Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin yang kerab menggadang-gadang komitmen penyelamatan hutan dan iklim di tingkat nasional maupun internasional seakan kehilangan sense of crisis. Di akhir masa jabatan, SBY membuat kemunduran serius di bidang lingkungan hidup, dengan mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai gambut. Terlebih, di tengah bencana asap kebakaran gambut di beberapa provinsi seperti, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, terjadi.
Kebijakan ini, tidak saja lemah dari sisi substansi dan terkesan dipaksakan terbit. Ia juga memanjakan korporasi dalam menghabisi gambut Indonesia. Sedari awal proses perumusan aturan inipun tidak melibatkan partisipasi aktif organisasi mayarakat sipil, terutama masyarakat di dalam dan sekitar ekosistem itu.
Penerbitan peraturan pemerintah tentang ekosistem gambut salah satu mandat dari Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tujuannya, menahan laju kerusakan kawasan ekosistem ekosistem gambut. Terhitung sejak Oktober 2013, beredar empat draf terkait peraturan ini. Namun, semua draf tetap tidak menekankan esensi perlindungan gambut total, dan masih membuka ruang perusakan oleh korporasi.
Presiden telah menandatangani PP bernomor 71 tahun 2014 ini tetapi sampai detik ini, masyarakat tidak bisa mendapatkan dokumen itu. Berdasarkan draf terakhir yang disepakati para menteri, kebijakan ini tidak melakukan proteksi menyeluruh ekosistem gambut yang tersisa, tidak memiliki unsur preventif melindungi warga negara dari bencana pembukaan gambut untuk perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri (HTI). (baca: bencana asap dan kekeringan).
Keberpihakan pemerintah, jelas pada nilai ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang (pengusaha). Tak sebanding dengan nilai kerugian akibat bencana asap. Bagaimana dengan puluhan ribu warga Indonesia, bahkan luar negeri yang menjadi korban kala gambut terbakar? Ekonomi lumpuh selama bencana, aktivitas pendidikan berhenti, puluhan ribu warga bisa menderita severe acute respiratory syndrome (SARS). Yaitu penyakit pneumonia atipik yang belum ditemukan vaksin pencegah dan pengobatan, akibat asap dari kebakaran hutan dan gambut.
Pengesahan PP Gambut tanpa mempertimbangkan keselamatan warga dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa melindungi total gambut tersisa, eksosistem rentan.
Berkaca pada bencana asap sepanjang 17 tahun terakhir merupakan dampak pembukaan dan pengeringan gambut untuk pembangunan kebun sawit dan HTI.
Mengharap keuntungan, buntung didapat. Kala bencana asap datang, dampak gambut terbakar, negara rugi puluhan triliun, putaran ekonomi terhenti karena gangguan pada sektor transportasi darat, laut dan udara, sekolah-sekolah libur, ribuan warga terserang ISPA bahkan sampai menelan korban jiwa.
Pemerintah mendapat protes keras dari negara tetangga. Tidakkah ini menjadi pertimbangan bagi SBY dalam melindungi ekosistem gambut total?
Penerbitan PP Gambut bertolak belakang dengan semangat ratifikasi UU Pengesahan Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas– bermaksud menunjukkan keseriusan dalam penanggulangan asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan gambut. Aturan ini juga gagal menjalankan amanat konstitusi dalam menjamin hak setiap warga negara mendapatkan lingkungana hidup sehat dan bersih.
Terbitnya PP ini juga hambatan utama bagi pemerintah dalam memimpin upaya pencegahan dan peanggulangan kebakaran hutan dan gambut pada regional ASEAN. Sebab, tidak ada perlindungan total terhadap ekosistem gambut dan merehabilitiasi yang rusak.
Mengutip dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam policy memo berjudul Menuju Konsensus Defenisi Lahan Gambut Indonesia;
“Lahan gambut meyimpan lebih banyak karbon dibandingkan jenis hutan lainnya, dan degradasi lahan gambut menghasilkan emisi berkelanjutan yang lebih besar dibandingkan emisi dari ekosistem lainnya. Ketika lahan gambut kering, karbon akan terlepas dan emisi akan berlanjut sampai simpanan karbon habis atau rehabilitasi dilakukan”
Pada dokumen itu disebutkan, dengan pendekatan business as usual (BAU) gambut akan menjadi sumber emisi terbesar nasional. Bahkan, terus memberikan kontribusi lebih dari 50% profil emisi Indonesia sampai 2030.
Mari berpikir. Pembangunan sektor kehutanan dan perkebunan di lahan gambut tak akan menghasilkan keuntungan signifikan, bila pemerintah dan kelompok bisnis mau berhitung jujur nilai kerusakan ekologi. Plus, buntut risiko bencana yang bakal muncul.
Seharusnya, SBY melakukan perlindungan total terhadap ekosistem gambut. Namun, SBY gagal. Kini, harapan kepada Presiden terpilih, Joko Widodo, bisa memberikan perlindungan bagi gambut dan lingkungan.