Kebun warga ini berisi aneka ragam pepohonan. Ada pohon jengkol, petai, durian, nangka, karet, pinang, asam kandis dan lain-lain. Berbaur. Bersama pepohonan lain, beragam tanaman ini memenuhi hutan Nagari Sei Buluh, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman, Sumatera Barat.
“Dari sinilah kami hidup sehari-hari. Kami menanam pohon-pohon ini karena berumur lama. Sampai anak cucu kami masih bisa menikmati. Ia juga menjadi hutan yang bermanfaat bagi kami,” kata Syafrizal Tanjung, Wali Korong Kuliek, akhir Agustus 2014. Pria 39 tahun ini sudah empat tahun menjadi wali korong.
Saya berkesempatan melihat-lihat kebun di hutan nagari bersama wali korong. Tak mudah akses ke sana, hanya bisa menggunakan sepeda motor sebagian, lalu berjalan kaki. Jalan setapak, cukup terjal, berliku dan naik turun. Kala musim hujan, jalan licin dan becek. “Ini warga gotong royong buat jalan setapak dan jembatan. Kami harapkan pemerintah bisa memperhatikan kesulitan akses jalan ini. Tak usah jalan lebar, cukup pengerasan hingga musim panas maupun hujan kami bisa mudah ke kebun.”
Di sana, sebagian tanaman sudah mulai berbuah. Pohon petai menjulang tinggi dan berbunga. Jengkolpun berbuah lebat. Karet sudah mulai sadap. Di bawah pohon, Wali menanami cabai, jahe, kunyit dan tanaman lain. “Kami di sini gini, lahan di bawah pohon juga ditanami. Jadi, tak kosong, tanaman keras sampai bumbu-bumbu juga ada. Lumayan kan?”
Sebagian lahan baru mulai tanam. Tampak, pohon durian, karet, jengkol, petai sampai karet baru berumur sekitar setahun. Daun berwarna hijau muda sungguh menyegarkan mata.
Di kebun Syafrizal, tanaman mulai panen jengkol 30 pohon, 15 durian, dan petai 14 pohon. Dia mulai menanam lagi 50 pohon durian, 75 jengkol, dan ratusan karet.
Di bagian lain tampak tanaman karet, durian sampai jengkol yang sudah berumur puluhan tahun. “Ini dulu, nenek-nenek kami yang tanam. Kami masih bisa menikmati sampai sekarang.”
Menurut dia, panen petai dan durian baru saja usai dan mulai berbunga lagi. Kini, warga bersiap panen jengkol. Biasa mereka menjual jengkol masih dengan kulit per karung berisi 28 kg. “Kalau harga lagi tinggi per karung bisa Rp1,4 juta. Sekarang, lagi banyak panen, hanya Rp400 ribuan per karung. Mungkin ada sekitar 30 karung di kebun,” ujar dia. Pada panen lalu, petai Rp15.000 per 10 tangkai. Kadang lebih mahal. Sedang asam kandis tak pakai musim, selalu ada. Buah kering per kg Rp5.000.
Di dataran rendah, warga juga bercocok tanam, dari padi, jagung, sampai kacang-kacangan. Hamparan sawah tampak di sekitar perumahan warga. “Semua yang kami tanam ini alami, tak ada yang pakai pupuk kimia,” ucap Syafrizal.
Menurut dia, tanaman tak hanya sejenis itu agar warga memiliki pendapatan terus menerus. Tanaman seperti durian, jengkol sampai petani itu buah musiman. “Kalau habis panen durian. Kami tak putus. Menyusul panen petai, lalu jengkol. Yang bisa tiap hari diambil karet dan asam kandis atau pinang. Kalau semua tanaman sama kami sekali saja panen. Sudah itu mau kerja apa?” ujar dia.
