mengisolir daerah yang membara. Tapi usaha mereka belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
“Hari ini kita tebar lagi empat ton garam untuk mempercepat hujan. Memang kondisinya saat ini awan kumulunimbus sangat sedikit, tetapi tadi ada laporan sedikit hujan gerimis,” kata Yulizar Dinoto, Ketua BNPB Sumsel, di Posko Satgas Penanggulangan Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan 2014, di Jalan Soekarno-Hatta Palembang.
Berdasarkan data BMKG hingga pukul 05.00 WIB, Jumat, data hotspot yang terdeteksi di Sumsel terfokus di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Dengan total 79 titik, hotspot di OKI terbesar di Tulungselapan yakni 68 titik, Kecamatan Pedamaran dengan 8 titik, Kecamatan Cengal 2 titik, dan Kecamatan Pampangan 1 titik. “Hari ini kita terbangkan helikopter Bosco ke OKI, mudah-mudahan hotspot di daerah tersebut dapat teratasi,” jelasnya.
Hotspot di lahan gambut di Sumsel cukup sulit dikendalikan. Setelah berhasil dipadamkan apinya bukan berarti persoalan selesai. “Harus terus dipantau, karena pagi hari mati, siang bisa muncul kembali. Ini yang menjadikan jumlah titik api selalu berubah. Kemarin, sudah banyak yang berhasil “dijinakkan”, hari ini atau besok bisa aktif kembali,” ujarnya.
Sigit Wibowo, Kepala Dinas Kehutanan Sumsel, menyatakan saat musim kemarau Sumsel merupakan daerah yang rawan terjadi kebakaran hutan. Kebakaran pada tahun ini bukan hanya di lahan pertanian, perkebunan, juga hutan lindung.
“Areal hutan lindung yang terbakar berada di Kawasan Konservasi Padang Sugihan dan di hutan lindung daerah Musi Banyuasin. Berapa jumlah luas lahan hutan lindung, lahan pertanian, dam perkebunan yang terbakar belum bisa dipastikan sekarang. Sementara ini, kita fokus pada upaya pemadaman dan antisipasi kebakaran lahan,” ujarnya.
“Nanti baru dievaluasi, dari data instansi yang tersebar di daerah. Kalau sekarang kan, data dasarnya baru berupa spot-spot yang terdeteksi. Itu pun jumlahnya selalu berubah-ubah. Sekarang kita fokus untuk meminimalisir hotspot yang ada, baik di dalam kawasan hutan maupun yang di luar,” kata Sigit.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio