Amril Marlin Malelo (60), Anggota Badan Musyawarah Nagari Indudur menatap sedih dengan surutnya air Sungai di belakang Masjid Jami’. Aliran sungai satu-satunya di nagarinya itu, adalah bagian dari kenangan hidup dari cerita masa kecilnya. Batu-batu besar pada aliran sungai seakan menjadi saksi dari derasnya aliran sungai itu dulu.
“Saya juga bingung mengapa sungai sekarang menjadi kecil, kalau dulu saya dan teman-teman berenang di sana. Banyak ikan di sungai ini,dan kami juga sempat menggunakan kincir air sebagai pembangkik listrik”, ujarnya. Amril adalah warga Nagari Indudur yang terletak di Kecamatan IX Koto Sungai Lasi, Kabupaten Solok, Sumbar.
Berada di punggung bukit barisan dengan topografi yang curam membuat hutan menjadi bagian yang terpenting untuk menghidarkan nagari ini dari bencana. Keindahan alam Nagari Indudur ini, tidak menyurutkan keinginan masyarakatnya meninggalkan kampung halaman. Saat ini, Nagari Indudur hanya didominasi oleh kaum tua. Kesulitan hidup memaksa hampir dari separuh penduduknya merantau ke nagari lainnya.
“Sawah-sawah yang susah diolah dan tandus ini membuat banyak orang di sini merantau ke luar. Mereka mencari mata pencaharian yang lain yang lebih bisa menjamin kehidupannya”, sambung Amril.
Desa Indudur, atau disebut nagari dalam budaya Minang, semakin terpuruk. Meskipun ada 215 Kepala Keluarga yang tinggal di nagari yang luasnya 1.400 hektar ini, ironisnya generasi muda yang menjadi topangan terhadap kemajuan nagari malah memilih keluar untuk mencukupi kehidupannya.
“Yang muda-muda pergi merantau, jadi hampir separuh penduduk di sini didiami oleh yang tua-tua ini”, kata Eva salah seorang warga.
Banyaknya lahan terlantar ini menjadi perhatian khusus bagi Wali Nagari Indudur, Zofrawandi Rangkayo Mudo untuk mengembalikan semangat bertani di masyarakat. Sejak 2007, Zofrawandi bekerja sama dengan badan musyarawah nagari dan tokoh-tokoh masyarakat menetapkan peraturan nagari terkait dengan peningkatan ekonomi yang tertuang dalam Peraturan Nagari.
“Dalam peraturan nagari tertuang aturan yang mewajibkan masing-masing kepala keluarga menyiapkan lahan seluas setengah hektar tanaman tua yang bernilai ekonomi, seperti karet, cokelat, pinang dan damar. Sementara bagi calon pengantin diwajibkan menyiapkan lahan seperempat hektar untuk ditanami tanaman yang sama,” jelasnya.
Keberadaan Hutan lindung yang berada di Gunung Barangkek atau dikenal masyarakat dengan sebutan Batu Karak, merupakan hulu dari sungai yang menjadi sumber mata air di nagari ini. Mulai 2008 lalu, dikeluarkan peraturan nagari tentang pemeliharaan tanaman kehutanan dan perkebunan. Dalam peraturan nagari terdapat aturan yang tidak membenarkan penebangan dan larangan pembakaran hutan dan kebun.
“Menanam adalah sebuah pekerjaan yang mudah, namun memelihara menjadi tantangan yang berat. Kami akan pantau perkembangan bibit yang ditanam masyarakat di lahannya. Jika lebih dari 70 persen tanamannya mati, akan dicari tahu apa penyebabnya. Jika masalahnya ada pada bibit, maka akan dicarikan solusinya. Namun jika tanaman mati karena kemalasan, kami lakukan sidang adat,” imbuhnya
Tahapan pertama yang dilakukan jika adanya pelanggaran adalah melalui pemanggilan dan musyawarah, jika masih belum bisa berubah warga akan dikenakan denda sebanyak dua sak semen. Jika hingga ketiga kali, masih ada masyarakat yang melakukan kesalahan yang sama akan diberlakukan hukuman yang sangat berat, pemerintah nagari dan adat akan lepas tangan terhadap segala urusannya di nagari.
Sebaliknya masyarakatnya yang taat akan mendapatkan penghargaan. Setiap tahun akan dipilih satu orang masyarakat teladan yang akan dihadiahi berbagai macam alat pertanian.
Hutan Kemasyarakatan Sebagai Solusi
Sejak dua tahun silam, Indudur telah mengajukan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) pola Hutan Kemasyarakatan. Pada 2013, Nagari Indudur pun memperoleh SK Areal Penetapan Kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 588 hektar.
Keberadaan HKm sekaligus menjadi upaya mereka dalam penyelamatan sumber air hutan lindung yang berada di Gunung Barangkek. Upaya ini diharapakan tidak hanya berkontribusi dalam upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, tetapi bertujuan bagi peningkatan stok dan serapan karbon hutan, serta pengelolaan hutan secara lestari.
“Harusnya kita tidak hanya berpikir bagaimana skema PHBM ini sebagai upaya penurunan emisi saja, tapi yang terpenting ini sebagai alat resolusi konflik yang marak terjadi saat ini,” Richie Rahma Dewita, Koordinator Ekosistem Aliansi KKI Warsi menjelaskan. Baginya, PHBM juga merupakan pintu yang dapat menjamin kepastiaan hak dan keadilan bagi masyarakat yang hidup dan bergantung di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Propinsi Sumbar berencana mengalokasikan 500 ribu hektar kawasan hutan bagi masyarakat lewat skema hutan nagari, HKm dan hutan adat. Hingga saat ini, terdapat 108 Nagari yang sedang dalam proses yang berbeda untuk mendapatkan kewenangan pengelolaan hutan.
Dalam perkembangannya, setiap kelompok pengelola hutan nagari dan pengelola Hkm dapat saling belajar satu sama lain dalam sebuah forum yang disebut “Forum Komunikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat – Sumatera Barat (FK PHBM – Sumatera Barat).”
Sambil menanti keluarnya hak pengelolaan HKm yang akan diserahkan Bupati Solok, nagari Indudur dipercaya sebagai tuan rumah dari FK PHBM ini. Semoga mimpi mengembalikan mimpi kedaulatan masyarakat lewat hutan yang lestari dapat terwujud.