Indonesia Darurat Masyarakat Adat. Kenapa?

Dr. Totok Dwi Diantoro, pakar hukum kehutanan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menilai saat ini kondisi masyarakat adat di Indonesia kian termarginalkan.

“Kondisinya dapat dibilang darurat masyarakat adat,” kata Totok, seusai menjadi saksi ahli dalam persidangan enam masyarakat adat yang didakwa melakukan perambahan di hutan Suaka Margasatwa Dangku Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, di Pengadilan Negeri Palembang, Kamis (25/09/2014).

Penyebabnya, kata Totok, setahun hadirnya UU P3H (Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan) sedikitnya adat 11 kasus yang menjerat masyarakat adat. Satu kasus sudah divonis Pengadilan Negeri Bintuhan Bengkulu terhadap empat masyarakat adat Semende yang dipenjara selama tiga tahun.

Kini, enam masyarakat adat Tungkalulu dan Dawas, terancam kurungan 3-15 tahun oleh Pengadilan Negeri Palembang, karena dituduh merambah hutan SM Dangku. Jeratan berat tersebut karena masyarakat adat dijerat UU P3H.

“Setahu saya UU P3H belum pernah menjerat perusahaan perkebunan dan pertambangan yang justru banyak merusak hutan. Jadi UU P3H seolah dibuat untuk mengkriminalisasi masyarakat adat,” ujarnya.

Oleh karena itu, Totok berharap judicial review yang diajukan Koalisi Anti Mafia Hutan ke MK dapat dikabulkan. “Ini demi keadilan hukum bagi masyarakat adat di Indonesia,” katanya.

Secara politik, Jokowi diharapkan untuk meninjau ulang atau merevisi UU P3H yang disesuaikan dengan jiwa dan semangat untuk memberantas para penjahat kehutanan sebenarnya. “Bukan sebagai alat menghabisi masyarakat adat,” tegasnya.

Mualimin Pardi Dahlan, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menilai UU P3H tidak layak diberlakukan. Sebab praktiknya, ketentuan pengecualian dalam Pasal 1 angka 6 UU P3H, tidak pernah menjadi bahan pertimbangan atau rujukan para penegak hukum. Hingga yang kerap terkena masyarakat atau kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar dan kawasan hutan.

Tommy Indriyadi, dari AMAN Sumsel, menilai UU P3H merupakan satu wujud neokolonialisme. “Sebab dampaknya menghabisi masyarakat adat, yang merupakan pondasi bangsa Indonesia. Jadi, Indonesia ini secara sistematis dihabisi. Mulai dari sumber daya alam hingga manusianya. Ini sama seperti di jaman penjajahan bangsa Eropa dulu,” ujarnya.

Dalam kasus Dangku, kata Tommy, kesannya enam masyarakat adat itu merupakan penjahat yang merusak sekitar 70 ribu hektar lahan yang diklaim sebagai SM Dangku. “Ini kan gila. Faktanya ada enam perusahaan yang diduga memiliki konsensi di SM Dangku yang diklaim pemerintah tersebut,” kata Tommy.

Apa saja perusahaan tersebut? “Kita lagi memverifikasinya, dan ini juga sebagai bahan untuk melakukan gugatan terhadap mereka,” katanya.

Status SM Dangku dipertanyakan

Saat menjadi saksi ahli, Totok memberikan keterangan kepada majelis hakim yang dipimpin Albertina Ho, jika SM Dangku statusnya masih dipertanyakan. “Saya menjelaskan SM Dangku sifatnya masih penunjukkan, bukan penetapan. Clear sifatnya masih sementara, masih penunjukkan. Kalaupun penunjukkan itu masih eksis, tapi karena tahapan pengukuhan yakni penataan tata batas, pemetaan dan penetapan belum dilakukan, maka kepastian hukumnya tidak jelas. Statusnya SM Dangku dipertanyakan. Ini sebaiknya menjadi pertimbangan majelis hakim,” kata Totok.

Dijelaskan Totok, problem penetapan kawasan hutan di Indonesia, baik sebelum keluarnya MK 45 dan MK 35, bahwa penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan merupakan perbuatan yang sewenang-wenang dan otoriter, dan dilakukan sepihak tanpa melibatkan masyarakat sekitar.

Dalam kasus Dangku, jelas Totok, konflik terjadi ketika tanah adat marga Dawas dan Tungkalulu yang luasnya mencapai 7.000 hektar, yang diolah masyarakat sebagai lahan pertanian secara turun-menurun, kemudian diklaim sebagai kawasan SM Dangku. “Penunjukkan kawasan SM Dangku tersebut jelas tanpa lagi melihat fakta di lapangan,” ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, enam masyarakat adat yang dituduh melakukan perambahan di Dangku, saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Palembang. Dua tokoh masyarakat adat yakni Muhammad Nur Djakfar dan Zulkifli Dungcik didakwa melanggar Pasal 40 ayat (1) UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman penjara selama 10 tahun dan denda Rp200 juta.

