Kawasan hutan-hutan Sulawesi, yang merupakan bagian kawasan Wallacea memiliki keanekaragaman hayati tinggi, baik flora dan faunannya. Flora dan fauna yang unik menjadikan kawasan tersebut banyak dijelajahi dan diteliti oleh para ahli.
Myers dkk pada tahun 2000 mencatat bahwa daerah Wallacea termasuk dalam 25 “hotspot” untuk konservasi. Setidaknya ada 10.000 jenis tumbuhan, dimana 1.500 jenis merupakan tumbuhan endemik (0,5 persen tumbuhan endemic dari 300.000 tumbuhan dunia). Ada 1.142 jenis vertebrata, dan 529 vertebrata diantaranya merupakan endemik (1,9 % dari total vertebrata dunia sekitar 27.298).
Jenis burung sekitar 697 dan 249 merupakan jenis endemik, mamalia sekitar 201 jenis dan 123 merupakan mamalia endemik, jenis reptile sekitar 188 dan 122 merupakan jenis endemik, ampibi sekitar 56 jenis dan 35 merupakan endemik.
Jika ditotal maka dari 1.142 jenis maka 529 merupakan jenis endemik di Wallace. Flora dan fauna tersebut mengalami tantangan yang tidak ringan, sebab hanya 15 persen habitat alami yang masih tersisa. Salah satu habitat alami berada di kawasan konservasi seluas 39,2 persen.
Satwa khas yang mendiami wilayah Sulawesi yang merupakan bagian dari kawasan Wallace adalah tarsius (tangkasi). Di Sulawesi terdapat 11 jenis tarsius, yaitu T. tarsier, T. fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T. dentatus, T. pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T. wallacei dan 2 jenis yang diketahui dari jenis berbeda tetapi belum diberi nama seperti yang disampaikan oleh Groves dan Shekelle pada tahun 2010.
Di Sulawesi Utara, salah satu lokasi yang menjadi habitat Tarsius spectrum adalah di Cagar Alam (CA) Tangkoko Batuangus. Catatan dari Gursky pada tahun 1998 menyebutkan kepadatan populasi T. spectrum di Tangkoko Batuangus di habitat hutan primer sebanyak populasi 156 individu/ km2.
Penelitian yang dilakukan baru-baru ini di kawasan tersebut oleh Lowing dkk tahun 2013 lalu menyatakan bahwa satwa nocturnal ini mendiami pohon-pohon besar dan umumnya tarsius memilih pohon Ficus sp sebagai sarang utama.
Pada tahun yang sama, Saroyo dkk meneliti kepadatan tarsius bahwa berdasarkan jumlah total individu, kepadatan di daerah penelitian adalah 1,89 individu / ha atau 189 individu / km2. Jika dilihat dari penelitihan sebelumnya ada sedikit peningkatan, namun demikian tidak serta merta aman dari gangguan.
Hewan Nokturnal
Lalu, binatang apakah tarsius itu? tarsius atau di Sulawesi sering disebut tangkasi merupakan satwa nokturnal atau biasanya aktif di malam hari. Saroyo, salah satu pakar primata dari Sulawesi mengatakan bahwa tarsius memiliki ciri/karakter yang mendukung hidup di malam hari.
“Sebagai hewan nokturnal ditandai dengan mata yang diadaptasikan untuk penglihatan malam, warna yang tidak menyolok, serta penggunaan vokalisasi yang efektif untuk komunikasi di antara anggota kelompok maupun dengan individu dari kelompok lainnya”, jelas Saroyo.
Satwa ini juga merupakan insektivor yaitu satwa yang memiliki rantai pakan utamanya adalah serangga. Tangkasi ini juga memakan vertebrata kecil seperti ular dan cicak.
Tarsius memiliki cara unik dalam mencari makan maupun berinteraksi dengan kelompok lain yaitu dengan berpindah tempat secara melompat (leaping) dari satu cabang/pohon ke cabang/pohon lainnya. Tarsius memiliki sarang dipohon-pohon hutan seperti Ficus sp dan biasanya keluar pada sore hari untuk melakukan penjelajahan di daerah jelajah mereka (home range) di sepanjang malam dan kembali ke sarang menjelang pagi. “Pada saat-saat tersebut, antara jantan dan betina pasangan akan mengeluarkan suara bersahut-sahutan yang biasa disebut duet call,” ungkap Saroyo.
