Dulu di masa kolonial, marga Semende dikenal sebagai pejuang gagah berani. Mereka sulit ditaklukkan karena mampu berperang dengan cara bergerilya di hutan. Saat ini Semende dikenal dengan kopi luwaknya.
Kopi luwak yang ada di Semende ini bersifat alami. Kopi benar-benar diambil dari kotoran luwak yang tercecer di kebun kopi. Tidak ada petani yang memelihara luwak yang kemudian memberi makan biji kopi untuk mendapatkan kopi luwak. Kopi yang dimakan luwak yang datang ke kebun merupakan biji kopi yang telah matang, sehingga kopinya sangat berkualitas.
“Ini buktinya,” ucap M. Fathudin, tokoh warga Desa Muara Dua, seraya memberikan kami biji kopi yang telah di makan luwak. Di kebun kopi masyarakat Semende, luwak bebas memilih biji kopi matang mana yang akan dimakan. “Kami hanya menandai saja, bila ada biji kopi memerah di pohon, paginya, kami akan menemukan biji itu telah dimakan luwak.”
Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Muara Enim, luasan kebun kopi yang ada mencapai 23.485 hektar dengan produksi per tahun sekitar 25.125 ton. Sayang, karena kurang pembinaan, sekitar 1.311 hektar tanaman kopi mengalami kerusakan.
Pengelolaan kopi yang dilakukan masyarakat Semende umumnya masih tradisional. Cara ini dimulai dengan penjemuran biji kopi berkualitas baik di lapangan atau di tengah jalan. Pilihan di tengah jalan, selain karena aspal memancarkan panas, menjemur di jalan adalah upaya aga kopi yand dijemur dapat dilindas kendaraan yang membuat kulit kopi mengelupas.
Setelah kering biji kopi dimasukan mesin untuk dibersihkan kulit yang tersisa. Sebelum dijemur kembali biji kopi dicuci. Setelah kering biji kopi disimpan, atau disangrai hingga berwarna hitam sebelum ditumbuk atau dimasukan ke mesin penggiling untuk mendapatkan bubuk kopi. Pola tradisional ini membutuhkan waktu berkisar dua hingga tiga pekan.
“Yang terpenting pula dibangunnya infrastruktur pasar, kios usaha, sistem transportasi, serta sistem komunikasi. Kami pun butuh tenaga pendamping,” ujar Fathudin. Dia berharap agar pemerintah turun tangan untuk membantu mereka dalam mengelola kopi, termasuk teknologi untuk pengolahan biji maupun bubuk kopi.
***
“Para leluhur kami menanam kopi. Jadi kami pun tahunya menanam kopi. Dengan adanya program Hutan Desa ini kami ingin kembangkan kopi Semende lebih jauh lagi, sehingga tersebar di seluruh Indonesia maupun dunia,” jelas Sarmanuddin, salah satu warga, menambahkan informasi.
Saat itu, dia mendampingi kami berjalan ke Hutan Lindung Jambul Asahan yang telah dijadikan Hutan Desa milik warga Desa Muara Danau. Di hutan itu dijumpai tanaman seperti durian, nangka dan jengkol. Tumbuhan ini ditanam di sekitar pohon kopi.
“Kami juga akan menanam manggis dan sirsak. Kami saat ini tengah mencari bibitnya. Tapi ada juga warga yang menanam alpukat. Hasil dari tanaman ini merupakan masukan sampingan bagi kami,” kata Sarmanuddin. “Intinya kami siap menanam apa saja, termasuk dibina. Asal kami yakin tanaman tersebut menghasilkan, punya pembeli dan harganya stabil. Kami ingin hidup sejahtera.”
Dari penjelasannya, masyarakat sekarang benar menjaga Hutan Desa, termasuk membangun Lembaga Pengelolaan Hutan Desa untuk mengontrol aktivitas warga yang terlibat dalam program Hutan Desa. Jika ada yang melakukan pelanggaran, seperti perambahan dan pembakaran, lembaga akan menindak.
“Beberapa waktu lalu, ada warga yang menebang pohon di hutan lindung. Warga yang tergabung dalam lembaga pengelola hutan desa melakukan rapat dan memutuskan hukuman kepada pelakunya. Selain membayar denda, pelaku juga diwajibkan menanam kembali pohon pada lokasi yang pohonnya ditebang,” katanya.
Hutan Desa digadang-gadang ke depannya akan meningkatkan taraf hidup masyakarat Semende. Namun, dalam pandangan Fathudin, tanpa ada pendidikan yang baik, generasi Semende ke depan tidak akan dapat hidup sejahtera.
“Memang, saya mendorong warga Semende yang terlibat program Hutan Desa untuk fokus pada pendidikan anak-anaknya. Ke depan mereka diharap mampu mandiri. Tidak semuanya bergantung pada pertanian. Mereka bisa saja mengembangkan diri pada profesi lainnya, sesuai dengan pendidikan yang didapat,” ujar Fathudin.
Menurut Fathudin, pendidikan formal yang diterima generasi muda Semende sedikit tertinggal dari daerah lain di Muara Enim. Dampaknya, generasi muda Semende yang hanya sebagian besar lulusan SLTA, bertahan menjadi petani kopi. Lantaran lahan terbatas, mereka pun terpaksa membuka hutan buat berkebun kopi.
Menurutnya, tanah pertanian kedepan akan semakin terbatas, pendidikan bagi generasi penerus, merupakan satu-satunya cara agar mereka bisa terjamin kehidupannya. Dalam adat Tunggu Tubang di Semende, hanya anak perempuan tertua yang mendapat warisan yang biasanya berupa kebun. Anak laki-laki maupun anak perempuan yang lebih muda tidak mendapatkan warisan.
“Dampaknya, adik-adiknya berusaha mendapatkan lahan untuk rumah, sawah dan perkebunan. Jika tidak mampu merantau atau memiliki pekerjaan lain, atau hanya mengandalkan pertanian, terpaksa membuka lahan buat perkebunan atau persawahan,” katanya.
“Saya yakin jika generasi muda di Semende berpendidikan tinggi, mereka tidak lagi bergantung pada perkebunan kopi,” katanya. “Hutan belantara berani dimasuki, hutan kebodohan pasti bisa mereka lalui.”
Dengan berjuang dalam dunia pendidikan, citra pejuang bagi marga Semende dapat kembali melekat, jika dulu berjuang melawan penjajah, sekarang berjuang menjadi manusia unggul di era modern.
Tulisan sebelumnya dapat dijumpai di tautan ini:http://mongabaydotorg.wpengine.com/2014/09/27/inilah-perjuangan-membangun-hutan-desa-di-tanah-penghasil-kopi-luwak-bagian-1/ |