Dakwaan kedua Pasal 94 ayat (1) huruf a UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp100 miliar.

Sementara empat warga lainnya, yakni Dedi Suyanto, Samingan, Ahmad Burhanuddin dan Sutisna, selain didakwa Pasal 40 ayat (1) UU No.5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, juga didakwa melanggar Pasal 98 ayat (1) UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman maksimal tiga tahun dan denda Rp1,5 miliar.

Definisi masyarakat adat pemicu persoalan?

Tumpulnya keputusan MK No 35 yang menetapkan hutan adat bukan hutan negara, atau terkesan tidak mampu menyelamatkan keberadaan masyarakat adat, karena perbedaan pemahaman atau definisi masyarakat adat.

Erwan Suryanegara, budayawan Palembang, menilai jika masyarakat adat dipahami sebagai sebuah komunitas yang masih “murni”, seperti  hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, serta adanya hukum adat dan lembaga adat yang mengatur kehidupan mereka, “Maka sulitlah kita akan menetapkan masyarakat adat sebagai masyarakat adat,” katanya.

Sebab akibat politik rezim Orde Baru yang mengubah pemerintahan adat dengan pemerintahan desa, melalui UU No.5 Tahun 1974, hampir tidak ada lagi masyarakat adat yang “murni”, terutama terkait pemerintahannya. “Yang murni mungkin selama rezim Orde Baru menjadi wilayah terasing atau sulit dijangkau,” katanya.

“Tidak heran lembaga semacam HuMA hanya mampu menetapkan 13 wilayah adat dari puluhan ribu masyarakat adat di Nusantara (Indonesia) sebagai model proses penetapan wilayah adat. Sebab kriteria yang digunakan terlalu ideal dan juga memiliki dukungan dari pemerintah daerah,” katanya.

Seharusnya, semangat penghidupan masyarakat adat sebagai upaya mempertahankan identitas bangsa, termasuk pula sebagai sarana mengembalikan karakter bangsa ini.

“Kita bicara masyarakat adat karena kita menilai pemerintahan desa yang dijalankan pemerintahan Indonesia hingga saat ini telah gagal. Salah satunya mengenai akses masyarakat terhadap tanah. Tanah jauh dari masyarakat, sehingga menciptakan kemiskinan dan kehancuran alam, dan kehilangan beragam bukti sejarah dan budaya baik berwujud maupun tidak berwujud,” ujarnya.

Padahal masyarakat adat yang dinilai “tidak murni” lagi karena mengecil atau tidak berfungsinya lembaga adat setempat atau sudah bercampur dengan suku lain, dalam kehidupan sehari-hari masih dominan dipengaruhi nilai-nilai adat.

“Seharusnya kondisi masyarakat adat seperti ini harus diselamatkan. Misalnya dengan tujuan menjaga hutan atau lingkungan hidup, tanah adat yang selama ini sudah menjadi tanah negara harus dikembalikan. Masyarakat adat terbukti beratus tahun menjaga lingkungan hidup. Perusahaan perkebunan hanya dalam satu-dua tahun mampu merusaknya. ”

Perbedaan pemahaman mengenai masyarakat adat ini yang sebenarnya menjadi biang konflik lahan di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan. “Kalau menunggu dulu dukungan pemerintah daerah, tidak akan ada masyarakat adat di Sumsel.”

Guna menghentikan “penghabisan” masyarakat adat ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama semua pihak harus mengakui pemerintahan desa telah gagal menjaga bangsa Indonesia khususnya yang berada di dusun atau desa. Kedua adanya keinginan politik dari kepala daerah maupun para anggota dewan untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dengan menghidupkan atau menyempurnakan lagi masyarakat adat. Ketiga pemerintah daerah segera melakukan perundingan dengan masyarakat adat mengenai batas wilayah adat. Perundingan ini tentunya dengan menghargai hukum adat.

“MK No 35 itu merupakan pintu untuk membangun kesadaran dan keinginan tersebut. Selama kepala daerah dan politisi seperti saat ini, kerja memperjuangkan masyarakat adat  membutuhkan energi dan waktu yang lebih. Yang terpenting, kita harus hati-hati membuat model masyarakat adat. Sebab bukan tidak mungkin model ini menjadi alat menghabisi masyarakat adat lainnya karena kurangnya sejumlah kriteria,” ujar Erwan.

Penebangan liar di Suaka Margasatwa Dangku. Kehidupan masyarakat di alam maupun sekitar hutan makin terdesak karena ekspansi perusahaan yang begitu massif. Foto: Taufik Wijaya

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,