Opini : Komitmen Emisi Bukan Sekedar Janji

 *Deni Bram, Pengajar Hukum Lingkungan, Universitas Tarumanagara, Jakarta. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Perhelatan konferensi tahunan terkait perubahan iklim secara simultan direncanakan akan berlangsung di Lima, Peru pada akhir tahun 2014 ini dan akan dikonkritkan pada akhir tahun 2015 di Paris, Perancis.

Salah satu hal penting yang dibicarakan adalah keterlibatan aktif dari negara – negara berkembang dengan pemilik hutan besar dalam upaya mitigasi emisi secara lebih konkrit dan terukur.

Delegasi Republik Indonesia (Delri) sebagai salah satu delegasi negara yang aktif dalam rangka memberikan komitmen, dituntut untuk dapat lebih berpartisipasi secara nyata dalam upaya mitigasi emisi.

Tidak tanggung – tanggung kali ini paling tidak tercatat 6 (enam) proposal diajukan oleh Delri dalam pertemuan Conference Of the Parties (COP) di Peru akhir tahun ini yaitu Sustainable Transport Programme senilai 31 juta Euro, Smart Street Lighting Initiative senilai 294 juta dollar Amerika Serikat, Vertically Integrated Municipal Solid Waste senilai 10 juta Euro, Cement senilai 2,063 juta Euro, Community Forest Partnership for Wood Biomass Based Energy senilai 198 juta dollar Amerika Serikat dan Debottlenecking Project Finance for Least Cost Renewables in Indonesia senilai 200 juta Euro.

Keseluruhan proposal ini akan diajukan oleh Delri melalui mekanisme National Appropriate Mitigation Actions (NAMA’s), sebuah mekanisme yang sama pada saat Indonesia pertama kali mencatatkan komitmen mitigasi emisi di tahun 2009 pada forum G-20.

Namun berbagai proposal tersebut terlihat janggal saat komitmen sebelumnya yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia yaitu mitigasi emisi secara umum belum juga membuahkan hasil nyata dan dapat dipertanggungjawabkan secara utuh.

Bahkan beberapa komitmen tercederai dengan fakta yang menunjukkan hasil sebaliknya pada tataran implementasi, misal terkait peningkatan titik api dan laju deforestasi yang menyentuh titik maksimal pada tahun 2013 memberikan kesan buruk terhadap janji yang telah dicatatkan dan mengikat pada sumber hukum internasional tersebut.

Lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Bengkalis,Riau pada Maret 2014 lalu. Periode kebakaran Februari-Maret itu telah menyebabkan hancurkan hutan Riau sekitar 21.900 hektar.  Foto : Zamzami
Lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Bengkalis,Riau pada Maret 2014 lalu. Periode kebakaran Februari-Maret itu telah menyebabkan hancurkan hutan Riau sekitar 21.900 hektar. Foto : Zamzami

Komitmen dalam kerangka hukum bukan hanya berisi janji dan berada pada ruang hampa semata, namun menuntut adanya realisasi dalam bentuk nyata serta menimbulkan tanggung jawab secara norma dan implementasi.

Proses Lahirnya Komitmen

Sedari awal, rezim perubahan iklim telah membantu dengan melakukan identifikasi beberapa kontributor emisi besar di dunia dan memposisikan mereka sebagai negara – negara yang berkewajiban untuk mengambil langkah mitigasi dengan segera dan terukur.

Walaupun dalam prakteknya kerap kali negara – negara tersebut enggan untuk melakukan aksi nyata berupa ratifikasi dengan langkah hukum pada tataran nasional mereka. Namun konstruksi ini telah mendudukkan aktor utama yang patut dan wajib diminta pertanggungjawaban terhadap kondisi kerusakan iklim yang terjadi.