Dalam membuka hutan pun, mereka mempunyai kearifan tersendiri. Warga menebang pohon tak sembarangan. Pohon ditebang dengan menyisakan sekitar satu meter dan masih hidup. Alasannya, kala pohon baru ditanam dan masih kecil, tanah ada penahan dengan pohon lama yang hidup walau sudah ditebang. “Nanti, kalau tanaman warga sudah besar, baru pohon itu ditebang.” Bukan itu saja, mereka tak asal tebang. Pohon-pohon besar yang berfungsi sebagai penyangga di kebun tetap berdiri kokoh.
Kala ingin menanam dan membersihkan lahanpun, tak dengan membakar. Tebangan pohon dan rumput dibiarkan mengering dulu sebelum ditanami. “Ini kan nanti jadi pupuk. Jadi kami biarkan saja dulu sampai kering, baru tanam.”
Lahan perkebunan dan pertanian warga itu, ada di hutan candangan, hutan kelola dan hutan kesepakatan. Hutan cadangan, yakni kawasan budidaya pertanian dan perkebunan tetapi buat cadangan generasi berikut. Lalu, hutan kesepakatan merupakan kawasan agroforest berdasarkan kesepakatan masyarakat. Sedang hutan kelola merupakan kawasan untuk kehidupan sehari-hari warga, seperti parak dan sawah.
Ada satu lagi, hutan larangan. Hutan di kawasan ini tak boleh diganggu oleh penebangan sama sekali. Korong Kuliek dan Korong Salisikan, berada di hulu sungai hingga memiliki hutan larangan. “Dari hulu sungai di hutan inilah pasokan air PDAM berasal,” katanya.
Air di hulu sungai jernih dan mengalir deras memehuni kebutuhan air bersih warga nagari, irigasi dan zonasi sungai. Air bersih dan jernih memungkinan ikan-ikan berkembang. Di Sungai Salisikan, sepanjang 15 km, mereka menerapkan zona tangkap ikan guna menjaga keberlangsungan ikan-ikan di sana. Ada zona larang tangkap sepanjang tiga km, zona penyangga dan zona bebas. Syafrizal berencana menerapkan hal serupa di Sungai Kuliek.
Dia mengatakan, menjaga hutan menjadi kewajiban. Hutan, katanya, merupakan sumber kehidupan mereka. “Kalau hutan tak dijaga, dari mana mau mata pencarian? Air bersih? Bencana banjir dan longsor pun mengancam. Yang rugi kami juga. Bagi kami, hutan lestari, masyarakat sejahtera.”
Kehadiran hutan nagari ini tak lepas dari peran Wali Korong Kuliek ini. Menurut dia, keinginan ada hutan nagari berawal kala dia menonton TVRI. Tayangan beberapa kasus konflik lahan di Sumatera dan Kalimantan, membuat dia khawatir akan wilayah kelola warga. “Kami kelola tanah ulayat, tapi menurut pemerintah itu hutan lindung. Bisa jadi macam di tivi itu menimpa kami,” katanya.
Diskusi dan rapat-rapatpun dilakukan dan berlanjut pengusulan hutan nagari, yang difasilitasi Warsi, di lokasi hulu-hulu sungai Korong Salisikan dan Kuliek seluas 2.500 hektar. Keputusan hutan nagari seluas 1.336 hektar, dari Kemenhut keluar pada 2 Desember 2013.
Di kawasan ini, selain tanaman yang sudah dikelola warga, banyak potensi lain bisa dimanfaatkan, seperti rotan, manau, madu hutan, pandan, bambu, jamur, sarang walet sampai obyek wisata. Ada beberapa lokasi berpotensi menjadi tempat pemandian, air terjun di Lubuk Sarasah, sampai arung jeram seperti di Kuliek dan Salisikan.
Mereka berencana menjadikan itu obyek wisata alam. Air deras berbatu-batu besar dengan kiri kanan pepohonan rimbun menjadi pemandangan indah dan menarik. “Sudah mulai kalau hari libur, orang dari kota datang ke sini untuk mandi bersama keluarga.” Syafrizal menunjuk ke Sungai Salisikan, beberapa orang bermandi riang di tengah air deras di sela-sela bebatuan.
