Teluk Benoa diapit jantung pariwisata Bali: Sanur sisi timur laut, Kuta di barat, dan Nusa Dua di tenggara. Sanur merupakan perintis pariwisata di Bali. Kuta, terutama pantai, menjadi kiblat pariwisat Bali. Nusa Dua menjadi magnet bagi para pemimpin dunia membuat pertemuan.
Teluk Benoa memang kawasan strategis. Tak pelak menjadi incaran investor. Salah satu yang ramai sekarang, PT Tirta Wahana Bali International (TWBI). Dua tahun lalu, PT Tirta Rahmat Bahari (TRB) juga berniat membangun fasilitas pariwisata di Teluk Benoa. Usaha ditolak warga dan aktivis. Perusahaan inipun batal mengelola wisata di tepatnya Taman hutan taya (Tahura) Ngurah Rai.
Di sekitar teluk terdapat titik-titik penting pariwisata, misal, Jimbaran dan Kedonganan yang terkenal dengan kuliner ikan laut. Di Tanjung Benoa, warga lokal mengelola wisata laut seperti jetsky, banana boat, diving, parasailing, dan lain-lain. Teluk seluas 1.988 hektar ini merupakan kawasan konservasi.
Ancaman teluk ini begitu banyak dari eksploitasi buat pariwisata, penebangan magrove ilegal, alih fungsi lahan, pendangkalan, penyertifikatan oleh warga, serta banyak sampah.
Bersyukur, di antara beragam ancaman itu, ada warga yang berinisiatif melestarikan hutan mangrove di teluk ini. Salah satu kelompok nelayan Wanasari di Desa Adat Tuban, Kecamatan Kuta, Badung.
Pesisir Tuban, di sisi timur termasuk bagian Teluk Benoa. Hutan mangrove terkenal dengan Tahura Ngurah Rai, ada pula menyebut Prapat Benoa dengan luas 1.373 hektar masuk Badung dan Denpasar.
Nelayan Wanasari Tuban mengelola 10 hektar hutan mangrove untuk ekowisata dan 25 hektar dipelihara.
Dari 90 anggota, sebagian menjadi nelayan untuk hobi atau bersenang-senang. Bukan tumpuan penghasilan dan sudah berlangsung 10 tahun terakhir. Selain tangkapan berkurang karena nelayan mengandalkan perahu tradisional kecil, juga generasi nelayan beralih menjadi pekerja kantoran atau wiraswasta.
Pengelolaan ekowisata menjadi cara nelayan setempat menjaga ekosistem mangrove. “Konsepnya memadukan pariwisata dengan pelestarian lingkungan,” kata Made Sumasa, ketua Kelompok Nelayan Wanasari.
Sumasa, perintis ekowisata di Desa Adat Tuban ini. Lahir dan besar di pesisir, mau tak mau ikut jadi nelayan. Meskipun hanya sebagai sambilan, karena bekerja penuh di tempat lain, Sumasa sesekali melaut. Dia juga beternak kepiting keramba.
Teknik yang digunakan keramba tancap. Keramba ini di tengah hutan mangrove. Kepiting hidup di lumpur. Pembatas keramba berupa anyaman bambu yang bisa dipindah-pindah.
Dengan memelihara kepiting, nelayan harus menjaga pohon-pohon mangrove. “Jika tidak ada mangrove, tidak akan ada kepiting di sini.”
Pembangunan tol Bali Mandara sejak 2011, turut merusak ekosistem di Teluk Benoa termasuk di hutan mangrove Desa Tuban. Timbunan tanah kapur membawa bahan-bahan pembangunan merusak lumpur. Begitu pula material sisa-sisa pembangunan.
Namun, proyek pembangunan ini juga melahirkan peluang baru bagi nelayan. Mereka membangun ekowisata di hutan mangrove persis di samping jalan tol itu.
“Nelayan jangan jadi penonton, apalagi cuma bengong lihat jalan tol,” kata Agus Sudiana, anggota Wanasari. Karena itulah, mereka beradaptasi terhadap pembangunan tol itu.
Awalnya, nelayan membangun jembatan dari bambu di sebelah tol dekat Bandara Ngurah Rai, Tuban. Jembatan kayu sisi selatan hutan ini dibuat melingkar dari hanya sampai di salah satu gazebo. Panjangnya kira-kira 500 meter.
Jembatan bambu melintasi hutan mangrove, termasuk keramba tancap milik nelayan. Karena itu, pengunjung bisa melihat langsung ekosistem mangrove termasuk budidaya kepiting.
Fungsi hutan mangrove tak hanya sebagai pelindung pesisir tapi media belajar. Tak heran jika banyak siswa dan mahasiswa belajar mangrove di hutan Wanasari itu.
Menurut Agus, ekowisata ini juga sebagai edukasi tentang mangrove. “Kami ingin menjadi laboratorium hidup edukasi dan konservasi.”
Selain edukasi, di ekowisata ini juga ada tempat istirahat dan bersantap. Di tengah hutan ada beberapa gazebo sebagai tempat belajar maupun istirahat. Ada restoran Kampung Kepiting dengan pemandangan hutan mangrove dan jalan tol. Nelayan juga menyediakan wisata menyusuri hutan mangrove dengan jukung ataupun kano.
Kepiting menjadi menu utama restoran milik kelompok nelayan ini. Beragam olahan makanan khas laut juga ada. Juga menu-menu berbahan baku mangrove, termasuk jus dan kue-kue.
Tiap hari ada 150-300 pengunjung ke ekowisata ini. Pendapatan per bulan berkisar Rp120 juta. Dengan pendapatan lancar tiap bulan, nelayan tergerak melestarikan hutan mangrove.
Menurut Sumasa, kelompok ini memiliki beberapa aturan menjaga mangrove. Misal, nelayan tidak boleh menebang mangrove sembarangan. Jika menebang, harus kembali menanam 30 pohon.
“Tidak hanya menanam, mereka harus merawat. Ini seperti ibu merawat anak. Setelah lahir anak tidak mungkin ditinggalkan begitu saja,” ucap Sumasa.
Aturan lain, warga maupun pengunjung yang bermain kano ke hutan mangrove harus mengambil sampah plastik yang ditemui. Sampah itu ditukar dengan jus mangrove.
Dalam mengelola keramba kepitingpun, nelayan harus beradaptasi dengan lingkungan. Bentuk keramba harus mengikuti struktur hutan agar tidak merusak.
Dengan segala aturan itu, hutan mangrove di Tuban masih terjaga. Pohon-pohon mangrobe masih terpelihara. Tidak ada sampah di celah-celah bawah pohon. Sebaliknya, warga bisa menikmati dan belajar ekosistem mangrove. Nelayan punya tambahan pendapatan.
Senada dengan nama Wansari yang berarti hutan sumber kemakmuran, ekowisata mangrove di Desa Tuban memang menambah kesejahteraan nelayan. Menurut Sumasa, keberhasilan nelayan di Tuban seharusnya bisa menjadi contoh ekowisata serupa di tempat lain di Bali. “Agar nelayan seperti kami tidak dikorbankan demi pariwisata yang hanya menguntungkan investor, bukan warga.”