Sepanjang perjalanan dari rezim penanggulangan perubahan iklim dan merujuk pada sumber komitmen yang dihasilkan, paling tidak terdapat 2 (dua) asal dari komitmen yang hadir yaitu pendekatan berbasis sebuah peraturan internasional seperti yang diusung dalam Protokol Kyoto atau yang lebih dikenal dengan model top down.  

Kedua adalah model dengan basis inisiatif dari negara yang memang sebelumnya tidak terikat kewajiban apapun terkait dengan tindakan tertentu atau yang dikenal dengan pendekatan bottom up seperti yang diberikan wadah pada mekanisme National Appropriate Mitigation Actions (NAMA’s). 

Kedua model di atas bukanlah berdiri pada ruang yang tidak mengemban tanggung jawab hukum di dalamnya. Kendati berujung pada kewajiban yang sama, namun proses penciptaan komitmen yang menjadi dasar penaatan akan lebih mudah dicapai atau tidak. Sesungguhnya, dalam rangka menguji keabsahan dari kedua pendekatan di atas dapat digunakan tolak ukur keadilan dan efektifitas secara utuh dengan merujuk kontribusi serta upaya yang dapat dioptimalisasi oleh negara yang berkewajiban.

Konstruksi yang proporsional dan memperhatikan kondisi faktual ini secara jelas mengusung pendekatan causal responsibility, memiliki keunggulan yang dapat menyentuh langsung kepada pelaku emisi besar dengan mengedepankan konsep polluter pays principle, sehingga akan lahir tanggung jawab hukum secara utuh baik, terhadap kondisi di masa lalu, kini maupun yang akan datang.

Transformasi Hukum

Salah satu langkah hukum yang harus dilakukan saat komitmen dibuat adalah realisasi pada tindakan nasional. Hal ini sebagai bentuk aksi nyata yang merupakan implementasi dari penurunan norma secara utuh dan menyeluruh sehingga bukan hanya berhenti pada tataran pengikatan norma, namun transformasi hukum menjadi suatu hal yang niscaya.

Aksi Warga di lahan pertanian mereka di rencana lokasi PLTU Batang. Foto:  Greenpeace
Aksi Warga di lahan pertanian mereka di rencana lokasi PLTU Batang. Foto: Greenpeace

Bentuk konkrit transformasi dengan melakukan penyesuaian dan langkah nyata dengan mengusung pentingnya sinkronisasi dan harmonisasi terhadap langkah yang telah dibuat. Dalam konteks ini, isu perubahan iklim yang dibutuhkan saat ini tidak hanya dapat diatasi dengan melakukan download dari tingkat internasional ke tingkat nasional atau sekedar melakukan transplant dari satu sistem hukum ke sistem hukum lain semata, walaupun keduanya merupakan hal penting.  

Paling tidak terdapat tiga alasan utama mengenai pentingnya tindakan transformasi tersebut. Pertama, keterbatasan dari hukum internasional dalam pengaturan subyek hukum yang hanya terbatas pada negara. Hal ini mengakibatkan bahwa perjanjian internasional kerap kali tidak mempunyai daya ikat yang cukup kuat untuk mempunyai hubungan dengan subyek hukum nasional yang berada pada domain dan stakeholder yang berbeda. Keberadaan perubahan iklim sebagai isu global dengan pencetus lokal tentu mutlak memberikan pembenaran terhadap hal ini.

Kedua, hukum internasional juga memiliki keterbatasan saat dipergunakan dalam tataran nasional jika tidak dilakukan transformasi, pada saat lembaga yudikatif pada tataran nasional suatu negara sebagai institusi yang menjadi katalisator bagi pemenuhan hak dari warganya, sepenuhnya mengandalkan sumber hukum nasional an sich.

Perkembangan terkini terhadap komitmen dari Indonesia secara internasional perlu terus menerus diberikan pemahaman kepada Yudikatif dalam rangka peningkatan kapasitas dan kapabilitas terkait janji hukum yang telah terikat dalam tataran internasional.