Keragaman hayati pun masih banyak di hutan ini. Ada harimau Sumatera, kukang, kijang, landak, monyet, rusa, babi hutan sampai berbagai macam spesies burung dan mamalia kecil. Untuk jenis kayu, ada mahoni, madang, surian, paniang-paniang dan lain-lain.
Salisikan dan Kuliek, dua dari delapan korong di Nagari Sei Buluh. Selain itu, ada Korong Kampung Apar, Tanjung Basung, Banda Cino, Kabun, Talang Jala dan Pasa Usang.
Nagari Sei Buluh, sepertiga kawasan berada di Bukit Barisan dengan topografi berbukit dengan ketinggian 12-800 meter dari permukaan laut. Penduduk nagari ini sekitar 14.672 jiwa atau 3.542 keluarga dengan luas wilayah 19.250 hektar. Warga di sini terdiri dari beberapa suku, antara lain, Suku Panyalai, Tanjuang, Koto, Jambak dan Guci.
Saharuddin, Wali Nagari Sei Buluh mengatakan, warga menjaga hutan agar tak terjarah. Terlebih, Korong Salisikan dan Kuliek, berada di dataran tinggi. Kalau, hutan gundul maka bencana alam terjadi. Warga pun melakukan pengawasan dan patroli hutan mandiri serta bergiliran.
Meskipun begitu, menjaga hutan bukan perkara mudah. Ada saja tangan-tangan jahil menebang pohon terutama di hutan larangan. “Masih ada penebang liar. Beberapa waktu lalu warga memergoki tiga orang penebang liar. Mereka melarikan diri, tapi gergaji mesin berhasil disita.”
Tak pelak, beberapa bagian hutan yang harus terjaga sempat terbabat. Hal ini pula yang menambah dorongan mereka mendapatkan hutan nagari. “Sekaligus mengelola, kami juga bisa mengawasi hutan lebih ketat lagi,” kata Saharuddin.
Warga nagari sudah mengalami beberapa kali banjir dan longsor dampak hutan terjarah, kali terakhir 2013. “Jembatan, jalan, rumah-rumah sampai lahan pertanian habis terendam. Tanggul di Salisikan juga jebol.”
Hal ini dibenarkan M Hasan K, Wali Korong Salisikan. Dia memperlihatkan bekas tanggul jebol yang hingga kini belum diperbaiki oleh pemerintah. Batu-batu tampak berserakan tak beraturan di tepian Sungai Salisikan.
“Tanggul cuma batu ditumpuk-tumpuk. Hujan deras, jebol. Habis rumah, dan sawah warga. Itu karena hutan di sana ada yang nebang,” katanya sambil menunjukkan hutan di dataran tinggi di seberang sungai. Dia berharap, pemerintah segera membangun kembali waduk dengan lebih permanen.
Heru Prasetyo, kepala Badan Pengelola REDD+ pada akhir Agustus 2014, juga mengunjungi hutan nagari ini. Dia berdialog dengan wali nagari, wali Korong, niniek mamak dan tokoh-tokoh adat dan warga di sana. Di sini, dia melihat satu hal sangat indah. Kebiasaan masyarakat merawat hutan sebagai kearifan lokal, katanya, sudah terjadi dari zaman dulu.
“Sekarang ada ilmu baru seharusnya bisa dimanfaatkan buat kearifan lokal tadi, menjadi kearifan lokal plus. Jangan dibalik dan mengatakan, menggunakan ilmu baru dengan menambah sedikit kearifan lokal. Kearifan lokal itu akar.”
Bagaimana caranya? Pemerintah daerah maupun pusat, kata Heru, membikin peraturan pemutakhiran keefektifan kearifan lokal dalam mengelola alam. Inilah yang sudah berjalan di Nagari Sei Buluh.