Disisi lain, tarsius juga memiliki “musuh” yaitu predator alami seperti ular, burung hantu, biawak, dan juga tikus dapat memakannya. Satwa pesaing dari tarsius atau sebagai kompetitornya terutama hewan insektivor nokturnal seperti kelelawar pemakan serangga dan burung insektivor nokturnal.
Di alam, tarsius hidup dalam kelompok monogami/keluarga, yang terdiri dari satu jantan dewasa, satu jantan dewasa, dan anak-anak sebelum disapih. Kemudian setelah dewasa, si anak akan keluar dari kelompok tersebut dan membentuk sebuah kelompok baru.
Dapat juga dijumpai dalam satu sarang terdapat lebih dari satu jantan dewasa dan lebih dari satu betina dewasa, sehingga diperkirakan mereka juga dapat hidup dalam kelompok multimale-multifemale (banyak jantan-banyak betina).
“Secara pasti apakah mereka kawin secara acak dalam kelompok multimale-multifemale ini, belum ada penelitian lebih lanjut dan diperkirakan kelompok multimale-multifemale di alam sekitar 20 persen”, tambah Saroyo.
Satwa dilindungi
Satwa unik ini pun juga tidak lepas dari ancaman. IUCN telah menempatkan satwa ini pada kategori rentan. Sedangkan Pemerintah telah memasukkan seluruh taksa hewan itu dalam perlindungan dalam PP. No. 7/1999 dan UU No. 5/1990.
Penurunan populasi terutama disebabkan karena degradasi lingkungan, walaupun kadang-kadang diburu atau dikira tikus sehingga dikonsumsi atau “tola-tola” pada saat mengonsumsi miras.
Hilangnya habitat, perburuan untuk diperdagangkan ataupun sebagai peliharaan menjadi ancaman serius. Untuk itu diperlukan berbagai upaya konservasi. Salah satu upaya konservasi melalui dorongan kepada pengambil kebijakan untuk menjadikan tarsius sebagai flagship species karena jenis ini memiliki keunikan dan endemik.
Shekelle dan Leksono pada tahun 2004 menungkapkan tentang upaya-upaya agar tarsius lebih diperhatikan melalui flagship species. Menurut mereka, beberapa kelebihan mengapa satwa ini dijadikan flagship species antara lain : sebaran luas, banyak taksa endemik yang tersebar di hampir seluruh daerah endemisitas, berada di lebih banyak tipe habitat, bukan merupakan hama, tidak memiliki nilai ekonomi (misal daging atau bagian tubuh lain), dan sebagai satwa kharismatik.
Selain mendorong ke arah flagship species, upaya yang lain secara simultan perlu dilakukan agar satwa ini bisa bertahan dan berkembang biak di alam. Pemahaman terhadap pentingnya habitat bagi satwa ini kepada masyarakat luas, termasuk kepada pemerintah dan aparat penegak hukum, alternatif pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan berkelanjutan dapat mengurangi tekanan/ancaman terhadap tarsius agar nantinya kita tidak hanya melihat foto dan gambarnya saja, namun masih tetap melihat mereka aman di alam.
Bahan bacaanGroves C and Shekelle M. 2010. The genera and species of tarsiidae. International Journal of Primatology 31 (6): 1071- 1082.Lowing, A.E., Rimbing, S.C., Rembet, G.D.G., Nangoy, J. 2013. Karakteristik Sarang Tarsius (Tarsius spectrum) di Cagar Alam Tangkoko Bitung Sulawesi Utara. Jurnal Zootek (“Zootek”Journal), Vol.32 No.5 (Januari 2013)
Myers, N., Mittermeier, R.A., Mittermeier, C.G., Fonseca, G. A.B., Kent, J. 2000. Biodiversity hotspots for conservation priorities. Nature Vol. 403, 24 February 2000. Macmillan Magazines Ltd Saroyo, Koneri, K., Siahaan, R., Tallei, T.E., Kiroh, H.J., and Repi, T. 2014. Density of Tangkasi (Tarsius spectrum) Population and Development of Population Estimation Method Based on Duet Call at Tangkoko-Batuangus Nature Reserve, North Sulawesi. Current Research Journal of Biological Sciences 6(1): 42-45, 2014 Shekelle, M. dan Leksono, M. 2004. Strategi Konservasi di Pulau Sulawesi dengan Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies. Biota Vol. IX (1): 1-10, Februari 2004 |