Ketiga, dalam beberapa perjanjian internasional secara jelas mengamanatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan penyesuaian terhadap peraturan perundang – undangan nasional. Hal ini terlihat secara jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), telah menentukan peran dari masing – masing Kementerian / Lembaga terkait penyesuaian penurunan laju emisi.

Namun sayangnya aturan ini hanya bentuk pengakuan tersendiri tanpa sinergitas dengan aturan lain yang diharapkan menyentuh pada tataran nasional hingga lokal.

Evaluasi Bukan Janji

Posisi Indonesia sebagai negara Non Annex yang tidak terikat kewajiban melakukan penurunan emisi dalam rezim perubahan iklim, sesungguhnya mendudukkan secara jelas posisi hukum Indonesia.

Namun, kondisi faktual yang antara lain terlihat dari sektor kehutanan Indonesia dengan laju deforestasi yang tinggi membuat Indonesia menjadi kontributor emisi dari laju kerusakan dan degradasi hutan.

Komitmen pun dinyatakan dalam pertemuan G-20 di Pitssburg, Amerika Serikat tahun 2009, dengan mengambil langkah mitigasi emisi dengan target sebesar 26 persen secara mandiri dan 41 persen dengan dukungan internasional melalui instrumen National Appropriate Mitigation Actions (NAMA’s).

Hal ini tentu mengikat secara Hukum Internasional dan menjadi babak baru dalam eskalasi kewajiban Indonesia pada tataran Hukum Perubahan Iklim. Sayangnya, bentuk realisasi komitmen ini seperti yang tertuang dalam PP No.61/2011 tentang RAN GRK ini tidak berjalan pada tataran nasional.

Bahkan, beberapa indikasi nyata justru mendudukkan komitmen mitigasi emisi bergerak tidak secara sinergis dengan program pemerintah lainnya. Pertama, indikasi nyata terlihat dalam program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

MP3ei1-

Program MP3EI yang dipercayai merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 negara besar di dunia pada tahun 2025 mendatang pun, tidak lepas dari kritik atas mampu atau tidaknya melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan komitmen mitigasi yang telah ditentukan terlebih dahulu.

Hal ini bisa dilihat misalnya dari Koridor Ekonomi Kalimantan yang memiliki tema pembangunan sebagai Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional. Berbagai indikator yang digunakan pun berbasis industri ekstraktif seperti batu bara, perkayuan dan Kelapa Sawit. Hal ini berarti jika tidak dilakukan dengan hati – hati, maka kebijakan pembangunan hanya akan direduksi dengan angka semata dan bukan kualitas hidup.

Idealnya pemerintah juga memasukkan ke dalam perencanaan jika pembangunan terus meningkat sehingga dapat seiring sejalan upaya mitigasi emisi dengan upaya usaha pembangunan secara substansi.

Kedua, kritik lain pun hadir pada saat pengukuran penurunan emisi dari Indonesia hanya bersandar kepada perhitungan Business As Usual (BAU), yang tentu sangat amat tergantung dari BAU itu sendiri ditetapkan secara relatif sebagai baseline.

Hal ini secara umum berdampak pada perbedaan angka yang dirilis oleh kementerian dan lembaga yang terlibat dalam upaya mitigasi gas rumah kaca tersebut. Perbedaan angka tersebut tentu berdampak pada perbedaan cara pandang dan strategi pencapaian yang digunakan masing – masing kementerian dan lembaga.

Saran nyata dalam konteks ini adalah melakukan langkah evaluasi ulang terkait komitmen yang dibuat secara utuh dan bukan menambah komitmen yang mempunyai potensi kecil untuk dipatuhi dengan merujuk pengalaman sebelumnya.

Masifnya jumlah titik api pada belakangan ini serta semakin buruknya hukuman kepada pelaku kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dapat menjadi salah satu fokus yang dioptimalkan dalam rangka meyakinkan kembali bahwa Indonesia serius menanggulangi perubahan iklim tanpa mereduksi konsep hakiki keadilan iklim itu sendiri.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,