BKSDA Sumatera Selatan Berhasil Amankan 45 Satwa Liar

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan periode 2013-2014 berhasil mengamankan 45 satwa liar yang berasal dari 13 jenis satwa.

Rinciannya adalah kukang (7 ekor), siamang (6 ekor), beruang madu (6 ekor), kura-kura gading (6 ekor), elang (6 ekor), rusa sambar (5 ekor), kakatua-kecil jambul-kuning (2 ekor), owa sumatera (2 ekor), kasturi sulawesi (1 ekor), bangau tongtong (1 ekor), beo nias (1 ekor), kucing hutan (1 ekor), dan orangutan (1 ekor).

“Satwa ini hasil penertiban yang berasal dari perdagangan satwa liar, hasil razia, maupun dari penyerahan sukarela masyarakat,” kata Nunu Anugrah, Kepala BKSDA Sumatera Selatan (Sumsel), didampingi Doni Priyana, Penganalisis Bahan Pemanfaatan dan Pelayanan BKSDA Sumsel, belum lama ini.

Para pedagang, pembeli, atau pemilik satwa liar mengaku tidak tahu jika kepemilikan ataupun perdagangan satwa tersebut melanggar peraturan.

“Kami tidak tahu apakah mereka memang belum tahu atau pura-pura tidak tahu. Sebab daftar spesies yang dilindungi sudah dikeluarkan pemerintah melalui lampiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sedangkan secara internasional, daftar spesies yang dilindungi termaktub dalam CITES dan IUCN,” kata Nunu

Adapun satwa yang dilindungi dalam PP Nomor 7 Tahun 1999 mencakup 236 satwa yang terdiri dari kelompok binatang menyusui, burung, binatang melata, serangga, ikan, anthozoa, dan kerang-kerangan.

Suatu jenis tumbuhan ataupun satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi tiga kriteria, yaitu populasinya kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, serta daerah penyebarannya terbatas atau endemik.

Dijelaskan Nunu, di luar satwa yang berhasil diamankan, perdagangan satwa liar di Sumsel masih terus terjadi. Kekurangan personil serta belum adanya fasilitas konservasi masih menjadi kendala.

Disinggung mengenai penangkaran satwa, Nunu menjelaskan izin tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 19 tahun 2005 Tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. “Izinnya dapat diberikan perorangan, BUMN, atau BUMD. Di Sumsel, contohnya ada penangkaran rusa yang dikelola oleh PT. Pusri,” ujar pria asal Jawa Barat ini.

Pasar hewan

Keberhasilan BKSDA dan Polisi Kehutanan Sumsel mengungkap sejumlah kasus kepemilikan dan perdagangan satwa liar telah mempersempit ruang gerak pedagangan satwa liar. Namun begitu, bukan berarti Sumsel telah bebas dari kegiatan perdagangan ini.

Aktivitas jual beli satwa liar masih terjadi. Penelusuran Mongabay sepekan terakhir menunjukkan geliat perdagangan satwa di Pasar 16 Ilir Palembang tetap berjalan.

Oji (nama samaran) yang juga “makelar” satwa liar menyatakan aparat negara sering melakukan razia. Apalagi, dalam tiga tahun terakhir Palembang makin dikenal sebagai pemasok satwa liar seperti trenggiling, burung elang, juga owa sumatera.

“Untuk satwa dilindungi, sulit melacak di pasar sini, pemainnya profesional. Trenggiling yang paling dicari, harganya juga mahal, mencapai dua jutaan,” ujarnya.

Sama halnya dengan Pasar 16 Ilir, pedagang satwa di Pasar Cinde juga memilih untuk berdagang secara aman. Mereka tidak mau mengejar keuntungan dengan memperdagangkan satwa yang dilindungi undang-undang.

Salah seorang pedagang burung yang akrab disapa Pak Aji mengaku tidak berani memperdagangkan satwa langka yang dilindungi. “Aku dak berani, bisa ditangkap sama petugas kehutanan,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,