65 Perusahaan Tambang Diduga Masuk Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi di Aceh

Hingga September 2014, perusahaan pertambangan yang telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh mencapai 134 perusahaan. Sekitar 65 perusahaan terindikasi berada di hutan lindung dengan luasan konsesi 399.959,76 hektar dan empat perusahaan masuk dalam kawasan konservasi yang luasnya sekitar 31.316,12 hektar.

Fakta tersebut berdasarkan Surat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Nomor S.702/VII-PKH/2014 tertanggal 10 Juli 2014 yang didapatkan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh.

Surat yang ditandatangani Bambang Soepijanto, selaku Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan ditujukan kepada Gubernur Aceh, Bupati dan Walikota di Aceh, serta Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, sehubungan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara guna sinkorninasi data izin IUP, PKP2B (Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) terhadap peta kawasan hutan di wilayah Aceh.

Surat tersebut juga ditembuskan ke Menteri Kehutanan, Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

“Hasil analisis melalui overlay data izin bidang pertambangan di Provinsi Aceh dengan peta kawasan hutan di Aceh didapatkan data empat perusahaan yang arealnya terindikasi berada pada kawasan hutan konservasi yang luasnya mencapai 31.316,12 hektar. Serta, terdapat 65 perusahaan yang arealnya terindikasi berada pada kawasan hutan lindung yang luasnya mencapai 399.959,76 hektar,” tulis Bambang Soepijanto.

Bambang juga menuliskan berdasarkan pasal 38 atau (1) UU Nomor 41 tahun 1999 jo. UU Nomor 19 tahun 2004, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Selanjutnya pada ayat (4) ditegaskan, pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

“Penambangan dengan pola pertambangan terbuka pada kawasan hutan lindung hanya diperkenankan bagi 13 izin atau perjanjian di bidang pertambangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 yang terlah ditetapkan menjadi UU Nomor 19 tahun 2004. Ini, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 2004 tentang perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan,” kata Bambang.

Berdasarkan data dan ketentuan tersebut, tulis Bambang, Gubernur Aceh, Bupati dan Walikota, serta Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM dapat mencermati kembali dan melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangannya untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum berupa kegiatan penambangan dalam kawasan konservasi dan hutan lindung dengan pola pertambangan terbuka.

10 perusahaan sudah clear and clean

Askhalani, Koordinator GeRAK Aceh, terkejut setelah menyimak lampiran surat tersebut. Dari 65 perusahaan yang masuk hutan lindung, ada 10 perusahaan yang sudah Clear and Clean (CnC). “CnC merupakan standar yang telah ditetapkan Dirjen Minerba Kementrian ESDM bahwa perusahaan tersebut sudah tertib regulasi dan administrasi.”

“Kami menilai CnC yang telah diberikan Kementerian ESDM kepada perusahaan, tidak bisa menjamin perusahaan tersebut sudah melakukan praktik tata kelola yang baik,” kata Askhalani.

Ke-65 perusahaan pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung, tersebar di Aceh Tengah (15), Pidie (12), Aceh Selatan (8), Nagan Raya (8), Aceh Barat (7), Gayo Lues (5), Subulussalam (3), Aceh Barat Daya (2), Kabupaten, Aceh Jaya (1), Aceh Besar (1), serta Aceh Timur (1).  Sedangkan perusahaan yang masuk hutan lindung yang memegang PKP2B berada di Aceh Barat (1) dan Pidie (1).

Sementara, sebaran perusahaan pertambangan yang masuk kawasan konservasi yaitu di Aceh Tengah (2), Gayo Lues (1), dan Kabupaten Aceh Selatan (1).

Diduga tidak ada pemetaan

GeRAK Aceh memperkirakan, selama ini, sebelum izin pertambangan dikeluarkan, pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten dan kota di Aceh, tidak pernah melakukan pemetaan, misalnya areal tersebut masuk ke dalam kawasan hutan lindung dan konservasi.

“Bupati dan walikota yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan izin harus bertanggung jawab terhadap perusahaan yang masuk dalam hutan lindung dan konservasi, karena kalau memang itu tidak ditindaklanjuti, kemungkinan besar hutan lindung dan hutan konsevasi di Aceh akan rusak,” kata Askhalani.

Oleh karena itu, sambungnya, pemerintahan di Aceh diminta segera melakukan evaluasi seluruh IUP yang ada. “Hal tersebut untuk mendorong tata kelola pertambangan di Aceh, apalagi diketahui banyak dari perusahaan yang sudah mengantongi izin masuk dalam kawasan hutan lindung dan konservasi.”

Lebih jauh, dia menduga bupati dan walikota di Aceh tidak pernah menjalankan rekomendasi Gubernur Aceh terkait perizinan pertambangan. “Kami juga menduga, dalam izin yang diberikan bupati atau walikota banyak yang dipaksakan dan dengan modus suap,” katanya.

Desakan agar Zaini Abdullah (Gubernur Aceh) mengevaluasi semua perusahaan pertambangan yang ada di Aceh, juga disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur. “Dan segera mencabut semua izin perusahaan tambang yang melanggar aturan, termasuk yang berada di kawasan hutan lindung atau di kawasan konservasi.”

Data Walhi Aceh menyebutkan, hingga Februari 2014,  jumlah IUP pertambangan di Aceh mencapai 136, dengan luas area mencapai 780.409,31 hektar. Dari 136 perusahaan yang sudah mengantongi izin beroperasi, sekitar 66 IUP di hutan lindung dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sisanya, berada di hutan produksi dan areal penggunaan lain (APL).

“Semua perusahaan yang telah memperoleh IUP di dalam hutan lindung dan KEL juga tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan dari Kementerian Kehutanan,” kata Nur.

Cek Dokumen terkait di tautan ini:

Surat-Dirjen-Planologi-Kemenhut.pdf

Izin-tambang-di-hutan-lindung.pdf

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,